Indonesia Serius Cegah Masuknya Virus Nila Danau

Sebagai hasil perikanan budidaya terbesar kedua di dunia, ikan nila berperan penting dalam industri perikanan global, termasuk Indonesia. Namun, munculnya virus ikan nila danau atau Tilapia Lake Virus (TiLV) menjadi ancaman. Pemerintah Indonesia sudah melakukan sejumlah upaya untuk mengantisipasi masuknya virus yang muncul pertama kali di Israel tiga tahun lalu itu.

Sejumlah pihak mengatakan hal tersebut dalam kesempatan terpisah saat menghadiri Simposium Penyakit Perikanan Budidaya ke-10 di Kuta, Badung, Bali. Simposium internasional yang diselenggarakan oleh Fish Health Section – Asian Fisheries Society (AFS-FHS) itu berlangsung sejak Senin (28/8) hingga Jumat (1/9).

 

 

Dalam sambutan pembukaan, Direktur Jenderal Perikanan Budidaya Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Slamet Soebjakto menyampaikan Indonesia telah melakukan kebijakan dan langkah pencegahan maupun pengendalian ikan, termasuk dalam menghadapi TiLV. Dengan langkah-langkah itu, hingga saat ini Indonesia masih bebas dari virus TiLV maupun penyakit yang menyerang udang yaitu white feses dan acute hepatopankreas necrosis disease (AHPND).

“Hal ini dapat terwujud karena Indonesia telah menerapkan tindakan pencegahan, biosecurity yang ketat dan tindakan pemeriksaan karantina ikan di pintu masuk dan keluar baik untuk keperluan dalam negeri maupun luar negeri,” tambahnya.

Menurut Slamet, Indonesia mampu meningkatkan produksi perikanan budidaya rata-rata sebesar 19,08 persen pada 2011-2015. Hal itu karena semakin kondusifnya iklim usaha budidaya baik secara regulasi, kemudahan perizinan, membaiknya infrastruktur, serta kemampuan untuk terus mencegah dan mengendalikan berbagai penyakit ikan yang dapat mengancam usaha budidaya.

Menurut Angela Mariana Lusiastuti, peneliti penyakit ikan di Instalasi Penelitian dan Pengendalian Penyakit Ikan, Balai Riset Perikanan Budidaya Air Tawar mengatakan TiLV termasuk virus berbahaya bagi ikan khususnya nila. “Dengan tingkat kematian 80-100 persen, virus ini sangat berbahaya bagi ikan nila, termasuk di Indonesia,” kata Angela.

Angela menambahkan, kejadian pertama ikan nila mati akibat TiLV terjadi di Danau Kinneret, Israel pada 2014. Gejala awalnya berupa perubahan warna tubuh menjadi hitam, luka-luka lecet pada kulit, dan perubahan pada mata menjadi keputihan. Dari Israel, virus ini kemudian menyebar juga ke negara-negara lain, termasuk Thailand dan Mesir.

 

Seorang pekerja sedang memberikan pakan pada ikan nila dalam budidaya keramba jaring apung di Danau Toba, Sumut. Foto : Jay Fajar

 

Di negara lain, misalnya Thailand, gejalanya berbeda. Misalnya nafsu makan ikan berkurang, warna tubuh pucat, berkumpul di dasar, gerakan lambat, bergerak sendiri, lalu mati. Pada kasus di Mesir, virus ini menyerang ikan nila ukuran medium di kolam besar.

 

Surat Edaran

Sebagai negara pengekspor ikan nila terbesar kedua setelah China, Indonesia harus mewaspadai masuknya virus ikan nila tersebut. Angela menyebutkan data, ikan nila merupakan produk ikan budidaya terbesar kedua di dunia. Secara global, produksinya mencapai 4,5 juta metrik ton per tahun dengan nilai lebih dari 7,7 miliar dolar. Menurut Badan Pangan Dunia FAO, produksi pada 2017 mencapai 6,4 juta metrik ton. Produsen terbesar adalah China dengan 1,78 metrik ton, Indonesia sebesar 1,12 metrik ton, dan Mesir 0,88 metrik ton.

Untuk mencegah agar virus ikan nila ini tidak masuk ke Indonesia, menurut Angela, pemerintah harus melakukan upaya seperti biosekuriti, memusnahkan ikan yang terinfeksi, melakukan karantina ikan, dan membatasi perdagangan atau lalulintas ikan. “Dalam jangka panjang, perlu ada vaksin dan seleksi ikan tilapia mana saja yang tahan TiLV,” lanjutnya.

Pemerintah Indonesia sendiri melalui Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya telah mengeluarkan surat edaran nomor 3975/DJPB/VII/2017 tanggal 14 Juli 2017 tentang Pencegahan dan pemantauan terhadap Penyakit TiLV pada Ikan Nila. Dalam edaran ini pemerintah menyebutkan langkah-langkah pencegahan dan pemantauan terhadap Penyakit TiLV.

