Perempuan Nelayan, Mampukah Memperjuangkan Kesetaraan?

Perempuan nelayan di Nusa Tenggara Timur, termasuk di Kabupaten Sikka, selama ini selalu terpinggirkan meski peran mereka dalam membantu suami sebagai tulang punggung menambah penghasilan keluarga sangat besar.

Padahal perempuan nelayan penting dalam ekonomi pesisir, seperti menjual ikan hasil tangkapan suami. Pada saat musim angin kencang, untuk mendukung ekonomi keluarga, perempuan pula yang mengolah ikan asin saat suami mereka tidak bisa pergi melaut.

Di sisi lain, selama ini, banyak uang hasil tangkapan ikan habis untuk foya-foya, tanpa pernah memikirkan masa depan keluarga. Ditambah, bantuan yang diberikan dalam bentuk sumbangan dari pemerintah, seperti alat tangkap dan kapal, digunakan tanpa ada pengembalian modal. Banyak yang dijual, dan mereka berpangku tangan berharap bantuan lagi.

“Tantangan yang terbesar ada di dalam keluarga nelayan, bagi para suami kami beri penyadaran untuk bekerja keras dan memperhatikan kesejahteraan keluarga serta para isteri akan kami dorong untuk bersama berjalan dengan suami merencanakan masa depan keluarga mereka,” jelas Margaretha Leny Riti Ketua Ikatan Perempuan Nelayan Sikka (IPNeS) kepada Mongabay Indonesia (12/07).

Dengan melibatkan perempuan nelayan, jelas Leny, maka ekonomi keluarga dapat diperjuangkan. Lewat berbagai pelatihan untuk mengolah hasil tangkapan tidak hanya ikan basah yang dijual murah, tapi dapat diolah menjadi ikan kering tetapi diproduksi baik sehingga harga jualnya dapat meningkat.

“Ke depannya kami harus mempunyai koperasi untuk perempuan nelayan yang berjuang untuk pendidikan anak dan kesejahteraan keluarga dan jaminan kesehatan keluarga dengan menjadi anggota BPJS Kesehatan dan BPJS Tenaga Kerja kalau memang tidak mendapat asuransi nelayan,” ungkapnya.

Sebagai kelompok ekonomi berkekurangan, banyak anak-anak nelayan yang selama ini putus sekolah karena hambatan keuangan.

 

Masih Ada Sesat Pikir

Susan Herawati Sekjen KIARA, lembaga yang bekerja untuk kesejahteraan nelayan pesisir, menyebut hasil studi lembaganya mengindikasikan perempuan nelayan berkontribusi besar dalam perekonomian sektor perikanan. Jelasnya, kontribusi perempuan nelayan dalam keluarga nelayan mencapai 48 persen.

“Hampir 17 jam sehari mereka bekerja memenuhi kebutuhan protein bangsa, kebutuhan ekonomi keluarga nelayan dan menjadi bagian paling penting untuk mencerdaskan bangsa ini. Namun pada saat bersamaan, kontribusi besar yang mereka berikan tidak cukup diimbangi dengan fasilitas dan pengakuan negara kepada mereka,” tuturnya.

 

Perempuan nelayan yang sedang mengambil ikan hasil tangkapan sang suami untuk dijual di TPI Alok Maumere. Foto: Ebed de Rosary

 

Contohnya, dalam Program Sejuta Asuransi Nelayan. Hanya di bawah 5 persen nelayan perempuan yang terlibat dalam program ini. Di Kabupaten Gresik misalnya, hanya dua orang perempuan saja dalam satu kecamatan yang mendapat asuransi nelayan. Masih tampak stigma bahwa nelayan itu hanya laki-laki, padahal laki-laki dan perempuan terlibat bersama.

“Menurut kami, masih ada sesat pikir dalam mendefinisikan nelayan itu sendiri, sebab nelayan itu bukan hanya mereka yang pergi melaut tapi mereka yang juga menjual ikan dan mengolahnya,” jelasnya.

Tantangan terbesar perempuan nelayan sambung Susan, karena masih banyak orang yang menganggap remeh gerakan perempuan. KIARA, jelas Susan ingin merubah pemikiran bahwa perempuan hanya dimasukan menjadi bagian keluarga nelayan.  Selama ini organisasinya menginiasi dan mendorong tiga organisasi nelayan, yakni Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI), Persaudaraan Perempuan Nelayan Indoensia (PPNI) dan Persatuan Petambak Garam Indonesia (PPGI).

“Kami melihat perempuan nelayan cepat sekali mencari solusi, hanya tinggal bagaimana menciptakan ruang lebih intens lagi untuk berbicara,” ungkapnya.

Dalam UU No.7 tahun 2016 tentang perlindungan dan pemberdayaan nelayan, pembudidaya ikan dan petambak garam sudah disebutkan kata perempuan nelayan namun hanya diakui peran mereka besar dalam keluarga nelayan. Lembaganya, jelas Susan, berniat mengajukan judicial review beberapa undang-undang yang tidak memasukan subyek perempuan di dalamnya.

Direktur Wahana Tani Mandiri (WTM) Carolus Winfridus Keupung mengakui, persoalan nelayan itu rumit dan advokasi terhadap nelayan mengalami benturan ketika berhubungan dengan nelayan yang sering ke laut. Memfasilitasi isteri dan perempuan nelayan guna memperjuangkan keluarga nelayan pun lalu menjadi sebuah alternatif.

Sementara Maria Angelorum Mayestati anggota DPRD Sikka mengapreasiasi adanya organisasi perempuan nelayan dan yang terpenting organisasi ini bisa mempengaruhi masyarakat terkait pemikiran tentang perempuan nelayan.

“Saya berharap agar kelompok-kelompok nelayan perempuan harus bisa eksis untuk bisa mengambil peran dalam poembangunan di kabupaten Sikka sesuai kapasitas mereka dan saya selalu bersedia membantu mereka memperjuangkannya lewat lembaga dewan,” jelasnya.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Sikka, pada tahun 2014 rumah tangga usaha perikanan di Kabupaten Sikka mencapai 4.620 nelayan, dengan jumlah nelayan penangkap ikan sebanyak 4.592 orang, sementara sisanya merupakan nelayan pembudidaya ikan.

 

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,