Konservasi Maleo Senkawor Melalui SRAK, Seperti Apa?

 

 

Maleo senkawor atau dengan nama latin Macrocephalon maleo adalah burung endemik yang hanya bisa ditemukan di Sulawesi. Namun, karena status keterancamannya, IUCN (International Union for Conservation Nature) yang merupakan badan konservasi internasional, memasukkan maleo dalam daftar merah berlabel Genting (Endangered).

Maleo juga terdaftar dalam CITES Appendix I dan dilindungi Undang-undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya serta Peraturan Pemerintah Nomor 7 tahun 1999.

Maleo juga masuk dalam arahan rencana strategis konservasi spesies nasional. Peningkatan populasinya sebesar 10 persen pun tercantum dalam kebijakan Rencana Pembangunan Jangka Menengah 2014-2019 Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sebagai acuan. Lalu, bagaimana kegiatan konservasi maleo saat ini?

 

Baca: Maleo, Si Burung Unik dari Kawasan Wallacea

 

Pada 24 dan 25 Agustus 2017, para pemangku kebijakan yang terkait dengan penyelamatan maleo di Sulawesi berkumpul di Gorontalo untuk membahas konservasi maleo melalui sistematika SRAK. SRAK adalah kepanjangan dari Strategi dan Rencana Aksi Konservasi.

Mereka adalah Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Sulawesi Selatan, Balai KSDA Sulawesi Utara, Balai KSDA Sulawesi Tengah, Balai KSDA Sulawesi Tenggara, Balai Besar Taman Nasional Lore Lindu, Balai Taman Nasional Bogani Nani Wartabone, dan Balai Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai, serta Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Manado. Juga hadir akademisi dari perguruan tinggi di Sulawesi serta lembaga swadaya masyarakat.

Pertemuan ini difasilitasi oleh E-PASS (Enhancing Protected Area System in Sulawesi) for Biodiversity Conservation, yang saat ini berjalan di TNBNW, diinisiasi oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) bersama UNDP (United Nations Development Programme), untuk mendukung pembangunan konservasi di Sulawesi. Maleo merupakan salah satu satwa target project E-PASS dalam pengelolaan populasi spesies.

 

Baca juga: Cagar Alam Panua, Dulu Rumah Maleo Kini “Istana” Tambang dan Perkebunan

 

Hanom Bashari, Protected Area Specialist, dari E-PASS Bogani Nani Wartabone, menjelaskan, proses penyusunan SRAK diawali dengan penyusunan draf awal, konsultasi parapihak, penyempurnaan draft, review para ahli, finalisasi dokumen, dan terakhir adalah pengesahan permenhut.

Hanom dalam presentasinya mengungkapkan sistematika SRAK Maleo melalui bio ekologi dan kondisi terkininya Dilihat melalui taksonomi, morfologi, dan persebarannya. Selain itu, yang menjadi perhatian adalah status keterancaman global, habitat, perilaku umum dan perilaku berbiak, persebaran lokasi-lokasi peneluran, dan kondisi terkini pemantauan di lokasi peneluran. Termasuk juga ancaman dan upaya-upaya yang telah dilakukan untuk mengurangi ancaman konservasi maleo.

“Hal-hal yang dibutuhkan dalam penyusunan SRAK Maleo adalah status dan informasi lokasi peneluran maleo, aksi konservasi yang telah dilakukan para pihak, serta isu yang akan dihadapi terkait konservasi maleo,” ungkapnya.

 

Maleo senkawor, burung endemik Sulawesi. Hanya ada di kawasan Wallacea namun populasinya terus terancam. Foto: Burung Indonesia

 

Lokasi

Noel Layuk Allo, Kepala Balai Taman Nasional Bogani Nani Wartabone (TNBNW), menuturkan bahwa maleo terdaftar sebagai jenis satwa prioritas melalui Permenhut No. P.42/Menhut-2/2008 tentang arahan strategis konservasi spesies nasional 2008-2018.

