Pembangunan infrastruktur di era Presiden Joko Widodo merupakan prioritas utama dalam penyelenggaraan pemerintahan. Pembangunan bandar udara, jalan, pelabuhan, kawasan perbatasan, jalur kereta api, dan pembangkit listrik adalah beragam implementasi dari program prioritas tersebut.
Presiden Jokowi sangat sadar, infrastruktur yang mapan merupakan “senjata utama” Indonesia untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia sekaligus menghadapi persaingan dengan negara lain.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, pertumbuhan ekonomi Indonesia kuartal II Tahun 2017 pada posisi 5,01 persen. Posisi ini menempatkan Indonesia pada tiga besar pertumbuhan negara-negara anggota G-20. Indonesia mengalahkan Singapura, Jepang, dan Amerika Serikat, hanya kalah dari India dan Tiongkok. Ilustrasi di atas menggambarkan bahwa infrastruktur menjadi hal yang sangat urgen dalam pembangunan nasional.
Demikian juga dalam hal pembangunan informasi geospasial. Infrastruktur menjadi dasar utama yang menjamin kelancaran penyelenggaraan informasi geospasial di Indonesia. Statement tersebut muncul di ketentuan Pasal 53 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial.
Masuknya pengaturan infrastruktur sebagai materi muatan undang-undang tersebut merepresentasikan pentingnya peran infrastruktur dalam penyelenggaraan informasi geospasial.
Informasi geospasial sendiri menjadi instrumen penting yang tidak dapat dilepaskan dalam pelaksanaan konservasi sumber daya alam di Indonesia. Penggunaan peta kawasan hutan lindung, perencanaan tata ruang yang kini berbasis peta, dan pemanfaatan peta kawasan yang bersifat tematik seperti sebaran lahan pertanian dan perkebunan, sebaran lahan potensial dan kritis, serta sebaran sumber daya alam, merupakan contoh yang menunjukkan pentingnya informasi geospasial dalam konservasi sumber daya alam.
Informasi geospasial berkualitas menjadi “harga mati” dalam penyelenggaraan konservasi sumber daya alam. Sehingga, infrastruktur merupakan komponen utama yang tidak bisa ditinggalkan. Dalam Pasal 53 ayat (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial, infrastruktur terdiri atas lima unsur yaitu:
- Kebijakan;
- Kelembagaan;
- Teknologi;
- Standar; dan
- Sumber daya manusia.
Lima unsur inilah yang harus dibuat semapan mungkin untuk menjamin kelancaran penyelenggaraan informasi geospasial di Indonesia.
Pentingnya Rencana Aksi
Meski dianggap setara dengan empat unsur yang lain, kebijakan nyatanya memiliki posisi lebih “tinggi”. Kebijakan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia memiliki makna rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan, dan cara bertindak.
Dari pengertian tersebut dapat dipahami bahwa kebijakan merupakan landasan utama pembangunan empat unsur infrastruktur informasi geospasial yang lain.
Menurut Pasal 63 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial, kebijakan terbagi tiga yaitu:
- Kebijakan Informasi Geospasial Nasional yang dituangkan dalam rencana pembangunan jangka menengah nasional;
- Kebijakan Informasi Geospasial Instansi Pemerintah yang disusun berdasarkan kebijakan nasional dan Rencana Aksi Penyelenggaraan Informasi Geospasial Nasional; dan
- Kebjakan Informasi Geospasial Pemerintah Daerah yang disusun berdasarkan kebijakan pembangunan jangka menengah daerah dan Rencana Aksi Penyelenggaraan Informasi Geospasial Nasional.
Satu hal yang menarik dari pembagian kebajikan di atas adalah adanya istilah Rencana Aksi Penyelenggaraan Informasi Geospasial Nasional sebagai salah satu acuan dalam penyusunan kebijakan instansi pemerintah maupun pemerintah daerah. Rencana aksi yang selanjutnya disebut Renaksi IG, merupakan instrumen untuk mengejawantahkan tataran implementasi kebijakan nasional informasi geospasial, sebagaimana dituangkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional. Adanya kata “Aksi” dalam Renaksi IG semakin menegaskan implementasinya.
