llmuwan AS Periksa Kesehatan Ikan Hiu di TN Teluk Cendrawasih. Apa Hasilnya?

Sejumlah ilmuwan bersama pakar dari Amerika Serikat berhasil melaksanakan pemeriksaan kesehatan dari populasi hiu paus, yang sejak tahun 2016 termasuk dalam status terancam punah (Endangered) dalam Daftar Merah Spesies Terancam Punah Internasional Union for Conservation of Nature (IUCN Red List), di Taman Nasional Teluk Cenderawasih, Papua Barat.

Pada perjalanan yang pertama kali dilakukan di dunia ini, Tim Peneliti memeriksa kesehatan dari 26 ekor hiu paus, serta memasang 7 buah penanda satelit (satellite tag), dan 4 buah penanda akustik (accoustic tag).

 

 

Kemajuan penelitian ini dinilai memiliki implikasi yang signifikan untuk menyelidiki misteri seputar kesehatan hiu paus, termasuk potensi dampak pariwisata serta interaksi manusia lainnya terhadap kesehatan hiu paus.

“Rincian ini dapat memberikan informasi lebih dalam pengembangan kebijakan konservasi di masa akan datang untuk melindungi dan menjaga stabilitas populasi populasi hiu paus di Indonesia dan secara khusus di Taman Nasional Teluk Cendrawasih,” ungkap Linda Chalid dari Conservation International Indonesia (CII) dalam rilisnya ke mongabay, Selasa (22/8/2017).

Penelitian yang berlangsung sejak 25 Juli hingga 5 Agustus ini, merupakan kolaborasi antara Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK)/Balai Besar Taman Nasional Teluk Cenderawasih (BBTNTC), Universitas Papua (UNIPA), Conservation International (CI), dan Georgia Aquarium.

Para pihak berkolaborasi bersama untuk menghasilkan temuan penelitian yang dapat menjadi referensi dalam penguatan kebijakan daerah dan nasional untuk konservasi hiu paus maupun pengelolaan ekowisata yang berkelanjutan.

“Situasi unik di Teluk Cendrawasih memberi para peneliti kesempatan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Penilaian kesehatan ini dirancang untuk memberi informasi yang rinci terkait dampak ekowisata maupun penelitian yang selama ini dilakukan terhadap kesejahteraan hiu paus,” ungkap Ketut Putra, Vice President Conservation International Indonesia.

 

Tim peneliti memeriksa kesehatan dari 26 ekor hiu paus di di Taman Nasional Teluk Cenderawasih, Papua Barat. Informasi lengkap terkait hiu paus dinilai perlu banyak diketahui oleh semua pihak yang ingin mengembangkan ekowisata hiu paus guna mendukung pelestarian dan pengelolaannya di Indonesia. Foto: Mark V Erdmann/CI Indonesia/Mongabay Indonesia

 

Menurut Ketut, penilaian kesehatan hiu paus yang dilakukan terhadap hiu paus liar ini merupakan kali pertama di dunia, dan karena itu data yang didapatkan akan menjadi acuan seluruh peneliti di dunia.

“Informasi penelitian ini bisa menjadi acuan bagi Pemerintah Indonesia dalam pengelolaan ekowisata hiu paus secara berkelanjutan dengan cara yang bermanfaat bagi masyarakat pesisir setempat tanpa memberi dampak negatif bagi kesejahteraan hiu paus, dan kami sangat senang dan mengapresiasi betapa BBTNC-KLHK dan KKP memulai memanfaatkan data ilmiah dalam membangun tata kelola spesies yang sangat sensitif ini demi keberlangsungannya,” katanya.

Menurut Andi Rusandi, Direktur Konservasi dan Keanekaragaman Hayati Laut (KKHL) KKP, informasi lengkap terkait hiu paus perlu banyak diketahui oleh semua pihak yang ingin mengembangkan ekowisata hiu paus guna mendukung pelestarian dan pengelolaannya di Indonesia.

“Pengembangan ekowisata hiu paus di Indonesia harus menekankan aspek konservasi. Untuk keperluan itu, KKP juga telah menerbitkan buku Pedoman Wisata Hiu paus yang dapat menjadi panduan. Hasil penelitian ini akan memperkaya informasi tentang spesies ini karena kini data status populasi dan migrasi hiu paus cukup terbatas, sehingga dukungan banyak pihak sangat kami apresiasi,” ungkap Andi.

Ben G. Saroi, Kepala Balai Besar Taman Nasional Teluk Cenderawasih (BBTNTC) menyatakan apresiasinya atas inisiatif penelitian berkesinambungan dan komprehensif yang dilaksanakan untuk mendukung pelestarian hiu paus dan memberi referensi bagi pengelolaan pariwisata berkelanjutan.

“Teluk Cenderawasih sebagai rumah bagi populasi hiu paus terbesar di Indonesia membutuhkan informasi menyeluruh atas spesies terancam punah ini. Karena itu, data dari hasil penelitian dan informasi komprehensif yang akan diperoleh terkait hiu paus akan melengkapi informasi/data sebelumnya hasil kerjasama BBTNTC, WWF dan UNIPA, sebagai referensi penguatan kebijakan konservasi serta kebijakan kelola pariwisata di Teluk Cenderawasih,” katanya.

 

Pada perjalanan penelitian yang pertama kali dilakukan di dunia ini Tim Peneliti memeriksa kesehatan dari 26 ekor hiu paus, serta memasang 7 buah penanda satelit (satellite tag), dan 4 buah penanda akustik (accoustic tag). Foto: Mark V Erdmann/CI Indonesia/Mongabay Indonesia

 

Menurutnya, semua stakeholders yang terkait dalam pengelolaan Taman Nasional Teluk Cendrawasih (TNTC) perlu berkontribusi dalam implementasi ekowisata berbasis masyarakat adat di TNTC dalam rangka peningkatan ekonomi masyarakat dan mengurangi bahkan menghilangkan resistensi masyarakat adat terhadap eksistensi kawasan TNTC.

Menurut Linda, penelitian kesehatan yang membutuhkan sampel biologis hiu paus ini tergolong sulit dan bahkan awalnya dinilai hampir mustahil untuk dilaksanakan, karena sampai sekarang para peneliti belum menemukan cara untuk mengkondisikan hiu paus dalam lingkungan terkontrol untuk selanjutnya dilakukan pengambilan sampel yang dibutuhkan dalam peninjauan kesehatan hiu paus.

Namun hal tersebut berubah pada tahun 2014 ketika tim BBTNTC, UNIPA, KKP, dan CI Indonesia menemukan bahwa hiu paus di Teluk Cenderawasih seringkali tertangkap secara tidak sengaja oleh jaring nelayan bagan saat mereka sedang menjaring ikan puri/teri.

“Menariknya, hiu paus terlihat cukup tenang saat tertangkap jaring nelayan bagan dan seringkali dijumpai terdiam di dasar jaring, menunggu untuk dikeluarkan.”

Pada perjalanan kali ini, fenomena unik tersebut dimanfaatkan oleh tim CI Indonesia untuk memasangkan penanda satelit finmount (sejenis penanda satelit yang dipasangkan pada sirip punggung) sembari mengambil sampel yang diperlukan bagi penilaian kesehatan hiu paus.

Dalam kurun waktu penelitian yang relatif singkat, para peneliti melakukan katalogisasi informasi dan pengujian sampel, serta mempersiapkan laboratorium pengujian di kapal penelitian, yang pada tahap berikutnya akan dilanjutkan di laboratorium UNIPA di Manokwari, Papua Barat. Selama ekspedisi berlanjut, tim telah memasangkan tujuh buah penanda satelit yang diharapkan dapat memberikan informasi mengenai pergerakan hiu paus dan perilakunya selama dua tahun ke depan.

 

Satu dari 26 ekor hiu paus di di Taman Nasional Teluk Cenderawasih, Papua Barat yang diteliti oleh Tim peneliti memeriksa kesehatan dari 26 ekor hiu paus di di Taman Nasional Teluk Cenderawasih, Papua Barat. Foto: Mark V Erdmann/CI Indonesia/Mongabay Indonesia

 

Dari pihak UNIPA, Dr. Selvi Tebay, Wakil Rektor Bidang Kerjasama yang juga seorang peneliti bidang perikanan menyampaikan bahwa penelitian aspek kesehatan hiu paus merupakan penelitian perdana yang dilakukan UNIPA bersama mitranya KKP, CI, BBTNC, dan Georgia Aquarium di Tahun 2017. Studi lain seperti pemasangan tag satelit dan pengembangan wisata hiu paus telah dilakukan oleh UNIPA dengan mitra kerjasamanya.

“Penelitian kesehatan hiu paus akan memperkaya khazanah keilmuan dan pengembangan kepakaran di UNIPA serta memberi manfaat praktis dan nyata bagi upaya konservasi hiu paus dan upaya pengelolaan pariwisata bahari berkelanjutan di tanah Papua sebagai aspek kebijakan bagi Pemerintah. Harapannya melalui penilaian kesehatan ini, UNIPA dapat mengembangkan kapasitas dan keahlian dalam bidang konservasi marine spesies termasuk pentingnya ilmu kesehatan hiu paus untuk mendukung pengelolaan spesies tersebut di Indonesia.”, ujarnya.

Sementara itu, Mudji Rahayu, Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) dari UNIPA menambahkan bahwa saat ini UNIPA melalui FPIK telah menyiapkan sumberdaya manusia secara khusus untuk mendalami hiu paus, terutama melalui studi lanjut S2 dan S3.

“Beberapa dosen juga melakukan penelitian terkait ekologi dan genetik hiu paus. Untuk pengembangan jaringan yang lebih kuat, FPIK telah bekerjasama dengan Balai Besar Taman Nasional Teluk Cendrawasih membangun Whale Shark Center di Soa Nabire.”

Sebagai salah satu mitra penelitian ini, Georgia Aquarium, sebuah organisasi non-profit asal Atlanta, Amerika Serikat, yang berfokus pada upaya edukasi dan penelitian yang mendukung pelestarian keanekaragaman hayati laut, menyampaikan bahwa data yang dikumpulkan memberikan gambaran yang sangat bernilai mengenai kehidupan dan aktivitas spesies yang hingga kini informasinya masih sangat sedikit diketahui.

“Ketika informasi tentang hiu paus lebih banyak diperoleh, kami menjadi lebih mudah dalam mendidik masyarakat dan mendukung perlindungan spesies ini,” ujar Alistair Dove, Vice President Penelitian dan Konservasi di Georgia Aquarium.

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,