Mengutip Butchart dan Baker, Noel Layuk Allo menyebutkan, berdasarkan hasil-hasil penelitian sebelumnya, diketahui setidaknya ada sekitar 132 lokasi peneluran. Sekitar 12 lokasi tidak diketahui statusnya. Sementara, dari 120 lokasi yang ada , sebanyak 42 lokasi ditinggalkan, 42 lokasi sangat terancam, 31 lokasi terancam, dan hanya 5 lokasi yang belum terancam.

Daerah penyebaran yang ada di sekitar TNBNW berjumlah 27 lokasi yang 9 diantaranya ada di dalam kawasan TNBNW.

“Sementara hasil penelitian Gorog, menunjukan bahwa dari 36 lokasi yang ada di dalam dan sekitar TNBNW, hanya tersisa 18 lokasi, yakni 10 di luar dan 8 di dalam kawasan TNBNW.”

Untuk site monitoring maleo di TNBNW, terdapat tiga lokasi yakni; Hungayono, SPTN Wilayah I Suwawa dengan luas 7 hektare; Tambun, SPTN Wilayah II Doloduo dengan luas 5 hektare; dan Muara Pusian, SPTN Wilayah III Maelang dengan luas 4 hektare.

Sementara untuk konservasi maleo di TNBNW, menurut Noel Layuk Allo, sudah dilakukan sejak 2001 bekerja sama dengan WCS Indonesian Program dengan melakukan perlindungan maleo. Kegiatannya melalui pengelolaan ladang peneluran di Tambun dan Muara Pusian Kabupaten Bolaang Mongondow dan di Hungayono Kabupaten Bone Bolango.

“Kami juga membangun bangunan penetasan telur maleo (hatchery). Serta membuat local guardianship, yaitu kerjasama antara WCS dengan TNBNW untuk melatih dan mempekerjakan penjaga yang berasal dari desa-desa di sekitar ladang peneluran. Kemudian membangun awareness dengan cara melaksanakan kampanye konservasi maleo, serta menerbitkan poster dan brosur,” katanya.

 

Cagar Alam Panua di Gorontalo, dulunya lokasi ini tempat bertelurnya maleo. Kini sudah tidak ada lagi. Foto: Christopel Paino/Mongabay Indonesia

 

Upaya

Saat ini, di tiga site monitoring maleo yang ada di TNBNW telah ditetapkan pembangunan sanctuary maleo atau pusat pembinaan populasi suaka satwa maleo berdasarkan surat keputusan Dirjen KSDAE pada tanggal 30 September 2016.

Namun demikian menurut Noel Layuk Allo, yang perlu ditingkatkan saat ini adalah petugas khusus pengelola data cctv di lokasi sanctuary maleo, serta membuat standar operasional prosedur (SOP) pelepasliaran maleo, baik anakan, remaja, dan dewasa. “Juga, membuat SOP pemindahan telur maleo, perawatan kandang habituasi, fasilitas kesehatan medis satwa di sanctuary maleo, serta penelitian tentang Maleo,” ujarnya.

Max Welly Lela, pengelola lokasi peneluran di Tambun yang merupakan bagian dari Resort Dumoga Timur dan Lolayan, SPTN Wilayah II Duloduo, mengungkapkan bahwa pihaknya telah melakukan monitoring kehadiran pasangan Maleo di lokasi peneluran Tambun sejak September 2001 hingga Desember 2016, bersama WCS Indonesia Program.

“Hasilnya, sebanyak 7.058 telur diselamatkan dan telah dilepasliarkan 3.971 anakan maleo.”

Lokasi peneluran Maleo di Tambun luasnya adalah 3,5 hektar dengan tipe hutan dataran rendah dan memiliki sumber panas geothermal. Sementara untuk fasilitas yang dimiliki adalah tiga menara pengamatan, dua hatchery aktif, dua kandang habituasi, satu kandang isolasi, papan-papan petunjuk, serta jalur pengamatan burung.

Seperti halnya di tempat lain, menurutnya, ancaman yang terjadi di site monitoring Tambun adalah pencurian telur, pemangsaan oleh biawak (Varanus salvator) dan gangguan anjing. “Untuk mengurangi ancaman, tindakan yang kami lakukan adalah pemagaran, pengusiran, monitoring rutin siang dan sore, dan juga pos yang ditempati harian,” tandasnya.

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,