Kala kebakaran hutan dan lahan masih terjadi, seperti di Kalimantan dan Papua, kemarau juga picu kekeringan dan krisis air di Pulau Jawa dan Nusa Tenggara. Bahkan, kekeringan juga menerpa 56.334 hektar lahan pertanian, sebanyak 18.516 hektar gagal panen.
Pekan lalu, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) merilis data sementara, kemarau 2017 berdampak kekeringan dan krisis air di 105 kabupaten dan kota, 715 kecamatan dan 2.726 kelurahan maupun desa tersebar di Jawa dan Nusa Tenggara.
Dari data Pusat Pengendali Operasi (Pusdalops) BNPB itu, diperkirakan sekitar 3,9 juta jiwa warga terdampak kekeringan dan memerlukan bantuan air bersih.
“Banten, dan Bali masih pendataan. Sebagian besar daerah-daerah kekeringan adalah yang tahun sebelumnya juga kekeringan,” kata Sutopo Purwo Nugroho, Kepala Pusat data Informasi dan Humas BNPB di Jakarta, dalam keterangan tertulis.
Dia mengatakan, dari sebaran wilayah, kekeringan di Jawa Tengah melanda 1.254 desa tersebar di 275 kecamatan dan 30 kabupaten/kota.
Dampak kekeringan, katanya, mengena 1,41 juta jiwa atau 404.212 keluarga. Pemerintah Jateng, mengeluarkan status siaga darurat kekeringan hingga Oktober 2017.
Di Jawa Barat, 496 desa pada 176 kecamatan dan 27 kabupaten/kota alami kekeringan. Dampaknya, kepada 936.328 jiwa.
Di Jabar, kata Sutopo, delapan kepala daerah kabupaten dan kota sudah mengeluarkan status siaga darurat kekeringan. Yakni, Kabupaten Ciamis, Cianjur, Indramayu, Karawang, Kuningan, Sukabumi, Kota Banjar, dan Kota Tasikmalaya. Jawa Timur, katanya, kekeringan melanda 588 desa di 171 kecamatan dan 23 kabupaten/kota.
Untuk Nusa Tenggara Barat, kekeringan pada 318 desa di 71 kecamatan meliputi sembilan kabupaten yakni, Kabupaten Lombok Barat, Lombok Utara, Lombok Tengah, Lombok Timur, Sumbawa, Dompu, Kota Bima, dan Bima dengan 640.048 jiwa atau 127.940 keluarga terdampak.
Untuk Kepulauan Nusa Tenggara Timur (NTT), ucap Sutopo, juga darurat kekeringan yang menimpa sembilan kabupaten yakni, Flores Timur, Rote Ndao, Timor Tengah Utara (TTU), Belu, Malaka, Sabu Raijua, Sumba Barat Daya, Sumba Timur, dan Sumba Tengah.
Di Yogyakarta, kekeringan pada 10 kecamatan di Kulon Progo, ada 32 desa terdampak, dengan 12.721 Jiwa atau 7.621 keluarga. “Penyaluran air bersih terus dilakukan.”
Sutupo bilang, kerusakan lingkungan dan daerah aliran sungai tinggi bikin sumber air mengering. “Pasokan air di sungai menyusut drastis selama kemarau. Kebutuhan air tinggi hingga kekeringan menahun terjadi di wilayah itu,” katanya.
Untuk jangka pendek, katanya, ada pendistribusian air bersih melalui tangki air. BPBD bersama instansi terkait, relawan dan dunia usaha menyalurkan jutaan liter air bersih kepada masyarakat.
Air bersih, katanya, untuk memenuhi kebutuhan minum dan memasak. Buat mandi dan cuci warga memanfaatkan sumber-sumber mata air dari sungai atau embung.
BNPB, juga memberikan bantuan dana siap pakai kepada BPBD yang menetapkan status darurat untuk tangani kekeringan.
Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) memperkirakan, kekeringan berlangsung hingga akhir Oktober 2017. Data BMKG menyebutkan, sebagian besar Jawa alami puncak kemarau. Dengan kata lain, Pulau Jawa dan Nusa Tenggara, alami kemarau panjang. (lihat gambar).
Prabowo M Rahadi, Deputi Klimatologi BMKG, mengatakan, prediksi BMKG, September masuk puncak kemarau terindikasi dari banyak daerah lebih 60 hari berturutan tak hujan. Meskipun begitu, katanya, bukan berarti kemarau bakal lebih panjang. “Diprediksi akhir Oktober-November sebagian wilayah Indonesia sudah masuk musim hujan 2017/2018,” katanya.
Berjaga karhutla
Sementara itu, titik api masih juga terdapat di beberapa daerah hingga tim Brigade Dalkarhutla-Manggala Agni, KLHK tetap rutin patroli ke sejumlah desa. Mereka mengimbau masyarakat tak buka lahan dengan membakar.
Patroli juga mengecek lokasi hotspot untuk pencegahan dini karhutla. Periode Mei hingga pekan pertama September 2017, patroli terpadu menjangkau 1.203 desa rawan.
