Reklamasi Berkelanjutan Bekas Tambang Timah, Mungkinkah?

 

Sinar mentari terik menyengat kulit. Sepanjang jalan, hamparan tanah putih kecoklatan. Tampak satu dua pepohonan kecil dan ilalang tumbuh. Terlihat juga lubang bak danau bekas galian timah. Air berwarna hijau dan kebiru-biruan. Ada juga berwarna coklat. Gundukan-gundukan pasir sisa tailing bak di gurun juga terlihat.

Itulah lahan bekas tambang timah PT Refined Bangka Tin (RBT) di Sungailiat, Bangka Belitung. Lokasi ini akan jadi proyek percontohan yang disebut-sebut reklamasi berkelanjutan itu mengusung nama ”Green for Good,” berada di Desa Penyamun, Kecamatan Pemali, Kabupaten Bangka.

RBT sendiri, sebagai penambang timah, telah menjangkau pasar-pasar besar dunia seperti Amerika Serikat, Belanda, Jerman, Spanyol, Tiongkok, Taiwan, Hongkong, dan Pakistan.

Dalam kegiatan itu, Gubernur Bangka Belitung, Erzaldi Rosman,  hadir. Dia menilai, reklamasi pasca tambang sangat minim, hingga menambah deret angka luas lahan kritis dan peningkatan tambang ilegal.

”Penghijauan (bekas tambang) itu sudah terus-menerus, namun kecepatan masih kalah dibandingkan proses penambangan. Ini tantangan utama dihadapi Bangka Belitung,” katanya, pertengahan Agustus lalu di Sungailiat.

Setiap perusahaan tambang, katanya, berkewajiban reklamasi pasca tambang, sesuai Peraturan Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 34/2017 soal perizinan bidang pertambangan mineral dan batubara.

Sayangnya, implementasi di lapangan belum menunjukkan hasil signifikan. Kata Erzaldi, banyak perusahaan reklamasi setengah-setengah dan tak sunggung-sungguh karena gagal di tengah jalan.

”Hari ini, reklamasi, tahun depan gundul lagi, gundul bukan karena kenapa-kenapa tapi karena tidak diurus,” katanya.

Berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, saat ini lahan kritis karena pertambangan timah tercatat 275.500 hektar, terdiri dari 27 izin usaha pertambangan (IUP) di kawasan hutan seluas 5.500 hektar dan 470 IUP di luar kawasan hutan seluas 270.000 hektar.

Tarmizi, Bupati Kabupaten Bangka menguatkan perkataan Erzaldi. Dia bilang, masih banyak lahan kritis karena lahan bekas tambang tak tereklamasi.

”Lahan kritis di Bangka, 26.000 hektar dari 302.000 hektar. Dari 26.000 hektar itu, baru 2.000-3000 hektar reklamasi,” katanya.

Dari provinsi maupun kabupaten dan kota berjanji memberikan dukungan penuh terhadap upaya reklamasi sebagai langkah pelestarian lingkungan.  ”Kami akan awasi ketat reklamasi lahan bekas tambang,” kata Erzaldi yang baru terpilih tahun ini.

 

Danau bekas lubang tambang timah di konsesi PT RBT. Foto: Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia

 

 Libatkan masyarakat

Erzaldi berencana mewajibkan perusahaan memberikan lahan bekas tambang kepada masyarakat sekitar, tak hanya mengelola, juga bermitra bersama masyarakat. ”Saya usahakan sertifikat langsung. Kita kaitkan ini dengan program TORA (tanah obyek reforma agraria-red),” katanya.

Tujuannya, pasca tambang mampu berkesinambungan dan bermanfaat langsung bagi masyarakat. Dia bilang, 20% lahan eks tambang akan mendapatkan sertifikasi hak pengelolaan lahan (HPL) dan dikelola pemerintah daerah untuk membangun fasilitas umum dan fasilitas sosial.

Reza Adriansyah, Direktur PT RBT menyebutkan, akan reklamasi 50 hektar, dan jadi area konservasi lahan, agrikultur, agrowisata maupun pendidikan lingkungan.

Tahap awal, akan mereklamasi lahan luas 10 hektar di Desa Pemali, dengan ditanami buah-buahan, seperti kunci, lada, tomat, nanas, semangka hingga padi. Bersama konsultan, mereka uji coba ini dengan bantuan bioteknologi dengan mengupayakan kandungan mineral lahan bekas tambang rusak subur kembali.

