Cegah Pemboman Karang, Keterlibatan Masyarakat Perlu Didorong untuk Awasi Laut

Pengembangan kawasan konservasi perairan laut Flores Timur yang mencakup area sekitar 150 ribu hektar saat ini dipersiapkan. Dengan adanya penetapan kawasan ini, diharapkan mampu melindungi kekayaan alam yang ada dari praktek yang merusak, termasuk pemboman karang yang marak terjadi di wilayah ini.

Menurut Apolinardus Demoor, Kepala Bidang Perijinan Usaha dan Sumber Daya Perikanan Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kabupaten Flores Timur, kawasan ini nanti akan mencakup zona inti seluas 4,212,08 hektar yang berada di perairan Solor Selatan dan di pantai utara Flores di Kecamatan Tanjung Bunga. Lokasi ini diketahui merupakan kawasan penting pemijahan ikan, dimana ikan yang telah bertelur akan bergerak di kawasan lingkar Teluk Solor, Adonara dan Larantuka.

Selanjutnya, zona perikanan berkelanjutan seluas 126.167,50 hektar (dibagi dalam sub zona pemanfaatan dan budidaya dengan luas 10.914,13 hektar dan sub zona perikanan tangkap seluas 115.223,37 hektar), zona pemanfaatan seluas 5.685,080 hektar untuk sarana dan prasarana penunjang pariwisata. Terakhir, zona lainnya yang terdiri atas zona hak kelola adat dan zona rehabilitasi seluas 12.926,348 hektar.

“Sayangnya justru di daerah larang tangkap atau zona inti, masyarakat masih melakukan pemboman ikan,” sebut Apolinardus kepada Mongabay Indonesia (30/8).

Hal ini tidak jauh berbeda dari laporan WWF Indonesia “Potret Pemboman Ikan Tuna di Perairan Kabupaten Flores Timur” (2013). Dalam laporan itu, disebut praktik pemboman jamak dilakukan untuk penangkapan ikan tuna di perairan Pulau Tiga, Selat Solor, Pulau Solor bagian selatan, Selatan Lamakera, dan Selat Lembata bagian selatan.

Apolinardus melanjutkan, saat ini DKP Flotim telah membentuk Kelompok Pengawas Masyarakat (Pokmaswas) di 17 kecamatan. Pokmaswas berfungsi memberikan informasi bila ada kegiatan penangkapan ikan dengan cara ilegal, termasuk penggunaan bom. Anggota Pokmaswas yang direkrut pun, ada yang merupakan mantan pelaku pengemboman ikan.

”Pemerintah Flotim dalam tahun 2018 akan membangun sebuah pos pengawasan laut di pantai utara Flores, dimana di tempat itu juga akan ditempatkan petugas pengawas,” jelasnya.

Kawasan perairan Flotim berdasarkan data DKP Flotim, merupakan kawasan yang kaya ikan. Pada tahun 2016, total produksi ikan adalah 14.953 ton yang mencakup berbagai jenis ikan pelagis, pelagis kecil dan ikan demersal.

 

Kondisi terumbu karang di perairan Watanhura, Kecamatan Solor Timur, yang mengalami kerusakan pemboman yang dilakukan nelayan saat menangkap ikan. Foto: Yayasan Pengkajian dan Pengembangan Sosial (YPPS).

 

Libatkan Masyarakat untuk Jaga Perairan Laut

Persoalan pemboman bagi Melki Koli Baran, Direktur Yayasan Pengkajian dan Pengembangan Sosial (YPPS), sebuah lembaga pemberdayaan masyarakat pesisir, tidak bisa dilihat dari satu sisi saja. Menurutnya, agar laut tetap terjaga, maka masyarakat yang tinggal di pesisir laut Solor pun harus dilibatkan. Apalagi, pengawasan laut di lokasi ini terbilang minim.

“Awal memulai program kami cari tahu, mengapa orang bebas bom ikan setiap hari, juga mengapa masyarakat lokal tampak terlihat apatis dengan pemboman,” jelas Melki kepada Mongabay Indonesia di kantornya (30/08).

Ia pun berkesimpulan masyarakat banyak yang belum paham tentang fungsi laut, dampak pemboman dan belum melihat laut sebagai asset bersama yang perlu dilindungi.

