Marconi yang Kini Tidak Hidup Sendiri Lagi

 

 

Marconi, orangutan sumatera yang dilepasliarkan di Cagar Alam Jantho, Kabupaten Aceh Besar, Aceh, sekitar lima tahun lalu, kini telah memiliki keturunan. Marconi terpantau bersama bayi jantannya, yang diperkirakan usia delapan bulan, pada 11 September 2017.

Perjalanan hidup Marconi memang panjang. Ia diselamatkan di Alue Bili, Kabupaten Nagan Raya, dari pemiliknya seorang perwira polisi pada Desember 2009. Diduga, ia diambil dari hutan Leuser, kawasan hutan alami tempat orangutan hidup. Saat disita, umurnya diperkirakan sekitar empat hingga enam tahun.

“Marconi kecil selanjutnya dibawa ke fasilitas Karantina Batumbelin, Sibolangit, Deli Serdang, Sumatera Utara. Butuh waktu mendidiknya agar bisa dilepasliarkan kembali ke hutan,” terang Suryadi, Komunikasi YEL-SOCP (Yayasan Ekosistem Lestari – Sumatran Orangutan Conservation Programme).

Suryadi melanjutkan, karena sejak kecil Marconi telah terpisah dari induknya yang kemungkinan dibunuh pemburu, ia tidak sempat belajar hidup mandiri secara alami dari induknya. “Inilah alasan kuat mengapa ia dilatih sekitar dua tahun di pusat karantina, sebelum dipindahkan ke Stasiun Reintroduksi Orangutan Jantho,” terangnya.

Setelah dianggap cukup siap untuk hidup mandiri di alam, pada Agustus 2011, Marconi dilepaskan ke Cagar Alam Jantho, yang tetap dalam pengawasan tim YEL-SOCP. “Tim melakukan pemantauan, mencatat perilaku dan kondisinya untuk memastikan bahwa dia beradaptasi dengan baik. Ini memang penting dilakukan bagi orangutan yang baru dirilis,” tuturnya.

 

Perjalanan hidup Marconi memang penuh liku. Ia sempat dipelihara manusia sebelum kembali hidup liar di Cagar Alam Jantho. Foto: SOCP

 

Citrakasih Nente, Supervisor Karantina dan Reintroduksi YEL-SOCP mengatakan, saat ditemukan tim pemantau, umur bayi jantan yang kemudian diberi nama Masen ini, diperkirakan delapan bulan. “Marconi dan anaknya dalam keadaan sehat. Marconi terlihat begitu protektif menjaga Masen,” sebutnya.

Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh, Sapto Aji Prabowo kepada wartawan di Banda Aceh mengatakan, informasi mengenai orangutan yang berkembang biak di Cagar Alam Jantho merupakan hal menggembirakan.

“Hampir tujuh tahun program reintroduksi orangutan berjalan di Cagar Alam Jantho. Kelahiran alami ini merupakan yang pertama dari orangutan sumatera yang direintroduksi ke alam.”

Sapto menambahkan, kelahiran ini menjadi indikator tidak terbantahkan bila Cagar Alam Jantho memang sesuai untuk populasi orangutan reintroduksi. “Upaya luar biasa memang diperlukan untuk merehabilitasi dan mengenalkan kembali orangutan ke alam liar. Pastinya, pekerjaan ini waktu, perhatian, intervensi, dan pembiayaan yang tinggi,” tambahnya.

 

Lahirnya Masen, yang usianya diperkirakan delapan bulan, merupakan berita gembira untuk kehidupan orangutan di alam liar. Foto: Sumatran Orangutan Conservation Programme (SOCP)

 

Penyerahan orangutan

Sementara itu, pada 18 September 2017, Brimob Kompi Subden 2 Detasemen B Pelopor Polda Aceh yang bermarkas di Aramiah, Kabupaten Aceh Timur, menyerahkan satu individu orangutan yang ditinggalkan masyarakat.

Sapto Aji Prabowo kembali menjelaskan, orangutan betina berumur sekitar empat tahun tersebut diserahkan oleh AKP Anton yang telah tiga bulan memeliharanya. “Anak orangutan tersebut ditemukan di Peunaron, Kabupaten Aceh Timur, ketika Anton bersama anggotanya menggelar patroli. Saat itu, ada pengguna sepeda motor meninggalkan karung dan Anton memeriksanya,” terang Sapto, Senin (18/9/17), kepada awak media.

Dari penuturan Anton, ketika karung tersebut diperiksa ternyata isinya adalah anak orangutan, yang selanjutnya dibawa ke markas Brimob. Karena tidak tahu harus diserahkan kemana, Anton memelihara sementara orangutan ini di kandang. “Anton berikutnya melaporkan keberadaan satwa dilindungi ini ke KPH III Aceh. Lalu, KPH III melaporkan ke BKSDA Aceh dan Orangutan Information Center (OIC).”

Orangutan tersebut kini dibawa ke pusat rehabilitasi di Sibolangit, Sumatera Utara. “Semoga, apa yang dilakukan Brimob Polda Aceh bisa dicontoh masyarakat untuk tidak memelihara satwa dilindungi, karena bertentangan dengan hukum,” tegasnya.

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,