Ketelusuran Data dan Konsep Berkelanjutan Harus Ada dalam Industri Perikanan, Seperti Apa?

Untuk menjamin ketelusuran data dalam industri perikanan dan kelautan di Asia Tenggara, kerja sama strategis resmi dijalin antara The United States Agency for International Development’s Oceans and Fisheries Partnership (USAID Oceans) dengan Inmarsat Global Limited (Inmarsat). Kerja sama tersebut, juga mencakup upaya promosi perikanan berkelanjutan yang dilakukan anak buah kapal (ABK) di regional Asia Tenggara.

Pengumuman dan penandatanganan kerja sama tersebut dilakukan dalam sebuah acara di Bangkok, Thailand dan dilakukan langsung oleh Direktur USAID Misi Pengembangan Regional untuk Lingkungan Hidup Asia Angela Hogg dan Wakil Presiden Inmarsat Divisi Penjualan untuk Maritim Gerbrand Schalkwijk.

Kerja sama tersebut dalam praktiknya akan menggunakan teknologi satelit komunikasi untuk mendapatkan dokumen penangkapan ikan yang lengkap dan ketelusuran data berkaitan dengan perikanan yang legal, terlapor, sesuai regulasi, dan berkelanjutan.

 

 

Angela Hogg mengatakan, melalui kerja sama tersebut, pihaknya akan mengembangkan solusi dan juga layanan yang mendukung perikanan berkelanjutan, meningkatkan kesejahteraan dan mata pencaharian bagi siapa saja yang bekerja di laut.

Melalui kerja sama yang sudah dijalin tersebut, Hogg menjelaskan, pihaknya akan memanfaatkan keahlian yang dimiliki Inmarsat untuk meningkatkan komunikasi kapal-kapal perikanan yang ada di wilayah Asia Tenggara. Kata dia, ABK di kapal berukuran sedang ataupun besar akan mengintegrasikan sistem pemantauan yang sudah ada dan data CDT dengan teknologi armada Inmarsat dan IsatData pro.

Kedua sistem tersebut adalah sistem pelayanan pesan dua arah untuk melacak dan memantau pelabuhan dan kapal-kapal. Untuk melaksanakan sistem tersebut, USAID akan mencobanya di Kota Bitung, Sulawesi Utara dan Songkhla di Thailand. Kedua kota tersebut menjadi percontohan untuk proyek tersebut di Asia Tenggara.

“Proyek tersebut sudah melalui tahapan pengembangan dan ujicoba sistem. Uji coba yang baik, itu terjadi saat adanya komunikasi yang efektif antara kapal dan pelabuhan yang memungkinkan terjadinya pengembangan CDT data di wilayah Asia Tenggara,” ujar Hogg.

 

Kota Percontohan

Hogg menambahkan, untuk proyek yang dilaksanakan di Bitung, Inmarsat akan melengkapi kapal perikanan dari perusahaan yang sudah ikut berpartisipasi dengan satelit di atas kapal, dengan tujuan untuk mendapatkan suara elektoronik. Selain itu, satelit akan berfungsi untuk mengirimkan laporan data yang pasti selama berada di atas laut.

Sistem tersebut, disebut USAID Oceans selaras dengan apa yang diinginkan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Dengan adanya konektivitas yang bagus dan disempurnakan, USAID meyakini itu akan mengurangi perikanan ilegal dan mendukung para nelayan untuk memantau dan membagi wilayah perairan yang persediaan ikannya masih ada.

“Teknologi ini akan membantu armada kapal perikanan untuk menemukan lokasi tangkapan yang lebih cepat, memperbaiki rencana pelayaran, dan juga mengurangi biaya operasional selama di laut,” jelas Hogg.

 

Kapal nelayan berjejer di pelabuhan perikanan BItung, Sulawesi Utara. Foto : Wisuda/Mongabay Indonesia

 

Dengan menggunakan teknologi dari Inmarsat, USAID menyebut, maka itu akan membuat kapten kapal lebih mudah melakukan komunikasi dari atas kapal ke pantai. Kecepatan tersebut membuat kapten bisa melacak prakiraan cuaca, dan pada akhirnya akan memberi kepastian untuk berlayar yang aman dan kehidupan lebih baik di atas laut.

Selain Bitung, teknologi serupa juga akan diterapkan di Songkhla, Thailand. Di negeri Gajah Putih tersebut, Inmarsat menjalin kerja sama dengan Thai Union, salah satu produsen makanan laut terkemuka. Kerja sama tersebut bertugas untuk menyediakan komunikasi satelit yang membantu awak kapal menjaga hubungan di atas laut untuk menangkap laporan digital, komunikasi manajemen kapal yang lebih lebih cepat dan mudah.

