Warga Kendeng Kembali ke Jakarta Tuntut Penutupan Pabrik Semen di Rembang

 

Warga Pegunungan Kendeng datang lagi ke Jakarta, tuntut penutupan pabrik Semen Indonesia di Rembang. Mereka bikin tenda biru di depan Istana Negara Jakarta. Baru sehari, Satpol PP sudah merobohkan tenda biru. Wargapun tak menyerah, akan terus bersuara meskipun tanpa tenda.

 

Senin (4/9/17), sekitar pukul 10.30, tenda perjuangan kembali berdiri oleh belasan petani tergabung dalam Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng di depan Istana Negara di Jakarta.

Belasan petani ini datang ke Jakarta menagih komitmen Presiden Joko Widodo. Mereka meminta pabrik PT Semen Indonesia dan tambang-tambang lain di Kendeng, terutama CAT Watuputih, setop operasi.

“Kami mau meminta pabrik semen berhenti operasi,” kata Sukinah, petani Kendeng.

Tenda perjuangan ini khas beratapkan terpal biru. Bagian tengah depan dan belakang perlu disanggah agar tak terjatuh. Meski angin menerpa, tenda kokoh. Terlihat tujuh bendera Merah Putih berkibar pada tiang cagak tenda.

Sekitar Juli, masyarakat sekitar pabrik SI mulai terasa dampak pabrik beroperasi. ”Dari kemarau ini, pohon-pohon dan tanaman kita udah gak kelihatan,” katanya. Pohon dan tanaman terkena debu.

Baca juga: Semen Kaki Jilid II, Warga Kendeng Menuntut Presiden Sikapi Kasus Rembang

Buntutnya, pertanian dan pakan ternak makin berkurang. Sukinah mengatakan, hal ini tak hanya berdampak pada tumbuhan dan hewan, juga manusia.

Baca juga: KLHS: CAT Watuputih jadi Kawasan Lindung Terbebas dari Segala Tambang

Mereka berniat terus bertenda hingga ada langkah nyata penghentian operasional SI. ”Kami masih tak tahu sampai kapan, kami berharap tidak lama-lama.”

Mereka berharap, Jokowi meminta orang kepercayaan menindak tegas semen dan tambang-tambang lain di CAT Watuputih. “Ini bukan kepentingan pribadi tapi Indonesia,” katanya.

 

 Masih beroperasi

JMPKK menuntut, SI dan perusahaan tambang lain menaati hasil Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) tahap I yang menyebutkan Kawasan Cekungan Air Tanah (CAT) Watuputih tak boleh ditambang.

“Semen Indonesia tak patuh perintah,” katanya.

Agung Wiharto, Sekretaris Semen Indonesia berkata lain. Dia mengatakan, SI patuh rekomendasi KLHS I.  Dia juga akui SI beli batu gamping dari perusahaan tambang di CAT WAtuputih. Sebagai informasi, sesuai rekomendasi KLHS tahap I,  semua perusahaan di CAT Watuputih setop nambang.

 

Tenda biru warga Kendeng di depan Istana dirobohkan Satpol PP. Foto: Ngatiban/ Mongabay Indonesia

 

Pada April 2017, San Afri Awang, Direktur Jenderal Planologi dan Tata Lingkungan KLHK bersama Komisi IV DPR mengunjungi pabrik Rembang.

”Beliau menyarankan pabrik rembang tetap bisa beroperasi, disarankan membeli batu gamping di perusahaan tambang lokal berizin yang beroperasi di CAT Watuputih,” katanya.

Dalam pertemuan ditegaskan, pabrik boleh beroperasi, tetapi tidak mengambil batu gamping di quarry batu gamping pabrik Rembang.

”(Produksi) masih sangat kecil, karena pabrik tidak didesain untuk membeli batu gamping dari penambang lokal sekitar,” katanya.

 

***

Sukinah dan petani lain menunggu hasil KLHS Tahap II. Pengecekan lapangan KLHS oleh tim Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) bersama masyarakat dalam pengambilan sampel di beberapa lokasi. ”Kami minta ESDM, terutama Badan Geologi, penelitiannya independen. Ini kami sangat tunggu-tunggu.”

Aksi rencananya setiap hari hingga pukul 17.00. Aktivitas di tenda saat wartawan datang sekitar pukul 15.00, beberapa warga tertidur, ada yang berbincang satu sama lain. Sekitar pukul 15.30, mereka kembali melantunkan tembang dan nyanyian-nyanyian dalam bahasa Jawa.

Baru satu hari tenda perjuangan berdiri, di hari kedua tenda dibongkar paksa. Selasa (5/9/17), sekitar pukul 13.30, tenda perjuangan masyarakat Kendeng dibongkar paksa belasan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Jakarta.

“Sekitar 20-an orang Satpol PP, ada polisi juga datang. Alasannya mengganggu kenertiban dan pemandangan kota,” kata Ngatiban, koordinator aksi saat dihubungi Mongabay.

Kendati demikian, petani Kendeng terus duduk di depan Istana Merdeka,  tanpa atap. Pada pukul 17.00, mereka merapikan tenda dan membawa ke kantor Lembaga Bantuan Hukum, tempat mereka menginap di Jakarta.

“Kami tidak menyerah sampai operasi pabrik dihentikan, meski tidak pakai tenda.”

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , ,