Dinilai Masih Bergerak Lambat, Begini Perkembangan Perhutanan Sosial

 

 

Memperluas akses kelola hutan kepada rakyat jadi komitmen Presiden Joko Widodo. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pun mengusung perhutanan sosial dengan model pengelolaan seperti hutan desa, hutan kemasyarakatan (HKm), hutan tanaman rakyat, hutan adat hingga kemitraan. Program pemerintah ini selalu disebut-sebut sebagai prioritas. Bagaimana implementasinya?

Akhir 2017, KLHK menargetkan realisasi perhutanan sosial satu juta hektar, dengan total rencana sampai 2019 sebanyak 12,7 juta hektar.

”Perhutanan sosial bukan program bagi-bagi lahan atau akses lahan, tetapi program sistematis,” kata Siti Nurbaya, Menteri LHK, dalam pembukaan Festival Perhutanan Sosial Nusantara (PeSoNa), di Jakarta, Rabu (6/917).

Program sistematis itu maksudnya, kata Siti, memberdayakan masyarakat di sekitar hutan lebih produktif, bekerja dan berpenghasilan, hingga meningkatkan kesejahteraan mereka.

Perhutanan sosial, katanya, jadi bentuk pengakuan dan perlindungan kepada masyarakat dalam mengelola dan memanfaatkan hutan.

Menurut Siti,  perhutanan sosial jadi amanat dari Presiden Jokowi untuk meniadakan pemikiran, persepsi dan stigma kepada rakyat ilegal di dalam hutan. ”Tidak ada rakyat ilegal di Indonesia,” katanya.

Berdasarkan data KLHK, luas perhutanan sosial sampai September 2016 sebesar 636.567,87 hektar. Sejak penerbitan Peraturan Menteri LHK Nomor P 83/MEN-LHK/SETJEN/KUM.1/10/2016 tentang Perhutanan Sosial tertanggal 25 Oktober 2016, ada kenaikan signifikan.

”Ini progress cepat. Dalam waktu delapan bulan dapat terealisasi 400.379,5 hektar,” kata Hadi Daryanto, Direktur Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan.

Angka itu, terdiri dari, 286.234 hektar hutan desa, 58.802 hektar HKm, 26.266,8 hektar HTR, 15.655,31 hektar kemitraan, dan 8.746,49 hektar hutan adat. Lalu, 4.674,9 hektar lewat izin pemanfaatan hutan perhutanan sosial (IPHPS).

Sehingga, total alokasi perhutanan sosial mencapai 1.053.477,50 hektar dan 900.000 hektar sedang proses perencanaan alokasi selanjutnya. Angka ini didominasi pengajuan skema hutan desa dan HKm.

Capaian inipun, katanya,  karena penerbitan izin disederhanakan, berkolaborasi dengan multistakeholder, yakni komunitas maupun lembaga swadaya masyarakat (LSM) dalam memberikan pendampingan proses perizinan. Juga kewenangan pemberian izin perhutanan sosial langsung oleh pemerintah pusat.

Skema sebelumnya diserahkan ke pemerintah daerah dianggap rentan dimanfaatkan sebagai alat politik. ”Kami menargetkan akhir tahun nanti izin perhutanan sosial bisa sampai satu juta hektar.”

Langkah ini perlu disambut komitmen dunia usaha maupun BUMN dalam mendorong perhutanan sosial, seperti permodalan dan memberikan kredit usaha rakyat (KUR). Pemerintah pun akan memfasilitasi masyarakat dengan memberikan kesiapan maupun akses sarana dan prasarana.

Berbicara perhutanan sosial, katanya, bukan hanya persoalan target, terpenting kesiapan kelembagaan calon pemegang izin atau hak. Untuk itu, perlu pendampingan dalam pengembangan kapasitas masyarakat.

”Kita harus mempercepat dengan mengaktifkan pokja-pokja perhutanan sosial di daerah. Harus ada percepatan karena ini sangat penting,” katanya.

 

Noer Fauzi Rachman dari Kantor Staf Kepresidenan (paling kiri) tengah berbincang dengan Deman Huri, dari Kalbar, yang mengenalkan produk dari hutan adat, seperti margarin tengkawang dalam Festival Perhutanan Sosial Nusantara di Jakarta. Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia

 

Masih lambat

Perhutanan sosial, bukan hanya memberikan akses lahan hutan bagi masyrakat, juga langkah menjaga hutan di tingkat tapak, meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan turut menjaga budaya dan adat.

Berdasarkan pemetaan KLHK, terdapat 10,2 juta rakyat miskin tersebar di 25.863 desa di sekitar dan dalam hutan. Adapun, 71,06% menggantungkan hidup dari sumber daya hutan.

Eko Cahyono, Direktur Eksekutif Sajogyo Institute mengatakan, realisasi perhutanan sosial masih lambat. Implementasi program ini masih memiliki pekerjaan rumah, yakni konflik tenurial belum selesai dan belum memenuhi syarat clean and clear. Penegakan hukum atas kejahatan kehutanan juga kurang tegas.

Dia contohkan, dalam dokumen Inkuiri Nasional, yang disusun bersama Komnas HAM terkait 40 konflik masyarakat di dalam kawasan hutan masih terbengkalai. Implementasi putusan MK35, dengan memprioritaskan 40 konflik jadi 13 konflik pun jalan di tempat. ”Pengukuhan hutan, untuk masyarakat adat masih up and down,” katanya.

Dia menilai, dalam aturan level kebijakan pemerintah sudah ada perbaikan dengan memasukkan isu tenurial. Sayangnya,  itu tak dibarengi perubahan watak birokrasi, paradigma politik pengurusan sumber daya dan sistem ekonomi politik sebagai dasar dan kebijakan. Dengan begitu, walaupun ada kebijakan baru,  hanya jadi peluang namun sulit terimplementasi.

Eko sarankan, kebijakan yang sudah baik ini perlu diperkuat dengan mendudukkan ulang masalah tenurial sebagai mandat konstitusional dengan ”tafsir kerakyatan.” Ia sebagai bentuk koreksi agar kebijakan yang dianggap populis kerakyatan ini sesuai suara masyarakat.

Dengan begitu, ada sebuah jembatan penghubung antara niatan pemerintah dengan apa suara masyarakat. Dia melihat, implementasi baik reforma agraria maupun perhutanan sosial sangat berbau ekonomi dan politik.

Asep Yunan Firdaus, Direktur Epistema Institute menyebutkan, kebijakan tenurial menunjukkan titik terang. Sinergi lintas pemerintah, lembaga masyarakat sipil dan industri pun lebih baik dibandingkan 2011.

Meski demikian, akses pengelolaan lahan baru menunjukkan banyak peluang hingga perlu ada kelembagaan dan pemberdayaan masyarakat yang intensif.

Selain itu, isu tenurial baru di level nasional, di daerah hanya beberapa titik. Jadi, tak hanya harmonisasi lintas kementerian dan lembaga, perlu memperluas keterlibatan daerah.

 

 

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,