Sudahkah Perempuan Nelayan Diakui dalam Sektor Kelautan dan Perikanan?

 

Perempuan nelayan di Indonesia, sejak lama sudah menjadi sosok sentral bagi sektor perikanan dan kelautan. Mereka, adalah pahlawan protein bangsa yang berjasa menghadirkan protein ikan ke rumah-rumah warga di seluruh Indonesia. Untuk itu, Negara harus memberikan perlindungan penuh dan penguatan perempuan nelayan di seluruh Nusantara.

Sekretaris Jenderal Persaudaraan Perempuan Nelayan Indonesia (PPNI) Masnuah di Jakarta akhir pekan lalu mengatakan, hingga saat ini, pengakuan perempuan nelayan sebagai subyek hukum dalam kebijakan yang berkaitan dengan aktivitas kenelayanan di Indonesia masih belum juga ada.

“Perempuan nelayan menemukan permasalahan substansi yang hingga hari ini berdampak besar kepada kami, yaitu terkait pengakuan perempuan nelayan sebagai subjek hukum,” ujar dia.

(baca : Hari Perempuan Sedunia: Potret Perempuan Tani dan Nelayan Masih Kelam)

Belum adanya pengakuan, menurut Masnuah, menjadi permasalahan yang harus dipecahkan secara bersama. Mengingat, perempuan nelayan adalah pahlawan protein karena ikut menentukan bagaimana pasokan ikan bisa sampai ke masyarakat.

“Kami memang pejuang pangan bangsa, namun hingga hari ini kami belum mendapatkan pengakuan bahwa kami ini perempuan nelayan,” ungkap dia.

Akibat belum adanya pengakuan secara langsung, Masnuah menyebut, banyak sekali perempuan nelayan yang pergi melaut namun tidak bisa mendapatkan kartu nelayan. Kemudian, perempuan nelayan yang terlibat pada pra dan pasca produksi, juga mengalami kesulitan mendapatkan akses permodalan ke perbankan nasional.

 

Nurlina kini memiliki kartu nelayan sebagai bukti dia nelayan yang sah dan dijamin pemerintah. Ia berusaha agar para perempuan nelayan lain bisa mendapatkan kartu itu. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia

 

(baca : Nurlina, Perjuangkan Kesamaan Hak bagi Perempuan Nelayan)

Masnuah mengungkapkan, perempuan nelayan adalah pejuang tangguh yang berkontribusi luar biasa kepada kebutuhan pemenuhan pangan bangsa. Tak hanya itu, beban yang ditanggung pun luar biasa, karena harus bekerja selama 17 jam per hari untuk memenuhi kebutuhan keluarga nelayan dan kebutuhan protein bangsa.

“Ironinya, peran strategis perempuan nelayan terancam dengan adanya perampasan ruang hidup mereka seperti ekspansi perkebunan sawit di wilayah pesisir Langkat Sumatera Utara; reklamasi di Teluk Jakarta, Bali, Semarang serta Manado, pertambangan pasir besi di Jawa Tengah, ekspansi pariwisata di NTB dan NTT, dan ekspansi konsesi tambang di wilayah pesisir Indonesia Timur,” tambah dia.

(baca : Akibat Reklamasi Teluk Jakarta, Nelayan dan Perempuan Nelayan Terkena Getahnya)

Atas ketidakadilan yang dialami perempuan nelayan, PPNI mendesak Pemerintah Indonesia untuk mengakui keberadaan Perempuan Nelayan sehingga mereka dapat mengakses berbagai hak yang terdapat di dalam Undang-Undang No.7/2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan dan Petambak Garam.

“Kebijakan ini menjadi penting guna menyejahterakan dan melindungi perempuan nelayan,” tegas Masnuah.

 

Peran Perempuan Nelayan

Sementara, Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) Susan Herawati mengungkapkan, perempuan nelayan harus saling belajar dan bisa memperkuat gerakan perempuan nelayan di manapun berada. Untuk itu, kelompok seperti PPNI harus bisa berperan kuat yang bisa mendesak hadirnya pengakuan politik dari negara bagi keberadaan perempuan nelayan.

Susan menjelaskan, dalam studi yang dilakukan oleh KIARA, ditemukan fakta bahwa perempuan nelayan sangat berperan di dalam rantai nilai ekonomi perikanan. Peran itu bisa dilihat, mulai dari pra-produksi sampai dengan pemasaran.

Pada tahap pra-produksi, perempuan nelayan berperan dalam menyiapkan bekal melaut. Kemudian, pada tahap produksi, perempuan nelayan ikut melaut seperti halnya nelayan laki-laki. Sedangkan pada tahap pengolahan, perempuan nelayan berperan besar dalam mengolah hasil tangkapan ikan dan/atau sumber daya pesisir lainnya.

“Keempat, pemasaran. Peran perempuan nelayan amat sangat besar: mulai memilah, membersihkan, dan menjual,” tambah dia.

(baca : Cerita Kebangkitan Istri-istri Nelayan dari Pulau Barrang Caddi)

 

Perempuan nelayan Batang, Jateng, mengolah ikan menjadi ikan asin. Foto: Tommy Apriando/Mongabay Indonesia

 

Susan mengatakan, dalam panduan Voluntary Guidelines for Securing Sustainable Small-Scale Fisheries in the Context of Food Security and Poverty Eradication yang dikeluarkan oleh FAO, disebutkan dengan jelas bahwa Negara wajib memperlakukan secara istimewa perempuan nelayan untuk mendapatkan hak-hak dasarnya.