Perusahaan menargetkan, lahan 10 hektar selesai 17 bulan. Sisanya, selesai dalam lima tahun. Reklamasi ini, katanya, sebagai kewajiban perusahaan pasca tambang untuk pemulihan tanah dan lingkungan hidup.

Pemanfaatan lahan eks tambang, katanya, menggandeng masyarakat sekitar dengan mengelola lahan, melalui budidaya tanaman pangan dan hutan yang bernilai ekonomi dan aman konsumsi.

Langkah ini, katanya, sebagai dukungan terhadap pemerintah dalam menjaga pelestarian lingkungan dan ketahanan pangan. Baginya, bisnis tak hanya mengelola sumber daya alam juga menjaga lingkungan.

”Kami serius memulai reklamasi berkelanjutan agar warisan bisnis timah di Babel memiliki peninggalan manfaat yang dapat dimanfaatkan anak cucu di masa mendatang,” katanya.

Menyangkut reklamasi ini, katanya, RBT, akan sosialisasi terpadu, identifikasi, dan verifikasi sosial mencakup masyarakat lokal melalui kepala desa dan lembaga pemangku kepentingan lain. Nantinya, masyarakat akan membentuk koperasi dan RBT sebagai supervisi.

”Dukungan masyarakat lokal, dan pemda jadi kunci suksesnya program ini,” katanya.

 

Lahan bekas tambang timah PT RBT. Rencananya wilayah ini direklamasi dan menggandeng masyarakat untuk turut serta mengelolanya. Adapun komoditi yang akan ditanam, yakni tanaman pangan dan pohon-pohon keras. Akan berhasilkan? Foto: Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia

 

 

Mungkinkah?

Walhi Bangka Belitung angkat bicara. Ratno Budi, Direktur Eksekutif Walhi Bangka Belitung pesimis rencana reklamasi pasca tambang RBT ini. ”Ini omong kosong. Ini jadi cara atau alat untuk menutupi banyak perilaku dan praktik-praktik jahat mereka di sektor perusahaan tambang timah terhadap tanggung jawab lingkungan,” katanya.

Dia bilang, informasi riset tak ada penjelasan detail termasuk pengukuran spesifik, seperti pembiayaan dan pelaksanaan reklamasi pada karakteristik wilayah-wilayah tertentu. “Misal, lubang yang sudah digali hingga kedalaman 40 meter, bagaimana?”

Luasan 50 hektar ini, katanya, sangat kecil kalau dikatakan percontohan pemulihan reklamasi berbanding ribuan bahkan ratusan hektar luasan daerah mereka yang bopeng-bopeng  kena lubang tambang.

Ratno mendapatkan laporan tahun sebelumnya, perusahaan gagal reklamasi dengan tanam bambu dan pangan di Bangka Tengah dan Belitung Timur.

Sejatinya, pemulihan pasca tambang memang tanggung jawab sosial, ekonomi, dan lingkungan perusahaan di sektor pertambangan, dan amanat UU.

”Hingga tak ada relevansi jika mereka fokus pada pengelolaan lingkungan, malahan tetap berproduksi dan memasok timah-timah ilegal,” katanya.

Ratno menilai, reklamasi sebagai pola tanggung jawab sosial banyak tak serius dan tak terencana baik.

”Kami menantang, jika memang ini terjadi, tunjukkan pada kami lahan konsesi ini koordinatnya di titik mana.”

 

Tetap beroperasi

Sejak Agustus 2016, Artha Graha Network, melepas bisnis pertambangan timah RBT. Kepemilikan saham telah dikuasai konsorsium. ”Kini RBT yang memegang pengusaha dengan latar belakang dan keahlian berbeda. Ada kontraktor ataupun trader timah,” ucap Reza.

RBT hingga kini masih tetap memproduksi timah batangan. Sebelumnya, perusahaan swasta dengan produksi timah terbesar ini memiliki kapasitas produksi mencapai 2.000 ton setiap bulan atau 24.000 ton setahun.

Pada 2016, perusahaan ini pun sempat anjlok hingga berada di angka 4.000 ton per tahun karena ada penghentian tambang selama enam bulan.

Kini, Reza menargetkan, produksi timah di angka 10.000-12.000 ton per tahun. Hingga Agustus, RBT sudah memproduksi timah batangan hingga 5.000 ton.

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , ,