Sekolah Tangguh Bencana ala BNPB, Seperti Apa?

 

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) punya terobosan mencegah bencana, yakni, melalui sekolah gunung dan sekolah sungai. Seperti apakah sekolah itu?

Matahari terik menyengat kulit. Minggu (6/8/17), pukul 15.00, di sisi timur Candi Plaosan, Prambanan, Klaten, Jawa Tengah, ada 70 orang dari 28 kabupaten dan kota, bersama perwakilan pemerintah, fasilitator, akademisi kampus dan relawan bencana, berkumpul.

Hari itu, pembukaan sekolah untuk membangun gerakan mitigasi bencana yang bakal berlangsung lima hari, dan pembacaan deklarasi masyarakat cinta gunung, sungai dan laut untuk Indonesia sejahtera.

“Melalui sekolah gerakan pengurangan risiko terintegrasi, tidak hanya mampu mengurangi risiko juga meningkatan kualitas kehidupan masyarakat,” kata Lilik Kurniawan, Direktur Pengurangan Risiko Nencana BNPB kepada Mongabay.

Pembentukan sekolah sungai, katanya,  didasari kebutuhan pengurangan risiko bencana. Ia tak lagi berbasis daerah tetapi ekosistem.

Sekolah gunung dan sungai, katanya, juga untuk menghadapi ancaman bencana hidrometologi.

Data BNPB, 2002-2016, bencana hidrometrologi terus meningkat seiring perubahan iklim global. Peningkatan terjadi akibat besarnya pengaruh aktivitas manusia (anthropogenic) dalam bencana-bencana itu.

Banjir, tanah longsor dan kekeringan maupun kebakaran menyebabkan kerusakan dan kerugian di berbagai sektor. Penyebab bencana, katanya,  selain kondisi alam, perilaku manusia dan dampak pembangunan yang belum mempertimbangkan risiko bencana.

Aktivitas tak ramah lingkungan,  pasti menciptakan bencana, hingga, pengurangan risiko perlu dengan mengubah paradigma masyarakat.

Selama ini,  katanya, masyarakat sebagai objek sasaran pasif dan tak tahu apa-apa. Kepedulian sungai, gunung, dan laut terkait erat dengan pengurangan risiko bencana. Ia juga menyangkut keindahan, kesehatan, peningkatan kesejahteraan masyarakat, dan investasi intelektual.

Lilik contohkan, pengelolaan air di Umbul Ponggok, Klaten, mampu mengemas sumber air jadi tempat wisata menarik dan menghasilkan pendapatan bagi desa sampai Rp10 miliar.

“Dalam pengurangan risiko bencana berbasis ekosistem, partisipasi masyarakat penting. Banyak contoh sukses, diharapkan bisa ditularkan ke daerah lain,” katanya.

Hingga 2017, ucap Lilik, keluaran sekolah sungai dan gunung akan menularkan edukasi kepada 35.000 warga dalam pengelolaan ekosistem di daerah aliran sungai (DAS). Tujuannya, mengurangi risiko bencana hidrometeorologi yang sering terjadi.

Pelajar sekolah akan dapat pembekalan dari pengalaman-pengalaman berbagai komunitas di Yogyakarta dan sekitar, seperti Komunitas Kali Code, Winongo, Banyu Bening–Rejo Dadi Sleman, Balerante, Sidorejo, Nglanggeran, dan Jurang Jero.

“Harapannya, BNPB tak hanya jadi pencuci piring ketika terjadi bencana.”

Pegiat sekolah sungai dari Universitas Gajah Mada, Suratman mengatakan, sekolah gunung dan sungai sangat tepat dalam melibatkan masyarakat. Kalau masyarakat tak diajak dan tidak dapatkan kewenangan membangun konservasi DAS dan sungai, katanya,  persoalan tak akan selesai.

Selama ini, warga dan industri terus buang sampah dan limbah ke sungai, serta penebangan hutan masif. Orientasi program ke gerakan dalam mengerem laju perusakan sungai masih perlu dorongan bersama.

“Lewat deklarasi cinta sungai, gunung dan laut semua pihak harus bergotong royong mengelola sungai dari hulu ke hilir  untuk mencegah bencana.”

Wisnu Widjaja, Deputi bidang Pencegahan dan Kesiapsiagaan BNPB, mengatakan, sekolah sungai dan gunung merupakan upaya masif melibatkan semua pihak. Ia bentuk implementasi gerakan pengurangan risiko bencana.

 

Deklarasi Gerakan Masyarakat Cinta Sungai, Gunung dan Laut. Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

 

 

Bencana di Jateng

Ganjar Pranowo mengatakan, data bencana BPBD Jateng 2016 naik tinggi dibanding 2015. Keanaikan bencana,  harus jadi koreksi diri dari berbagai kebijakan.

Pada 2015, bencana 1.573 jadi 2.112 pada 2016, atau naik 34,26%.  Rinciannya, banjir 216, longsor 927, kebakaran 468, dan angin topan 419 kali, dengan potensi kerugian Rp4,2 triliun.

“Lewat sekolah sungai dan gunung diharapkan dapat mewujudkan pengelolaan DAS berkesinambungan melibatkan multisektor dengan aksi di hulu, tengah hingga hilir atau ecosystem based,” kata Ganjar.

Keterlibatan seluruh pihak, katanya, perlu termasuk perguruan tinggi melalui program kuliah kerja nyata (KKN) tematik di desa-desa yang bersinergi dengan program berbasis penangulangan risiko bencana.

“Diharapkan dengan kepedulian masyarakat bersama pemerintah dan dunia usaha terhadap kelestarian lingkungan dapat mewujudkan bangsa tangguh bencana.”

Eko Teguh, Kepala Prodi Magister Manajemen Bencana Universitas Pembangunan Nasional Beteran Yogyakarta juga pemateri mitigasi dan risiko bencana di sekolah gunung 2017 mengatakan, dalam mengantisipasi bencana ke depan, masyarakat harus bekal keterampilan seperti pengobatan darurat, komunikasi alternatif, dan perencanaan evakuasi.

Komunitas atau organisasi lokal, katanya,  bisa jadi pemimpin dan penyelenggara. Dia bilang, sistem manajemen bencana ada lima tahap, yakni peringatan dini, tanggap cepat, rekonstruksi, pencegahan dan persiapan menghadapi bencana.

Mitigasi di Indonesia, katanya,  umumnya dengan dua cara yakni menyediakan pasokan bantuan darurat dan mengevakuasi korban.

Contoh, pemerintah mengungsikan warga terdampak bencana, ke barak sementara untuk beberapa bulan, sering tanpa makanan cukup, air, dan lapangan kerja.

Dampaknya, evakuasi gagal memperhitungkan kebutuhan dan potensi masyarakat untuk membangun kembali tempat tinggal mereka yang rusak.

“Pencegahan bencana berbeda-beda, tergantung jenis bencana alam. Mengidentifikasi daerah rawan bencana dan membantu masyarakat mencari solusi,  penting mencegah atau mengurangi dampak,” ucap Eko.

Selain belajar penanganan bencana, peserta juga membentuk komunitas tangguh bencana. Satu contoh, Sukiman di Desa Deles penguatan ekonomi dan sadar bencana melalui radio komunitas dan menanam kopi.

Selain itu, Desa Balerante meningkatkan ekonomi masyarakat di daerah rawan bencana Merapi dengan membatik, dan jadi kawasan ekowisata.

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,