Pertama, melarang pemasukan calon induk, induk, dan atau benih ikan nila dari negara yang terkena wabah TiLV yaitu Israel, Kolombia, Ekuador, Mesir dan Thailand. Kedua, membatasi pemasukan calon induk, induk, dan atau benih ikan nila dari negara yang tidak terkena wabah dengan memenuhi ketentuan wajib melampirkan izin pemasukan ikan hidup, melampirkan sertifikat kesehatan ikan dan uji hasil mutu.

Ketiga, untuk sementara tidak melakukan kegiatan penebaran benih Tilapia di perairan umum. Keempat, melakukan pengujian laboratorium di pintu pemasukan dan pengeluaran antar daerah. Kelima, meminta seluruh Unit Pelaksana Teknis (UPT) di bawah Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya maupun Dinas Perikanan di tingkat provinsi, kabupaten, dan kota untuk melakukan pemantauan dan monitoring penyakit TiLV.

 

Pekerja sedang memanen ikan nila dari budidaya keramba jaring apung di Danau Toba, Sumut. Tingkat produksi ikan nila dipengaruhi salah satunya oleh pakan ikan yang baik. Foto :
Ariefsyah Nasution / WWF Indonesia

 

Menurut Slamet, Produk Domestik Bruto (PDB) sektor perikanan pada tahun 2017 ditargetkan mampu mencapai 9 persen dan dapat terus meningkat setiap tahun. Salah satu yang diharapkan dapat memberikan kontribusi signifikan terhadap pertumbuhan PDB sektor perikanan adalah kegiatan ekonomi di bidang perikanan budidaya. Oleh karena itu, KKP terus berupaya untuk meningkatkan produksi perikanan budidaya setiap tahun.

KKP melalui Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya menargetkan produksi mampu mencapai 31,3 juta ton hingga 2019 nanti. Salah satu faktor penentu tercapainya target produksi tersebut adalah kemampuan mencegah dan mengendalikan berbagai penyakit ikan. Untuk itulah, Kementerian Kelautan dan Perikanan sangat serius mengantisipasi berbagai penyakit yang masuk ke Indonesia.

KKP sendiri telah menetapkan kebijakan penerapan Good Hatchery Practices (GHP), Good Aquaculture Practices (GAP), serta monitoring residu di tingkat nasional. Selain sebagai pencegahan dan pengendalian penyakit maupun kontaminan pada ikan, upaya tersebut juga untuk menjamin agar produk perikanan budidaya Indonesia aman dikonsumsi.

 

Simposium Penyakit Ikan

Kesuksesan Indonesia mengendalikan berbagai penyakit ikan mendapatkan apresiasi dari masyarakat internasional. AFS-FHS menjadikan Indonesia sebagai tuan rumah dalam penyelenggaraan kegiatan Symposium On Disease On Asian Aquaculture yang ke-10 (DAA10). Simposium tiga tahunan ini dihadiri sekitar 400 peserta dari 28 negara di dunia serta dirangkaikan dengan pameran teknologi perikanan budidaya.

AFS-FHS merupakan wadah bagi masyarakat perikanan Asia yang fokus terhadap kesehatan ikan maupun hewan akuatik lainnya. Anggotanya terdiri dari para ahli, peneliti, praktisi, mahasiswa, dan pemangku kepentingan lainnya. Organisasi ini didirikan pada 30 Januari 1989 di Malaysia dan menyelenggarakan simposium DAA perdananya pada 26-29 November 1990 di Kuta – Bali, Indonesia. Saat ini, anggota AFS-FHS berasal dari negara-negara di Asia, termasuk Indonesia.

Phan Thi Van, Chairperson AFS-FHS Executive Committee 2014-2017 menjelaskan bahwa DAA merupakan wadah diskusi bagi ahli, peneliti, praktisi, mahasiswa, maupun pihak swasta terkait perkembangan isu terkini dalam pengelolaan penyakit dan kesehatan ikan. “Melalui kegiatan ini, kami berharap dapat mendukung perkembangan akuakultur tingkat regional maupun internasional dalam perannya mewujudkan ketahanan pangan global,” kata Phan Thi Van.

Adapun Slamet berharap simposium ini penting sebagai forum bagi para ahli penyakit ikan untuk mengurangi risiko dampak lingkungan, termasuk TiLV. “Pembudidaya ikan di Indonesia dan juga seperti di negara lain, menghadapi berbagai serangan penyakit yang akan mengganggu proses produksi. Oleh karena itu, kita sangat memerlukan bantuan para ahli penyakit ikan dalam menangani masalah-masalah tersebut,” ujarnya.

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,