Pemerintah Aceh tengah merencanakan pembangunan pembangkit listrik tenaga air (PLTA) yang berada di hutan lindung Kawasan Ekosistem Leuser (KEL). Tepatnya di Tampur, Kabupaten Gayo Lues, Aceh.
PLTA berkapasitas 428 mega watt ini, tinggi bendungannya dirancang setingggi 173,5 meter, dengan daya tampung waduk 697.400.000 meter kubik. Rencana luas genangannya 4.000 hektare dan jaringan transmisi saluran udara tegangan tinggi sekitar 275 KVA.
Komisi Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) Provinsi Aceh, telah menyetujui pengerjaan proyek tersebut. Meskipun, lebih dari 4.000 hektare hutan di KEL akan menjadi danau dan puluhan kepala keluarga di Desa Lesten, Kecamatan Pining, Kabupaten Gayo Lues, direlokasi.
Baca: Protes Masyarakat Gayo Lues Terhadap Pembangunan PLTA Tampur di Leuser
Terkait rencana pembangunan pembangkit listrik ini, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Aceh telah melapornya ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Walhi juga mendesak KLHK untuk tidak mengeluarkan izin pelepasan kawasan hutan.
“Laporan telah disampaikan ke Dirjen Penegakan Hukum dan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada 10 Agustus 2017. Kami melaporkan proyek energi yang dibangun di dalam hutan Leuser itu,” ujar Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Aceh, Muhammad Nur, Kamis (7/9/17).
Muhammad Nur menambahkan, semua pihak menyadari Provinsi Aceh krisis energi. Tapi harus diingat, pembangkit listrik tersebut berada di hutan dan mengancam kelestariannya. “Ada proyek PLTA di dalam kawasan hutan lindung dan Kawasan Ekosistem Leuser (KEL).”
Padahal, KEL merupakan kawasan strategis nasional yang memiliki fungsi daya dukung lingkungan hidup dan pertahanan nasional, sekaligus penyeimbang perubahan iklim dunia. Seharusnya Pemerintah Aceh memaksimal produksi energi dari pembangkit listrik yang telah ada. Atau, program energi diprioritaskan di luar kawasan hutan yang tidak berdampak terhadap ekologi dan ekosistem yang ada.
“Sebagai contoh, pembangunan PLTA Kluet 1 di Aceh Selatan membutuhkan area seluas 443,79 hektare. Dari kebutuhan tersebut, akan digunakan kawasan hutan lindung seluas 424,46 ha, dan sisanya berada di APL 19,33 ha.”
Begitu juga, lanjutnya, dengan PLTA Tampur 1 di Gayo Lues yang membutuhkan area 4.090 ha. Dari area tersebut akan digunakan kawasan hutan lindung sekitar 1.226,83 ha, hutan produksi 2.565,44 ha, dan sisanya APL 297,73 ha. “Pembangunan PLTA Tampur 1 juga berdampak terhadap relokasi permukiman penduduk satu desa, yaitu Desa Lesten.”
Muhammad Nur berpendapat, kebutuhan listrik di Aceh sudah cukup bahkan lebih meskipun proyek PLTA di Tampur dan Kluet tidak dikerjakan. “Pemerintah harus benar-benar melihat dampak terhadap kelestarian hutan dan lingkungan saat pembangunan proyek besar dilaksanakan,” terangnya.
Proyek energi
Muhammad Nur mengatakan, hasil analisis Walhi Aceh menunjukkan, kebutuhan energi listrik Aceh saat ini sekitar 250 Mega Watt (MW). Sementara beban puncak, berkisar antara 260 – 360 MW.
“Jumlah pelanggan listrik sekitar 1.245.644 pelanggan. Rinciannya, rumah tangga (1.117.644 unit), industri (1.884 unit), usaha (81.964 unit), sosial (35.575 unit), serta gedung pemerintah (7.224 unit). Aceh masih tergantung dengan pasokan energi listrik dari Sumatera Utara sekitar 180 MW lebih, karena tiga pembangkit listrik yang ada belum mampu memenuhi kebutuhan energi,” sebutnya.
Saat ini, pembangkit listrik tenaga mesin gas (PLTMG) di Aceh baru menghasilkan energi 80 MW dari kapasitas mesin 180 MW. Pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) di Nagan Raya hanya mampu menghasilkan energi 60 MW dari kapasitas mesin 2×100 MW. Begitu pula dengan pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD) yang baru menghasilkan energi sekitar 20 MW.
“Untuk memenuhi kebutuhan energi listrik di Aceh, dalam lima tahun terakhir telah dicanangkan beberapa proyek yang ditargetkan beroperasi pada 2018. Yaitu, Pembangkit Listrik Tenaga Air Peusangan berkapasitas 84 MW, PLTU Nagan Raya unit 3 dan 4 kapasitas 200 MW, PLTMG Krueng Raya kapasitas 50 MW, dan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi Jaboi Sabang kapasitas 15 MW.
“Jika ini berjalan, pada 2018 Aceh akan surplus energi, dan sisa energi akan dipasok ke Sumatera Utara sampai Lampung,” ujar Muhammad Nur.
Selain proyek tersebut, terdapat juga rencana proyek energi tahap eksplorasi. Ada PLTA Kluet 1 di Kabupaten Aceh Selatan berkapasitas 180 MW yang dibangun PT. Trinusa Energi Indonesia, PLTA Tampur 1 di Gayo Lues berkapasitas 443 MW yang dibangun oleh PT. Kamirzu, serta PLTP Seulawah di Aceh Besar berkapasitas 55 MW (tahap awal) dari total potensi 165 MW.
“Pengelolaan energi panas bumi Seulawah dilakukan Perusahaan Daerah Pembangunan Aceh (PDPA) dengan PT. Pertamina Geothermal Energy. Kerja sama pembangunan telah ditandangani Gubernur Aceh pada 31 Juli 2017. Selain itu, terdapat beberapa rencana proyek energi baik dalam bentuk PLTA maupun pembangkit listrik tenaga mikro hidro (PLTMH) di daerah barat – selatan Aceh,” ungkapnya.
Sebelumnya, masyarakat Kabupaten Gayo Lues yang tergabung dalam Forum Penjaga Hutan dan Sungai Harimau Pining melayangkan protes, terkait pembangunan proyek di Tampur. Dalam pernyataannya, Aman Jarum, ketua forum mengatakan, pengrusakan hutan Leuser untuk kegiatan apapun harus dihentikan.
“Tidak ada jaminan proyek yang dikerjakan orang asing, tidak melakukan aktivitas pengrusakan. Bagi masyarakat Pining, hutan merupakan bagian kehidupan. Lokasi pembangungan listrik ini kaya akan flora dan fauna. Begitu juga potensi ikan di sungai-sungai Pining hingga ke Lesten. Proyek ini akan dipastikan mengancam kearifan masyarakat yang telah tertata,” ujarnya.
Panut Hadisiswoyo, Direktur Yayasan Orangutan Sumatera Lestari-Orangutan Information Centre (YOSL-OIC) mengatakan, pembangunan PLTA Tampur berkapasitas besar, akan berdampak buruk terhadap masyarakat dan satwa di daerah tersebut. Masyarakat Gayo Lues, Aceh Timur, dan Aceh Tamiang, turun temurun menggantungkan hidup dari sungai yang akan dibangun bendungan tersebut.
“Tampur merupakan habitat satwa kunci di Leuser khususnya orangutan, gajah dan harimau sumatera. Jika Tampur dibangun PLTA, habitat satwa pastinya terganggu,” tandasnya.