Besarnya Potensi Karbon Biru dari Pesisir Indonesia, Tetapi Belum Ada Roadmap Blue Carbon. Kenapa?

 

Berstatus sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, tak lantas menjadikan Indonesia sebagai negara yang sukses mengelola potensi pesisirnya. Hingga kini, masih banyak potensi pesisir yang belum dimanfaatkan dengan baik oleh Indonesia.

Selain untuk potensi ekonomi dan konservasi, kawasan pesisir yang ada di wilayah kepulauan Indonesia punya potensi besar untuk ikut berperan dalam penanganan isu perubahan iklim. Hal itu, karena kawasan pesisir Indonesia menjadi rumah bagi seperempat hutan bakau (mangrove) dunia.

Deputi Bidang SDM, Iptek, dan Budaya Maritim Kementerian Koordinator Kemaritiman Safri Burhanuddiin di Jakarta, akhir pekan lalu mengatakan, potensi besar yang ada di kawasan pesisir akan terus didorong untuk dikembangkan sebagai potensi karbon biru. Hal itu, berkaitan dengan upaya Pemerintah Indonesia untuk menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) hingga 29 persen pada 2030 mendatang.

“Selain itu, pemanfaatan karbon biru, juga sebagai bentuk implementasi dari tujuan pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDG) butir 14,” ungkap dia.

(baca : Mencari Strategi yang Pas untuk Implementasi SGDs Butir 14: Ekosistem Kelautan)

Safri mengatakan, berbeda dengan ekosistem daratan yang cenderung tidak akan bertambah pada saat tertentu, ekosistem pesisir mampu menyerap dan menyimpan karbon dalam sedimen secara terus menerus dalam kurun waktu yang lama. Potensi itu akan semakin besar jika dilakukan pengelolaan dengan baik.

Safri menjelaskan, saat ini terdapat tiga ekosistem yang berpotensi sebagai karbon biru (blue carbon), yaitu mangrove, padang lamun, dan kawasan payau. Karbon Biru, kata dia, merupakan upaya untuk mengurangi emisi karbondioksida sehingga bisa memitigasi pemanasan global dan perubahan iklim dengan cara menjaga keberadaan hutan bakau, padang lamun, rumput laut dan ekosistem pesisir.

“Vegetasi pesisir diyakini dapat menyimpan karbon 100 kali lebih banyak dan lebih permanen dibandingkan dengan hutan di daratan,” jelas dia.

(baca : Lestarikan Mangrove Sama Dengan Menunda Perubahan Iklim. Kok Bisa?)

 

Hutan mangrove di Langkat ini kembali hijau oleh beragam tanaman mangrove, setelah sempat berubah jadi sawit. Foto: Ayat S Karokaros/Mongabay Indonesia

 

Safri menyebutkan, pemanfaatan ekosistem pesisir untuk karbon biru memerlukan pengelolaan ekosistem pesisir yang berkelanjutan dan koordinasi antar kementerian serta pemangku kepentingan lainnya. Oleh karena itu, masih diperlukan komunikasi yang kontruktif untuk bersama-sama menyusun Roadmap Blue Carbon Indonesia.

 

Perubahan Iklim

Lebih jauh Safri mengungkapkan, karena potensi yang besar, ekosistem pesisir bisa berperan efektif bagi masyarakat sebagai solusi adaptasi alami dan mitigasi dampak perubahan iklim. Hal itu, seperti cuaca ekstrim dan perlindungan terhadap bencana alam.

“Tanpa ekosistem pesisir, masyarakat pesisir di Indonesia akan mengalami kesulitan ekonomi yang sangat serius sebagai dampak dari tekanan yang ditimbulkan oleh kegiatan perikanan tangkap, budi daya dan pariwisata,” tutur.

Pada kesempatan yang sama, CEO WWF-Indonesia Rizal Malik mengungkapkan, sebagai negara kepulauan, Indonesia sangat bergantung kepada kawasan ekosistem pesisir yang berperan penting bagi masyarakat Indonesia sebagai sumber ekonomi dari perikanan dan sekaligus berperan dalam mitigasi dan adaptasi dampak perubahan iklim. Kata dia, kerusakan ekosistem pesisir tidak hanya dapat mengakibatkan bencana ekologis, tapi juga menimbulkan dampak kerugian ekonomi yang masif.

(baca : Ini Alasan Indonesia Harus Perjuangkan Isu Kelautan di COP21 Paris)

Rizal menyebutkan, berdasarkan data REDD+ (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation), kerusakan ekosistem mangrove relatif lebih tinggi dibanding ekosistem padang lamun yang mencapai 3,7 persen per tahun dengan tingkat kerusakan paling tinggi terjadi di pulau Jawa terutama Pantura.

“Kondisi terbaik ekosistem ini berada di utara Kalimantan Timur dan kawasan Indonesia Timur seperti Papua dan Maluku,” tutur dia.

 

Simon Para Puka dan Afra Lusia Riberu pasangan suami isteri penanam bakau secara swadaya di sepanjang pantai Desa Nuri, Kecamatan Ilbeura, Flores Timur. Foto: Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

 

Melihat fakta tersebut, menurut Rizal, upaya perlindungan dan restorasi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil perlu dilakukan untuk menjamin fungsi optimal ekosistem pesisir. Kata dia, ekosistem pesisir yang sehat akan menjamin keberlangsungan perikanan Indonesia terutama bagi 90 persen pelaku usaha perikanan skala kecil yang bergantung pada sumberdaya ikan di pesisir.

“Kebijakan yang mendukung pelestarian dan pemanfaatan berkelanjutan dari kawasan pesisir sangat dibutuhkan untuk menyejahterakan masyarakat dikawasan tersebut,” tambah dia.

Seperti diketahui, pada Konferensi Perubahan Iklim PBB (COP UNFCCC) ke-22 di Marrakesh, Maroko, karbon biru digaungkan sebagai salah satu kontribusi bagi target pengurangan emisi karbon di dunia. Secara global, sebanyak 151 negara memiliki karbon biru, tetapi hanya 50 yang mengagendakannya untuk pengurangan emisi dalam komitmen NDC-nya.

(baca : Indonesia Kembali Ungkapkan Blue Carbon Untuk Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim)

Dari penelitian yang dilakukan Kementerian Kelautan dan Perikanan sejak lima tahun terakhir, lanjut Safri, padang lamun memiliki potensi menyerap dan menyimpan karbon sekitar 4,88 ton/ha/tahun. Total ekosistem padang lamun di Indonesia diperkirakan dapat menyimpan 16,11 juta ton karbon /tahun.

Sementara, untuk ekosistem mangrove, rata-rata penyerapan dan penyimpanan karbon bisa mencapai 38,80 ton/ha/tahun. Bila dihitung secara total, maka potensi penyerapan karbon ekosistem mangrove adalah 122,22 juta ton/tahun.

Akan tetapi, potensi besar tersebut, diiringi fakta bahwa Indonesia telah kehilangan lebih dari seperempat luas hutan bakau dalam tiga dekade terakhir dari 4,20 juta hektar pada tahun 1982 menjadi 3,48 juta hektar pada tahun 2017.

 

Kepiting bakau adalah anggota suku portunidae yang hidup di ekosistem hutan bakau. Kepiting yang mempunyai nilai ekonomis menjadi salah satu unggulan dari Dukuh Pandansari, Desa Kaliwlingi, Kecamatan Brebes, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah. foto : Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Karbon Biru versus Perikanan Budidaya

Dosen Ilmu Atmosfer Institut Pertanian Bogor (IPB) Daniel Murdiyarso, mengatakan, pemanfaatan hutan bakau, adalah untuk mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Keberadaannya bisa menyerap emisi yang bertebaran di udara dengan sangat banyak.

Menurut Daniel, kemampuan mangrove dalam menyerap emisi di bumi, mencapai 20 kali dari kemampuan hutan tropis. Karena itu, mangrove keberadaannya bisa menjadi gudang terbesar untuk penyimpanan emisi dunia.

“Potensi ekonomi dari mangrove sangatlah besar. Ada potensi blue carbon yang bisa menghasilkan nilai ekonomi hingga USD10 miliar. Itu jumlah yang sangat besar,” jelas peneliti Center for International Forestry Research (CIFOR) itu.

Besarnya potensi karbon biru atau blue carbon tersebut, kata Daniel, tidak lepas dari luasnya kawasan mangrove di Indonesia yang saat ini mencapai 2,9 juta hektare. Luasan tersebut sama dengan luas negara Belgia di Eropa atau seperempat dari total luas mangrove yang ada di seluruh dunia.

Daniel memaparkan, dalam satu hektar hutan mangrove di Indonesia, tersimpan potensi karbon yang jumlahnya 5 kali lebih banyak dari karbon hutan dataran tinggi. Dan faktanya, saat ini hutan mangrove di Indonesia menyimpan cadangan karbon 1/3 dari total yang ada di dunia.

“Saat ini karbon yang tersimpan di hutan mangrove Indonesia mencapai 3,14 miliar ton. Dan, untuk bisa mengeluarkan karbon sebanyak itu, Indonesia perlu waktu hingga 20 tahun lamanya,” ucap anggota penyusun laporan panel antar pemerintah untuk perubahan iklim PBB (IPCC) .

(baca : Candaan Serius Menteri Kelautan Tentang Blue Carbon)

Karena begitu besarnya potensi penyimpanan karbon, Daniel mengingatkan kepada semua orang untuk selalu menjaga hutan bakau di Tanah Air. Pasalnya, jika sampai terjadi deforestasi mangrove, maka akan ada karbon yang dilepaskan ke udara.

“Itu artinya, ada emisi yang kembali udara. Dan, emisi tahunan dari kerusakan hutan mangrove Indonesia mencapai 190 juta co-eq. Itu jumlah yang sama dengan emisi jika setiap mobil di Indonesia mengitari bumi hingga dua kali,” tandas dia.

 

Nelayan tradisional di Aceh Tamiang, Aceh, menunjukkan hasil tangkapannya di kawasan mangrove. Penebangan pohon mangrove untuk dijadikan arang merupakan ancaman nyata di wilayah ini. Foto: Rahmadi Rahmad/Mongabay Indonesia

 

Menurut Daniel, kerusakan mangrove di Indonesia ikut menyumbangkan kerusakan mangrove di dunia. Karena faktanya, emisi global tahunan dari rusaknya ekosistem pesisir berasal dari rusaknya hutan mangrove Indonesia.

Dan, Daniel menyebutkan, salah satu penyebab terjadinya kerusakan mangrove di Indonesia, adalah karena semakin masifnya pengembangan sektor perikanan budidaya di seluruh pulau. Tak tanggung-tanggung, dia menyebut, dalam tiga dekade terakhir, 40 persen hutan mangrove Indonesia rusak, karena budidaya perikanan.

“Setiap tahun, 52 ribu hutan mangrove Indonesia hilang dan itu setara dengan areas seluas kota New York di AS dalam 18 bulan,” jelas dia.

(baca : Quo Vadis “Blue Carbon” Di Indonesia?)

Sementara itu, Conservation International Indonesia menyebut, saat ini Indonesia memiliki hutan mangrove seluas total 3,1 juta hektare atau 22,6 persen dari mangrove di dunia. Dengan luasan seperti itu, stok karbon yang ada di hutan mangrove Indonesia total mencapai 3,14 myu-gC atau setara 3,14 miliar ton.

Dengan potensi yang besar tersebut, setiap tahunnya Indonesia masih mengalami deforestasi mangrove dengan luasan rerata mencapai 52 ribu ha. Kondisi tersebut, bisa mengancam keberadaan hutan mangrove secara keseluruhan.

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,