“Kegiatan yang dilaksanakan di Indonesia dan Thailand tersebut ke depan akan mendukung rencana ekspansi ke negara lain di kawasan Asia Pasifik, dengan menggunakan sistem yang sama,” tutur Hogg.

 

Kesejahteraan Pekerja

Sementara itu, Gerbrand Schalkwijk dari Inmarsat mengungkapkan, melalui kerja sama yang dilaksanakan dengan USAID, pihaknya ingin meningkatkan kesejahteraan pekerja di industri perikanan dan kelautan yang ada di Asia Tenggara. Target tersebut, kata dia, optimis bisa tercapai jika sistem yang diterapkan di dua kota percontohan tersebut bisa dilakukan secara massal.

“Kita percaya dengan membawa level baru konektivitas di kapal, itu bisa membantu memerangi (perikanan) ilegal, tidak terlapor, dan tidak sesuai regulasi. Selain itu, bisa memastikan kepatuhan pemilik kapal, meningkatkan transfer data yang berkualitas dan andal, juga untuk meningkatkan keselamatan awal kapal,” jelas dia.

 

Tempat penampungan ikan yang menjadi tempat transaksi penjualan ikan hasil tangkapan nelayan. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Sebelumnya, Menteri Kelautan dan Perikan Susi Pudjiastuti juga mengeluarkan pernyataan berkaitan dengan kondisi laut masa kini dan yang akan datang. Pernyataan tersebut diungkapkan di tengah berlangsungnya Konferensi Kelautan PBB bersama Norwegia, International Police Organization (Interpol), dan United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC).

Menurut Susi, PBB harus segera menetapkan praktik illegal fishing yang masih marak terjadi di berbagai wilayah perairan laut dunia sebagai kejahatan transnasional yang terorganisir (transnational organized crime).

“Kita harus mengakui bahwa Illegal Unreported and Unregulated (IUU) Fishing ini terkait dengan kejahatan transnasional yang terorganisir. Operasinya sering didukung oleh kelompok terorganisir,” ujar dia.

Sebagai kejahatan transnasional, Susi menyebut, Indonesia selama ini menjadi saksi pelanggaran hak asasi manusia, mulai dari perdagangan manusia, perbudakan anak, hingga pelecehan fisik dan seksual yang terjadi di kapal penangkap ikan.

Selain itu, tak jarang juga terjadi penyelundupan mulai dari bahan makanan seperti beras, bawang, pakaian, hingga obat-obatan terlarang, alkohol, dan narkotika. Kemudian, ada juga penyelundupan satwa liar yang terancam punah, seperti burung beo, burung surga, dan armadillo.

“Oleh itu, negara anggota PBB jangan pernah membiarkan praktik illegal fishing terjadi secara bebas di masing-masing negara. Hal itu, karena praktik tersebut tak hanya berdampak pada berkurangnya stok ikan di lautan, tetapi juga telah mengancam punahnya beberapa spesies-spesies laut lainnya,” jelas dia.

Salah satu dampak yang akan dirasakan secara bersama akibat perikanan ilegal, kata Susi, adalah terjadinya kompetisi yang tidak sehat di dalam negeri akibat terjadinya penjualan barang atau spesies hasil selundupan dengan harga yang murah. Kondisi itu akan menekan kondisi ekonomi suatu negara hingga ke titik terendah.

 

Kesibukan yang terlihat di Pelabuhan Muara Angke, Jakarta. Tampak sejumlah nelayan sedang menurunkan ikan hasil tangkapan mereka. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Pembangunan Berkelanjutan

Direktur Eksekutif Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan Abdul Halim mengatakan, Indonesia harus bisa bekerja sama dengan negara lain dalam menjaga keamanan dan kenyamanan di laut. Menurutnya, itu akan berdampak signifikan untuk kehidupan yang ada di laut, baik bagi manusia maupun biota laut yang ada di dalamnya.

“Untuk itu, harus ada konsep pembangunan berkelanjutan yang diterapkan 193 negara yang tergabung dalam keanggotan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB),” ujar dia.

Halim mengungkapkan, pembangunan kelautan berkelanjutan harus dijadikan filosofi oleh negara-negara PBB tersebut, termasuk Indonesia di dalamnya. Dalam pelaksanaannya, perlu diletakkan tiga dimensi dasar secara seimbang, yaitu lingkungan hidup, sosial dan ekonomi.

“Tanpa kesungguhan dan kolaborasi di tingkat regional dan global, mustahil laut mampu memberikan pasokan pangan perikanan dan kesejahteraan bagi kehidupan umat manusia, khususnya masyarakat perikanan dan pergaraman skala kecil. Terlebih bagi perempuan nelayan di dalam rumah tangga nelayan, pembudidaya ikan, dan petambak garam,” ungkap dia.

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,