Renaksi IG berisi kesepakatan para pemangku kepentingan terkait kebijakan, kelembagaan, teknologi, standar, sumber daya manusia, dan harmonisasi penyelenggaraan informasi geospasial yang diselenggarakan oleh masing-masing pemangku kepentingan.
Mudahnya, Renaksi IG ini adalah “kitab suci” bagi seluruh pemangku kepentingan di bidang informasi geospasial sehingga barang siapa tidak menaati Renaksi IG ini idealnya akan mendapat “sanksi”. Kitab suci ini adalah solusi yang diciptakan untuk mengeliminasi tumpang tindihnya penyelenggaraan informasi geospasial sehingga tercipta penyelenggaraan informasi geospasial yang harmonis namun tetap efisien.
Renaksi IG ini sendiri disusun, disepakati, dan dievaluasi oleh seluruh pemangku kepentingan melalui sebuah rapat koordinasi dengan lingkup nasional yang diselenggarakan setiap tahun. Pemangku kepentingan sendiri tidak hanya diwakili oleh intansi pemerintah pusat dan daerah, melainkan juga perwakilan masyarakat, investor, bahkan akademisi. Menurut Pasal 65 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2014, rapat ini dinamakan Rapat Koordinasi Nasional Informasi Geospasial.
Rapat diselenggarakan oleh Badan Informasi Geospasial dan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional. Kepala Badan Informasi Geospasial diamanahkan oleh peraturan pemerintah tersebut untuk menetapkan Renaksi IG.
Namun, belum ada produk hukum apapun yang dibuat untuk melegitimasi Renaksi IG ini. Padahal, dengan menjadi suatu produk hukum, Renaksi IG dapat menjadi alat paksa bagi seluruh pemangku pentingan dan instrumen untuk memberikan reward dan punishment yang memenuhi atau tidak tugasnya di Renaksi IG.
Minim Aksi
Salah satu hasil penerapan Renaksi IG adalah disahkannya Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Kebijakan Satu Peta pada Tingkat Ketelitian Peta Skala 1:50.000. Peraturan Presiden tersebut mengatur target informasi geopasial yang harus dihasilkan masing-masing Kementerian dan Lembaga Pemerintah Nonkementerian dalam jangka waktu tertentu.
Beberapa peta diantaranya, sangat berhubungan dengan konservasi sumber daya alam. Peta Lahan Sawah, Peta Wilayah Pengelolaan Perikanan, Peta Sumber Daya Mineral, dan Peta Sumber Daya Batubara dalam skala 1:50.000 adalah peta yang masuk prioritas nasional menurut peraturan presiden tersebut.
Meski demikian, masih banyak pekerjaan rumah di bidang informasi geospasial yang belum masuk Renaksi IG ini. Minimnya pemanfaatan sertifikat kompetensi dalam penyelenggaraan informasi geospasial dan disparitas teknologi yang digunakan para pemangku kepentingan serta banyaknya perbedaan standar yang digunakan dalam penyelenggaraan informasi geospasial, merupakan target yang harus diselesaikan.
Layaknya rencana aksi yang lain, tanpa adanya reward dan punishment, seringkali rencana aksi tersebut hanya “panas” di awal lalu menguap begitu saja tanpa hasil di akhir. Selain itu, evaluasi implementasi harus konsisten dilaksanakan. Evaluasi harus menjadi agenda utama dan tetap, dalam setiap pelaksanaan Rapat Koordinasi Nasional Informasi Geospasial.
Dengan adanya reward dan punishment serta pelaksanaan evaluasi secara konsisten, Renaksi IG akan semakin kuat dalam memposisikan dirinya sebagai pengendali pembangunan infrastruktur informasi geospasial. Dengan begitu, penyelenggaraan informasi geospasialnya menjadi lancar dan informasi geospasial yang dihasilkan, berkualitas dan tepat guna.
Renaksi IG ini, niscaya tidak akan bernasib sama dengan beberapa rencana aksi yang telah ada sebelumnya. Minim implementasi, tiada sanksi, tanpa evaluasi.
*Akbar Hiznu Mawanda, Perancang Peraturan Perundang-undangan, Badan Informasi Geospasial (BIG). Jl. Raya Jakarta-Bogor KM.46, Cibinong, Bogor, Indonesia 16911. Tulisan ini merupakan opini penulis