Penerbitan Peraturan Presiden No.3/2017 tentang Rencana Aksi Percepatan Industrialisasi Perikanan Nasional dinilai sejumlah kalangan memicu pro dan kontra di kalangan pelaku usaha industri perikanan dan kelautan. Perbedaan pandangan tersebut, karena peraturan tersebut dinilai bisa memicu ke arah positif dan juga sebaliknya.
Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia Moh Abdi Suhufan mengungkapkan, harus ada evaluasi dan sekaligus melakukan kajian ulang atas pemberlakuan Perpres tersebut. Penyebabnya, karena sejak diterbitkan pada awal Januari 2017 hingga sekarang, perpres tersebut belum bisa efektif mengakselerasi pembangunan industrialisasi perikanan.
“Padahal, Perpres tersebut merupakan acuan bagi pemerintah pusat dan daerah dalam merencanakan, melaksanakan dan mengevaluasi implementasi Rencana Aksi Industrialisasi Perikanan,” ucap dia di Jakarta pekan lalu.
Menurut Abdi Suhufan, Perpres yang sudah diterbitkan itu memuat 5 program dan 27 kegiatan yang di dalamnya memberi mandat dan penugasan kepada 20 Kementerian, Badan Informasi Geospasial, TNI/Polri dan Pemerintah Provinsi untuk saling bersinergi melaksanakan rencana aksi industrialisasi perikanan nasional.
Dengan penugasan tersebut, Abdi menilai, seharusnya program percepatan bisa berjalan lancar dan cepat. Namun pada kenyataannya, pelaksanaan Perpres justru menemui sejumlah hambatan seperti adanya ego sektoral antar kementerian, berkurangnya anggaran pemerintah untuk membiayai industri perikanan dan masih minimnya realisasi investasi industri perikanan oleh pihak swasta.
Abdi menyebut, saat ini menjadi momentum yang tepat bagi pemerintah untuk mengevaluasi Perpres No.3/2017, mengingat APBN 2018 akan segera ditetapkan. Selain itu, dengan evaluasi, Pemerintah bisa mengetahui perkembangan dan efektivitas pelaksanaan Perpres tersebut.
Lebih jauh Abdi mengatakan, belum efektifnya Perpres No.3/2017, bisa dilihat dari rencana Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) pada 2017 untuk membangun sentra kelautan dan perikanan (SKPT) di 12 wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Rencana pembangunan tersebut, faktanya tidak semuanya terakomodir dalam Perpres No.58/2017 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional.
“Hanya SKPT Talaud yang masuk dalam kategori Proyek Strategis Nasional, ini menyebabkan daya dorong dan percepatan pembangunan SKPT tidak terlalu kuat,” sebut dia.
Selain contoh di atas, Abdi Suhufan mengatakan, bukti lain masih belum efektifnya pelaksanaan Perpres No.3/2017 adalah masih adanya ego sektoral dan lemahnya koordinasi antar kementerian. Fakta itu menyebabkan belum selesainya 3 (tiga) Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) yang mengatur Tata Ruang dan Pengembangan Kawasan Pesisir dan Laut.
Adapun, 3 RPP yang dimaksud adalah RPP tentang Izin Lokasi dan Izin Pengelolaan Kawasan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, RPP tentang Perencanaan Ruang Laut dan RPP tentang Tata Ruang Laut Nasional. Keberadaan RPP tersebut menjadi sangat penting bagi pelaku usaha untuk melakukan usaha dan investasi sesuai dengan peruntukan ruang yang dialokasikan oleh Pemerintah.
“Ada hambatan sektoral antara Kementerian Agraria dan Tata Ruang dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan terkait kewenangan kedua instansi sehingga ke-3 RPP tersebut belum dapat diselesaikan sampai saat ini,” jelas dia.
Pengadaan Kapal
Berkaitan dengan pengadaan 4.787 kapal berukuran di bawah 3 gros ton (GT) yang dilakukan Pemerintah untuk meningkatkan kapasitas produksi perikanan tangkap dan 12.536 kapal di atas 30 GT oleh swasta, DFW Indonesia memprediksi kalau pengadaan yang ditarget pada 2019 itu tidak akan terwujud.
Peneliti DFW-Indonesia Subhan Usman mencatat, berdasarkan pengalaman pengadaan kapal oleh KKP pada dua tahun terakhir, target pengadaan oleh Pemerintah dan Swasta dalam waktu bersamaan, pesimis bisa berjalan baik. Meskipun, kata dia, usaha perikanan tangkap terbuka lebar untuk investor dalam negeri karena sektor tersebut sudah masuk dalam daftar negatif investasi (DNI).