Adapun, hak-hak dasar yang dimaksud adalah:

1) Perumahan yang layak; 2) Sanitasi dasar yang aman dan higienis; 3) Air minum yang aman untuk keperluan individu dan rumah tangga; 4) Sumber-sumber energi; 5) Tabungan, kredit dan skema investasi; 6) Mengakui keberadaan dan peran perempuan dalam rantai nilai perikanan skala kecil, khususnya pasca panen; 7) Menciptakan kondisi bebas dari diskriminasi, kejahatan, kekerasan, pelecehan seksual, korupsi, dan penyalahgunaan kekuasaan; 8) Menghapuskan kerja paksa; 9) Memfasilitasi partisipasi perempuan dalam bekerja; 10) Kesetaraan gender merujuk CEDAW (Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan); dan 11) Pengembangan teknologi untuk perempuan yang bekerja di sektor perikanan skala kecil.

“Berdasarkan studi tersebut, KIARA mendesak pemerintah untuk segera memperkuat kelompok perempuan nelayan dan memberikan pengakuan kepada perempuan nelayan karena strategisnya peran dan kontribusi mereka bagi bangsa ini,” tegas Susan Herawati.

(baca : Perempuan Nelayan, Mampukah Memperjuangkan Kesetaraan?)

Susan mengatakan, perempuan nelayan saat ini tersebar di 10.666 desa yang tersebar di 300 kabupaten/kota di seluruh provinsi. Keberadaan mereka, dalam keseharian ikut menyumbang aktivitas perikanan dan kelautan di Indonesia dari hulu ke hilir.

Susan menyebut, dengan luas wilayah Indonesia mencapai 5,8 juta km2 dengan luas perairan Indonesia mencapai 2/3 luas keseluruhan wilayah Indonesia, peran perempuan nelayan sangat terasa di kawasan pesisir.

 

Seorang nelayan perempuan membentangkan jaring sebagai bentuk protes di depan Kantor Pengadilan Tata Usaha Negeri (PTUN) Bandung, Kamis (19/04/2017). Mereka protes atas hasil laut yang terus menurun semenjak berdirinya PLTU Cirebon Foto : Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Berdasarkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. Kep.45/MEN/2011 tentang Estimasi Potensi Sumberdaya Ikan di Wilayah Perikanan Negara RI dan Laporan Status Tingkat Eksploitasi Sumberdaya Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) RI, perairan Indonesia diperkirakan memiliki potensi sumber daya perikanan tangkap sebanyak 6,5 juta ton per tahun.

“Dengan potensi itu, Susan mengatakan, sebanyak 4,4 juta ton dapat ditangkap di perairan Indonesia dan 1,86 juta ton dapat diperoleh dari perairan Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia (ZEEI),” tambah dia.

Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti menanggapi permasalahan yang dialami perempuan nelayan, menyatakan akan menindaklajuti keluhan-keluhan tersebut saat melakukan kunjungan ke daerah. Tak hanya itu, dia berjanji akan menyurati berbagai instansi kementerian dan pemerintah daerah guna mendukung penyelesaian persoalan yang ada.

 

Amanat Undang-Undang

Direktur Eksekutif Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan Abdul Halim sebelumnya sempat mengatakan, keberadaan UU No.7/2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam disahkan, disinyalir masih belum banyak diketahui nelayan.

“Terutama, tentang perlindungan atas resiko yang dihadapi saat melakukan penangkapan ikan, pembudidayaan ikan, dan usaha pergaraman seperti tertuang dalam Pasal 30 UU tersebut,” ungkap dia.

Menurut Halim, untuk bisa menjalankan mandat tersebut, Menteri Kelautan dan Perikanan telah mengeluarkan peraturan pelaksananya, yakni Peraturan Menteri No.18/2016 tentang Jaminan Perlindungan atas Resiko kepada Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam.

“Namun, sayangnya, aturan ini belum terlaksana dengan baik di desa-desa pesisir,” tutur dia.

“KKP harus memperbaiki kinerjanya dalam melaksanakan perlindungan asuransi jiwa dan asuransi perikanan bagi nelayan, pembudidaya ikan, dan petambak garam. Mereka harus menggandeng pemerintah lokal di provinsi dan kabupaten/kota,” ungkap dia.

(baca : Dari Program 1 Juta, Diduga Hanya 2 Perempuan Dapat Asuransi Nelayan)

Untuk diketahui, Pasal 33 ayat (2) UU No.7/2016 tersebut kepada pemerintah pusat dan daerah untuk proaktif memfasilitasi nelayan, perempuan nelayan, pembudidaya ikan, dan petambak garam untuk memperoleh:

(a) kemudahan pendaftaran untuk menjadi peserta; (b) kemudahan akses terhadap perusahaan asuransi; (c) sosialisasi program asuransi terhadap Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam, dan perusahaan asuransi; dan/atau (d) bantuan pembayaran premi asuransi jiwa, Asuransi Perikanan, atau Asuransi Pergaraman bagi Nelayan Kecil, Nelayan Tradisional, Pembudi Daya Ikan Kecil, dan Petambak Garam Kecil, sesuai dengan kemampuan keuangan negara”.

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,