Setelah melakui serangkaian survey dan orientasi, YPPS pun memilih bekerja di tiga desa di perairan Solor, yang kerusakan karangnya parah akibat pemboman. Masing-masing Desa Bubu Atagamu di Kecamatan Solor Selatan, serta Lebao dan Watanhura di Kecamatan Solor Timur. Ketiga desa ini mendapat asistensi pendampingan dari YPPS bekerjasama dengan YTIB (Yayasan Tana Ile Boleng).

Saat dijumpai di lokasi masyarakat dampingan, Andreas Soge, fasilitator masyarakat YPPS, menyebut ada tiga kegiatan besar yang sedang berjalan yakni; pengorganisasian masyarakat, merumuskan daerah perlindungan laut (lumbung ikan), dan pemberdayaan ekonomi kelompok nelayan. Tak lupa, masyarakat pun diajak membuat rumpon dan melakukan survey terumbu karang.

Aktivitas lainnya, adalah membentuk kelompok masyarakat yang bertugas mengawasi dan memberi informasi aktivitas penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan seperti pemboman dan penangkapan ikan menggunakan potasium.

Dengan keterlibatan masyarakat, hasilnya selama 7 bulan terakhir berjalan, pemboman hanya terjadi satu kali saja Desa Bubu Atagamu. Padahal dulu, ratusan kali pemboman dilakukan oleh para nelayan asal Lamahala dan Lamakera, Flotim serta Sikka dan Ende.

“Ikan yang telah lama masyarakat tidak melihatnya karena hilang kini mulai mudah ditangkap. Ikan mulai sering terlihat di pinggir pantai. Nelayan juga tidak lagi menangkap ikan yang dilindungi seperti pari manta, hiu dan napoleon,” kata Andreas.

 

Peta sebaran destruktif fishing di Kabupaten Flores Timur. Klik pada gambar untuk memperbesar.

 

Hal ini dibenarkan oleh Yohanes Sogen, Sekretaris Desa Bubu Atagamu. Ia menyebut sebelum adanya program, dalam sehari di wilayah perairan desanya marak terjadi pemboman ikan hingga ke pinggir pantai.

Yohanes mengaku, dulu akibat pemboman, nelayan di desanya harus memancing hingga ke laut berkedalaman 80 sampai 90 meter untuk mendapatkan ikan karang di dasar laut, tapi saat ini nelayan cukup memancing hingga kedalaman 10 sampai 20 meter saja.

“Saat ini sudah ada beberapa ekor pari manta dan ikan napoleon yang terlihat kembali saat kami memancing, tapi karena sudah diberitahu jenis ikan tersebut dilindungi, kami tidak menangkapnya,” tutur Yohanes.

Perlahan jelasnya, telah muncul kesadaran untuk menjaga laut di tingkat masyarakat. Mereka pun terlibat aktif melakukan kontrol terhadap penangkapan ikan yang menggunakan bom. Dia berharap kedepan masyarakat dapat dibantu dengan pelatihan dan alat tangkap yang ramah lingkungan.

“Sehingga masyarakat tidak perlu pergi jauh merantau ke luar daerah mencari pekerjaan,” tuturnya. Desa Bubu Atagamu sendiri terdiri dari 876 jiwa yang terdiri atas 223 kepala keluarga.

Magdalena Rianghepat dari YPPS, menyebut bahwa secara rutin sekarang warga desa diajak dalam survey untuk mengecek kondisi kesehatan laut dan karang.

“Kalau di desa Bubu Atagamu ekosistem lautnya masih sedikit bagus dan karang-karangnya pun belum banyak yang rusak akibat pengeboman sehingga lebih mudah dilakukan transplantasi atau rehabilitasi,” ungkapnya.

Agar berkesinambungan, YPPS berupayan agar kegiatan ini dapat mendapat dukungan dari pemerintah kabupaten.

“Kami mengajak para pihak di kabupaten untuk terlibat. Kami sedang berusaha agar program pengawasan laut bisa dimasukan ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Manengah Daerah (RPJMD) Pemkab Flotim,” ujar Melki menutup penjelasan.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,