Raffles B. Panjaitan, Direktur Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan, KLHK, mengatakan, setiap lokasi terpantau hotspot dari satelit NOAA dan Terra Aqua dengan data didukung Posko Dalkarhutla, harus cek lapangan.
Dia sebutkan, cek lapangan hotspot seperti Manggala Agni Daops Banjar, Kalimantan Selatan, prioritas di Kecamatan Landasan Ulin dan Liang Anggang serta Kota Banjarbaru terutama di Bandara Syamsudin Noor.
“Hasil cek lapangan menunjukkan hampir semua lokasi terdeteksi hotspot kebakaran di lapangan. Ini segera ditindaklanjuti tim dengan pemadaman.”
Di Merauke, Papua, Rio Mathadi, Kepala Badan Meteorologi dan Geofisika Merauke mengatakan, hotspot terpantau sejak 27-28 Agustus ada tujuh titik di Papua.
Untuk Merauke, berdasarkan satelit citra Modis Terra, hotspot ada di beberapa titik, seperti Distrik Merauke, Malind, Tubang, Tabonji, Waan, dan Distrik Noukenjerai.
“Tujuh hotspot di semua distrik dan tujuh titik api. Kemungkinan sengaja membakar melihat cuaca panas,” katanya.
Dia bilang, api muncul kemungkinan pembukaan lahan besar-besaran, atau bisa juga orang membuang puntung rokok menyebabkan kebakaran terpicu cuaca panas.
“Di Munting terjadi kebakaran lahan.”
Dia mengimbau, masyarakat Merauke menjaga lahan hingga tak memicu kebakaran terlebih hujan masih kurang.“Matikan rokok bila tak diperlukan,” katanya.
Selain itu, Taman Nasional Wasur juga terbakar. Dia menduga terbakar karena terkena hawa panas. “Titik kebakaran tak lebih 200-250 meter.”
Kemarau juga bikin Merauke, sumber air berkurang. Kali Wanggo dan Kali Barki, biasa air banyak, kini surut jauh. “Merauke masih mendapatkan air tanah sebagai cadangan air minum. Kali tak ada lagi karena kemarau.”
Kebakaran Merauke
Thiansony Betaubun, Kepala Kantor Badan Penanggulangan Bencana Daerah Merauke, mengatakan, titik api di Merauke ada di beberapa distrik. Dia mencatat, 115 titik api tersebar di Merauke.
Dia menyebut, Distrik Noukenjaerai di Kampung Tomer, Distrik Merauke di Kampung Wasur ada dua titik, Distrik Malind–Kampung Rawa Sari, Distrik Kurik di Kampung Rawa Sari dan Padang Raharja. Lalu, Disrik Ngguti di Kampung Nakias, Distrik Okaba pada Kampung Wambi dua titik, Tubang yaitu Kampung Dodalim dan Wobuyu.
Kemudian Distrik Ilwayab di Kampung Bibikem dan Kampung Padua, Distrik Kimaam ( Kampung Yobi/Teriram, Teri, Sabudom, dan Kampung Iromoro). Distrik Tabonji seperti Kampung Suam I dan Kampung Suam II.
Dia bilang, pada 19 kampung itu api masih hidup alias menyala. Semua lokasi hostpot ini, katanya, terekam memakai pesawat tanpa awak atau drone setiap hari. “Setiap pukul 15.00 buka, langsung terpantau.”
Dari lokasi terbakar itu, ada konsesi perusahaan. Tanpa menyebutkan detil perusahaan mana saja, dia bilang perusahaan langsung lakukan pemadaman dengan bantuan Badan Penanggulangan Bencana Merauke dan parapihak.
Dia mengimbau, warga jangan meninggalkan api sekecil apapun. “Jaga diri dan waspada selalu. Bila ke hutan menjaring jangan lupa padamkan api. Semua warga Merauke menjaga diri dan waspada,” katanya, sambil bilang kebakaran di lahan warga tak banyak.
Menurut dia, ada tradisi warga bila mencari binatang membawa korek api, agar bila menemukan buruan bisa langsung dibakar.
Johanes Kilok, rohaniawan Katolik di Keuskupan Agung Merauke menilai masyarakat lokal paham bercocok tanam atau berladang, termasuk tahu agar api tak menjalar. Pola ini berguna sejak dulu sampai kini.
Dengan masuk perkebunan besar, karhutla terjadi. Macam di Sumatera dan Kalimantan, asap sampai ‘jalan’ ke negeri tetangga. “Tinggal pemerintah selaku pemberi izin perkebunan sawit di Merauke, jujur. Apakah kebakaran akibat perusahaan atau masyarakat lokal Pemda, harus dapatkan data akurat.”
Dia usul, Pemda Merauke, melalui dinas terkait sosialisasi misal pemasangan poster dan berani terjun langsung ke masyarakat lokal.
Bagi perusahaan besar perkebunan sawit—yang alami kebakaran–, katanya, pemda harus memberikan sanksi paling keras dan mencabut izin operasional.