“Tahun lalu hanya ada sekitar 1300-an kapal ikan yang dibangun oleh swasta dan perorangan yang mengajukan izin baru ke KKP. Artinya terdapat tantangan untuk membuat agar usaha perikanan tangkap dalam negeri menjadi bergairah dan menarik swasta untuk berinvestasi,” jelas dia.
Sehubungan dengan hal tersebut, DFW-Indonesia meminta Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian untuk melakukan evaluasi terhadap pelaksanan Perpres No.3/2017.
Adapun hal yang perlu dievaluasi adalah melakukan identifikasi hambatan pelaksanaan Perpres, menyusun rencana dan target tahunan yang lebih rinci bagi setiap Kementerian, serta memberikan prioritas penyelesaian regulasi yang dibutuhkan dalam pelaksanaan industrialisasi agar memberikan kepastian usaha bagi stakeholders perikanan.
Jepang di Pulau Terluar
Sementara itu, 6 lokasi pembangunan SKPT di Sabang (Aceh), Natuna (Kepulauan Riau), Morotai (Maluku Utara), Saumlaki dan Moa (Maluku), serta Biak (Papua) dipastikan mendapat hibah pembangunan fasilitas fisheries community dari Pemerintah Jepang. Kepastian itu didapat setelah Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti bertemu Penasihat Khusus Perdana Menteri Jepang Hiroto Izumi awal pekan ini di Jakarta.
Menurut Susi, pembangunan di enam lokasi SKPT, merupakan implementasi dari kerja sama dengan Jepang dalam memastikan pembangunan di bidang perikanan dan juga keamanan laut, termasuk free navigation di wilayah laut Indonesia.
“Saya berharap pembangunan 6 pulau terluar ini nantinya akan dibantu lagi menjadi 60 pulau terluar. Saya harapkan ini nanti menjadi PR kita bersama,” ujar dia.
Susi mengatakan, jika Indonesia memiliki 60 coastal radar yang tersebar di pulau-pulau terluar Indonesia, maka laut Indonesia akan menjadi aman. Jika itu terwujud, maka manfaatnya akan dirasakan oleh negara-negara Asia lain.
Di saat yang sama, Hiroto Izumi mengatakan, Jepang sangat menghargai peran aktif Indonesia yang berkontribusi terhadap stabilitas dan kesejahteraan kawasan dan global. Untuk itu, kedua belah pihak telah menyepakati beberapa paket kerja sama.
“Pentingnya poros maritim dunia dianjurkan Presiden Joko Widodo, Jepang bekerja sama erat dengan Indonesia, dan mempertimbangkan kesempatan kerja sama dengan kecepatan luar biasa. Kami melaksanakan dengan cepat dan berurutan dari proyek yang tersedia dengan menggunakan berbagai upaya termasuk kerja sama pendanaan dan kerja sama teknologi,” ungkap Izumi.
Izumi mengatakan, kedua negara sudah menyadari betapa pentingnya memperkuat fasilitas infrastruktur, meningkatkan keselamatan, dan mempromosikan industri maritim kawasan, termasuk pembangunan pulau-pulau terluar sebagai salah satu pilar penting dalam meningkatkan hubungan kerja sama bilateral.
“Ini sejalan dengan kepentingan kedua negara untuk memelihara dan mempromosikan laut yang bebas, terbuka, dan stabil untuk perdamaian, stabilitas, dan kemakmuran kawasan dan masyarakat internasional sebagai negara maritim,” ungkap dia.
Untuk itu, menurut Izumi, Indonesia dan Jepang sepakat untuk menjalin kerja sama di beberapa bidang, seperti ekonomi, termasuk investasi dan perdagangan produk perikanan, pemberantasan IUU Fishing dan fisheries crimes dan pengembangan kapasitas di bidang kelautan dan perikanan, serta penelitian dan pengembangan kelautan dan perikanan.
Selain itu, Izumi menambahkan, kerja sama juga akan dilakukan dalam konstruksi kapal pengangkut ikan untuk memperlancar konektivitas produk perikanan dari pulau-pulau terluar ke pasar, peningkatan kemampuan pengawasan perikanan di sekitar enam pulau terluar dengan menggunakan teknologi Jepang, konstruksi kapal-kapal pengawas dan kapal serbaguna (multipurpose), dan penyusunan proyek kelautan dan perikanan dengan menggunakan teknologi antariksa.