Menanti Peran Optimal Masyarakat Peduli Api di Bentang Alam Padang Sugihan

 

 

Salah satu cara mengatasi persoalan kebakaran hutan dan lahan gambut adalah dengan membentuk kelompok Masyarakat Peduli Api (MPA). Sebelum adanya Badan Restorasi Gambut (BRG), sejak 2014 pembentukan MPA sudah diusahakan Pemerintah Sumatera Selatan dengan dukungan sejumlah pihak. Namun, sebagian MPA kemungkinan tidak berfungsi optimal jika kebakaran terjadi. Kenapa?

“Kami sudah diberi pelatihan penanggulangan karhutlah di gambut sejak 2015. Tetapi, fasilitas yang kami terima untuk mengatasi kebakaran sangat terbatas, bahkan sangat kurang. Selain itu kami tidak mendapatkan biaya operasional, khususnya untuk melakukan patroli sebelum terjadi kebakaran,” jelas Fasirin, Ketua MPA Desa Riding, Kecamatan Pangkalan Lampan, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatera Selatan, dihadapan anggota TRG (Tim Restorasi Gambut) Sumsel yang melakukan monitoring dan evaluasi MPA, Sabtu (26/08/2017).

Kelompok MPA yang dipimpin Fasirin adalah satu dari tiga kelompok yang ada di Desa Riding. MPA yang beranggotakan 10 orang ini mendapatkan pelatihan yang difasilitasi UNDP pada 2016. Kelompok MPA lainnya di Desa Riding adalah MPA yang dibentuk Manggala Agni dan perusahaan.

 

Baca: Mungkinkah, Bentang Alam Suaka Margasatwa Padang Sugihan Sebokor Diselamatkan?

 

Adapun fasilitas yang sudah mereka terima adalah satu unit sepeda motor, satu unit mesin pompa air dan selangnya, satu unit pompa air punggung, satu unit GPS, seragam pemadaman untuk lima orang, serta alat pemadaman seperti kapak tangan, kopyok, cakar, dan sekop, masing-masing dua buah.

“Dengan peralatan terbatas tersebut, sulit bagi kami bekerja optimal.”

Dijelaskan Fasirin, patroli di lahan gambut yang masuk bentang alam Suaka Margasatwa Padang Sugihan Sebokor ini, lebih banyak menggunakan perahu yang biaya sewanya cukup besar. “Harganya bisa untuk beli tiket pesawat ke Jakarta sekali jalan,” katanya.

Keluhan yang sama disampaikan MPA di Desa Perigi, Kecamatan Pangkalan Lampan, Kabupaten OKI. “Hingga saat ini kami tidak mendapatkan biaya operasional untuk patrol. Apalagi membantu melakukan pemadaman api jika terjadi kebakaran di desa lainnya,” jelas Edi Saputra, Ketua MPA Desa Perigi.

MPA Desa Perigi juga mendapatkan pelatihan dari UNDP, tetapi MPA yang beranggotakan 10 orang ini, satu-satunya MPA yang ada di desa. “Yang dapat kami melakukan hanya mengajak masyarakat untuk tidak melakukan pembakaran di lahan gambut.”

Dijelaskan Edi, MPA yang dipimpinnya mendapatkan dua sepeda motor. Satu sepeda motor berada di sekretariat MPA Desa Perigi, dan satunya berada di rumah Kepala Desa. Hanya seragam pemadaman yang lengkap diterima MPA Desa Perigi, ditambah mesin air 7 unit, pompa punggung 4 unit, serta kapak tangan, cangkul, sekop, dan GPS, masing-masing satu unit.

 

Seekor gajah betina dan anaknya di Suaka Margasatwa Padang Sugihan Sebokor, Kabupaten Banyuasin, Sumsel. Foto: Taufik Wijaya/Mongabay Indonesia

 

Lahan terbuka

Kawasan gambut yang masuk bentang alam Suaka Margasatwa Padang Sugihan Sebokor, bukan hanya kawasan konservasi, juga kawasan produksi yang dikelola perusahaan dan masyarakat. Sekitar 20 ribu hektare lahan gambut merupakan lahan terbuka, yang dapat diakses masyarakat desa yang berada di sekitarnya. Mereka melakukan aktivitas seperti membuat padi sonor, mencari ikan, dan kayu.

Ada lima desa di Kabupaten OKI yang masyarakatnya memanfaatkan lahan gambut 20 ribu hektare tersebut yakni Desa Riding, Air Rumbai, Rambai, Bukit Batu, dan Perigi Talang Nangka. Namun, ada juga desa yang tidak memiliki MPA yakni Desa Bukit Batu.

“Jangankan MPA, kami saja belum mendapatkan pelatihan soal kebakaran hutan dan lahan,” kata Makmun, warga Desa Bukit Batu. “Padahal kami ingin sekali membentuk MPA,” lanjutnya.

Alasannya, hampir setiap musim kemarau, lahan gambut di desanya seluas enam ribu hektare, yang masuk bentang alam Suaka Margasatwa Padang Sugihan Sebokor, mengalami kebakaran akibat akivitas mencari kayu atau bertanam padi sonor. “Belum terbentuknya MPA di Desa Bukit Batu karena belum ada perintah dari pemerintah. Padahal kami ingin sekali memiliki MPA agar desa kami aman dari dampak kebakaran,” kata Makmun.

 

Peta Suaka Margasatwa Padang Sugihan Sebokor di antara konsesi HTI, perkebunan sawit, dan lahan pertanian masyarakat. Peta: Forum DAS Sumsel

 

Persoalan komunikasi dan perahu

Selain persoalan biaya operasional, para pengurus MPA juga mengakui komunikasi antar-perangkat desa dan pihak yang bertugas sebagai pemadam kebakaran kurang optimal. “Sering kali kami mendapatkan informasi dari Palembang untuk melakukan ground check terkait penemuan titik api dari satelit. Tapi, tampaknya sulit mendapatkan dukungan dari pihak yang seharusnya lebih bereaksi cepat dibandingkan kami,” kata Fasirin.

Edi menyarankan perlu dibentuk posko pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan dan lahan gambut. “Sebaiknya posko dibentuk di setiap desa. Kian banyak posko kian baik. Membina dan menggerakan masyarakat desa untuk mencegah kebakaran, jauh lebih murah dibandingkan melakukan water booming,” ujarnya.

Selain itu, alat transportasi yang sangat dibutuhkan MPA adalah perahu. “Lokasi kebakaran biasanya jauh di dalam, yang hanya dapat ditempuh menggunakan perahu, bukan sepeda motor. MPA ini seharusnya diberi bantuan perahu yang efektif menjangkau wilayah pedalaman,” kata Fasirin.

Sumatera Selatan memiliki 171 desa yang menjadi sasaran pencegahan kebakaran hutan dan lahan gambut, atau lokasi yang selama ini sering mengalami kebakaran. Di Kabupaten OKI ada 84 desa di 12 kecamatan. Kemudian di Kabupaten Banyuasin sebanyak 23 desa di 11 kecamatan, Kabupaten Musi Banyuasin sebanyak 41 desa di 9 kecamatan, serta di Kabupaten Ogan Ilir dengan 23 desa di 7 kecamatan. Salah satu upayanya adalah dengan membentuk Masyarakat Peduli Api (MPA), baik yang difasilitasi pemerintah, LSM, maupun perusahaan yang beroperasi di sekitar desa.

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,