Begini Perempuan Pesisir Langkat Memanfaatkan Sekaligus Menjaga Hutan Mangrove

 

Buah pidada menggantung manja…Daun jeruju berduri menganga…Pohon mangrove wajib dijaga…Karena mereka sangat mempesona

 Apa tanda pesisir Langkat…Di ujung pantai orang bersilat…Apa tanda manusia sehat…Mangrove sahabat jangan dibabat

Sebait pantun keluar dari seorang perempuan paruh baya yang tengah duduk di kursi. Di depan dia tampak puluhan botol dan kerupuk tersaji terpajang di meja panjang, bertuliskan,” berbagai aneka produk olahan mangrove.”

Botol sirup manis dan kerupuk gurih itu, ternyata hasil olahan berbagai tumbuhan di hutan mangrove,  Langkat, Sumatera Utara (Sumut). Produk olahan mangrove ini, hasil tangan manis para perempuan pesisir di Desa Lubuk Kertang, Kecamatan Brandan Barat, Langkat.

Dedaunan dan buah serta apa saja dari hutan mangrove, disulap para perempuan yang menamakan diri Kelompok Tani Abadi Mangrove ini, jadi bernilai ekonomi tinggi.

Untuk sirup, mereka olah dari pidada, kerupuk pedas dan gurih, diolah dari berbagai dedaunan yang hidup subur di hutan mangrove, salah satu daun jeruju.

Walau bentuk luar daun ini mengerikan banyak tumbuh duri, di tangan para perempuan, mangrove pesisir Langkat ini, berubah jadi makanan lezat.

Cerita produk olahan makanan dan minuman lezat ini, sudah dikenal sejak dua tahun terakhir. Para perempuan Pesisir Langkat ini menilai, banyak sekali manfaat menjaga hutan mangrove di desa mereka.

Tak hanya menjaga keberlangsungan ekosistem laut, mangrove juga mengundang orang-orang datang melihat burung migran dan burung pantai.

Daliana, Ketua Kelompok Tani Abadi Mangrove Desa Lubuk Kertang, Brandan Barat, Langkat, mengatakan, perempuan pesisir di desa mereka sudah memanfaatkan hutan mangrove sejak turun temurun.

Awalnya, hanya jadi makanan dan minuman sirup buat konsumsi sendiri di rumah.

Tujuh tahun lalu, katanya, sempat terjadi konflik karena ada sejumlah perusahaan merusak hutan mangrove dan menghancurkan ratusan ribu pohon bakau serta mengubah jadi sawit.

 

Sirup pidada dari hutan mangrove Langkat. Foto: Ayat S Karokaro/Mongabay Indonesia

 

Masyarakat desa melawan, karena aksi perusahaan yang mengantongi izin dari Pemerintahan Langkat ini, dianggap menghancurkan hutan mangrove leluhur mereka.

“Kami, laki-laki, perempuan melawan. Ada yang ditangkap, dianiaya di kantor polisi dan sampai berdarah-darah. Perjuangan kami mempertahankan hutan mangrove takkan surut. Kebun sawit harus dihancurkan dan mengembalikan lagi jadi hutan mangrove, ” katanya.

Perjuangan masyarakat desa berbuah hasil. Pemerintahan Presiden Joko Widodo, akhirnya mengeluarkan izin usaha hutan kemasyarakatan (HKm) kepada kelompok tani dan nelayan ini. Ratusan hektar kebun sawit dihancurkan di hutan mangrove register 8/L. Perlahan tetapi pasti, warga desa kembali menanami lagi ribuan batang bakau, hutan mangrove mulai hijau.

Setelah itu, kata Daliana, mereka mengembangkan usaha produk olahan hutan mangrove. Bermodal pendampingan dari Persaudaraan Perempuan Nelayan Indonesia, para perempuan pesisir Langkat ini, dibekali berbagai cara mengolah hutan mangrove. Setiap hari, mereka patungan Rp2.000 per orang untuk produksi skala besar.

Hasilnya, olahan mereka bisa dinikmati banyak orang. Harga kerupuk pedas Rp5.000 per bungkus, dan untuk sirup pidada Rp15.000.

Daliana menjelaskan proses pembuatan. Untuk kerupuk jeruju sekali produksi perlu lima kg tepung. Satu kilogram bisa hasilkan 20 bungkus kerupuk, dengan pakai daun muda jeruju satu ons, duri dibuang terlebih dahulu.

Untuk pidada, perlu tiga kg buah, hasilkan 30 botol sirup pidada mangrove. Dalam satu kg perlu 2,5 kg gula– menghasilkan delapan botol sirup– olahan para perempuan pesisir ini. Mereka menerapkan sistem bagi hasil.

Alhamdulillah, pendapatan dari produksi produk hutan mangrove ini dapat membantu belanja dan kebutuhan rumah sehari-hari,” katanya.

 

Hutan mangrove di Langkat ini kembali hijau oleh beragam tanaman mangrove, setelah sempat berubah jadi sawit. Foto: Ayat S Karokaro

 

Sekarang, hasil olahan produk hutan mangrove ini, sudah bisa dipesan kapan saja. Setiap ada pameran produk usaha kecil menengah baik tingkat kabupaten maupun provinsi, kelompok ini selalu terlibat.

Tak jarang,  mereka diminta membantu masyarakat pesisir di Sumut, mengajarkan cara memanfaatkan hutan mangrove, tanpa harus merusak atau jadikan tanaman lain.

Kesadaran menjaga hutan mangrove ini terus menjalar ke berbagai wilayah pesisir di Sumut. Mulai dari Kota Sibolga hingga pesisir Mandailing Natal (Madina).

Ratnasari Keliat, Ketua Persaudaraan Perempuan Nelayan Indonesia Langkat, pendamping masyarakat pesisir mangrove, mengatakan,  sejak 2015 sudah membina  beberapa kelompok perempuan nelayan di pesisir Langkat, salah satu Kelompok Tani Abadi Mangrove.

Selain mengolah mangrove, para perempuan ini juga membantu penanaman dan pembibitan mangrove. Pelatihan-pelatihan tentang mangrove dan olahan juga diberikan kepada para perempuan ini.

“Jadi kita ajak ke daerah lain untuk meningkatkan pengetahuan para ibu-ibu ini soal mangrove. Ada kreativitas baru dalam mengembangkan produk pengolahan hutan mangrove.”

Karena hutan mangrove tidak ditebangi dan terus dijaga, membuat bahan baku produk mangrove ini terus ada, dan para ibu-ibu ini juga terus mendukung para suami dan warga desa yang terus menjaga agar tidak dirusak.

Setiap ada pertemuan atau pameran hasil produk olahan masyarakat pesisir, kelompok ini menjadi satu-satunya yang dibawa dan diperkenalkan ke pemerintahan kabupaten dan kota di Sumut bahkan di sejumlah wilayah di Indonesia.

 

Para perempuan kelompok tani memetik mangrove buat keperluan produksi penganan. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , ,