Perbedaan Cara Pandang Kriminalisasi Nelayan Pulau Pari, Seperti Apa?

 

Tiga orang nelayan yang didakwa Jaksa Penuntut Umum (JPU) di Pengadilan Jakarta Utara karena dituduh melakukan tindak pidana pungutan liar (pungli) dan pemerasan terhadap wisatawan di pantai Perawan, mendapat penilaian berbeda dari tim kuasa hukum Koalisi Selamatkan Pulau Pari.

Dalam pernyataan resmi yang dipublikasikan pada awal pekan ini, tim kuasa hukum menyatakan tidak terbukti bersalah ketiga nelayan tersebut. Meskipun, ketiganya didakwa dengan pasal 368 ayat 1 KUHP ancaman pidana 9 (sembilan) tahun penjara.

Selain menyatakan ketiga nelayan tersebut tidak terbukti bersalah, tim kuasa hukum juga menyebut bahwa tim JPU harus berhati-hati dalam menyusun tuntutan. Mengingat, berdasarkan fakta-fakta yang ada di persidangan, sudah seharusnya Jaksa menuntut lepas dari tuntutan.

“Oleh itu, kita meminta komisi yudisial (untuk) mengawasi proses putusan,” demikian bunyi poin ketiga pernyataan resmi tim koalisi.

(baca : Siapa Pemilik Pulau Pari Sebenarnya?)

Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) yang ikut bergabung dalam tim koalisi, mengatakan bahwa selama proses persidangan yang telah berlangsung, baik JPU maupun Kuasa hukum nelayan telah mengajukan alat-alat bukti.

JPU, kata KNTI, menghadirkan 7 (tujuh) orang saksi yang memberatkan terdakwa, sementara tim Kuasa hukum nelayan menghadirkan 8 (delapan) orang saksi dan 4 (empat) orang ahli yang meringankan.

Ketua Bidang Hukum DPP KNTI Marthin Hadiwinata mengungkapkan, setelah proses persidangan berjalan, tim menilai JPU tidak mampu membuktikan dakwaan telah terjadi tindak pidana pungutan liar ataupun pemerasan. Adapun, alasan Tim Kuasa Hukum menyatakan pendapat tersebut, adalah :

Dari 7 orang saksi yang dihadirkan JPU, tiga orang saksi dari aparat kepolisian Kepulauan Seribu menyatakan tidak melihat, mendengar dan merasakan secara langsung tindakan pemerasan yang dilakukan tiga nelayan tersebut.

Sementara, dua orang saksi pengunjung yang disebut mendapatkan pemerasan, juga menyatakan tidak mendengar, melihat, merasakan adanya ancaman berupa bentakan, suara keras, mata melotot atau ancaman bentuk fisik lainnya. Sementara kesaksikan dua orang PNS kepulauan seribu menyatakan pantai perawan bukan objek retribusi pemerintah daerah.

Dari 8 orang saksi yang dihadirkan kuasa hukum, 3 orang saksi fakta menjelaskan tidak melakukan pemerasan dengan ancaman dan kekerasan, 5 orang saksi menjelaskan pengelolaan pantai perawan merupakan hasil musyawarah bersama warga.

(baca : Pulau Pari, Riwayatmu Kini)

 

Suasana di perkampungan warga di Pulau pari, nyaman dinikmati dengan bersepeda. Foto: Aji Wihardandi/Mongabay Indonesia

 

Kemudian, keuntungan yang diperoleh juga disalurkan untuk bantuan kepada anak yatim, mushola dan kepentingan sosial lainya. Terakhir, Pemerintah lokal tidak pernah mensosialisasikan adanya pelarangan donasi dan telah mengetahui warga melakukan pengambilan donasi.

Empat orang ahli yang dihadirkan, yakni Prastowo Yustinus menjelaskan bahwa pantai perawan dibangun dan dikelola oleh warga. Karenanya, objek tersebut tidak dapat dijadikan objek pajak dan retribusi sesuai dengan UU No 28 Tahun 2009.

Kemudian, Dedi Supriadi Adhuri dari LIPI menjelaskan, nelayan pulau pari memiliki hak pengelolaan atas pantai perawan dan pengambilan donasi dalam rangka keberlanjutan wisata.

Ahli ketiga, Bono Budi Priambodo menjelaskan, ketiadaan izin yang dimiliki oleh warga dalam mengelola pantai perawan merupakan permasalahan hukum administrasi, sehingga sanksi yang diberikan adalah teguran hingga penghentian tempat kegiatan, dan bukan sanksi pidana.

(baca : Mongabay Travel: Pulau Pari, Gairah Wisata Baru di Kepulauan Seribu)

Terakhir, Elfrida Gultom menjelaskan bahwa donasi yang dilakukan nelayan adalah wilayah hukum perdata dalam bentuk perjanjian, pengutipan donasi bukan tindakan pidana.

Sementara itu, melihat dakwaan JPU, Marthin mengatakan, tiga nelayan dituduh melakukan pungutan liar dan melanggar pasal 368 ayat 1 KUHP adalah tidak terbukti. Padahal, peraturan di Indonesia tidak mengatur tentang hal tersebut.

Istilah pungli, kata dia, hanya dipopulerkan oleh Kaskopkamtib dalam melaksanakan operasi ketertiban dan keamanan pada periode 1977-1981. Tugas dari tim saat itu, adalah membersihkan pungutan liar, penertiban uang siluman, penertiban aparat pemda dan departemen.

 

Pemandangan dari tepian pantai di Pulau Pari. Foto: Aji Wihardandi/Mongabay Indonesia

 

Lapor Susi Pudjiastuti

Sebelum melaksanakan persidangan, KNTI pada akhir pekan lalu memilih bertemu dengan Menteri Kelautan Susi Pudjiastuti di Jakarta. Dalam pertemuan tersebut, KNTI melaporkan kondisi terkini kasus Pulau Pari di Kabupaten Kepulauan Seribu, Jakarta.

Marthin Hadiwinata yang mewakili KNTI dan Koalisi, mengatakan, dia menceritakan tentang akar permasalahan yang dialami tiga nelayan Pulau Pari, yaitu ketika wilayah pulau Pari secara tiba-tiba dikuasai oleh 80 sertifikat tanah yang diketahui milik PT Bumi Pari Asri.

Kepemilikan secara tiba-tiba 80 sertifikat tersebut, kata Marthin, memicu kemarahan warga di pulau. Mengingat, sebagai pulau kecil, kehidupan masyarakat pesisir di dalamnya tidak hanya mencakup tentang laut dan perikanan, tapi juga bagaimana hak penguasaan tanah untuk nelayan.

“Sampai sekarang, nelayan belum mendapatkan perlindungan atas tanah dan sumber daya lingkungan di sekitarnya. Hak tenurial itu tidak boleh dihilangkan,” jelas dia.

Rasa khawatir tersebut diungkapkan langsung oleh Eddy Mulyono, warga Pulau Pari yang ikut hadir bertemu dengan Susi. Menurut dia, jika pulau sudah dikuasai oleh perusahaan, maka dikhawatirkan akan terjadi pembatasan hidup nelayan.

“Kita akan dibatasi, sementara selama ini kita sangat bergantung pada sektor pariwisata. Sektor ini sudah jadi andalan kami, masyarakat di Pulau Pari untuk mendapatkan penghasilan. Selain itu, yang lebih khawatir, masyarakat ketakutan jika harus meninggalkan pulau untuk selamanya,” tutur dia.

Kekhawatiran warga tersebut, kata Eddy cukup beralasan. Mengingat, saat ini sudah ada beberapa zona yang tidak bisa dimanfaatkan lagi sebagai kawasan penangkapan ikan dan budidaya rumput laut. Padahal, sebelum ada perusahaan, zona-zona tersebut biasa dimanfaatkan oleh masyarakat dan nelayan.

Selain di Pulau Pari, Eddy menyebut, privatisasi pulau juga telah dilakukan di Pulau Burung, Pulau Tikus, dan Pulau H. Akibat privatisasi tersebut, nelayan kini tidak diperbolehkan lagi mampir di sana karena pulau itu sudah dikuasai swasta.

Meski sudah menjadi polemik, Eddy mengungkapkan, hingga saat ini permasalahan tersebut belum bisa dicarikan solusinya. Bahkan, sebelum ada kata sepakat, beberapa warga pulau sudah ada yang dipidanakan oleh pihak perusahaan.

 

Pintu masuk ke perkampungan warga di Pulau Pari. Foto: Aji Wihardandi/Mongabay Indonesia

 

Perlindungan Tenurial Masyarakat Pesisir

Sekretaris Jenderal DPP KNTI Iing Rohimin mengatakan, perlindungan tenurial nelayan dan petambak garam di kawasan pesisir harus menjadi agenda utama Pemerintah Indonesia dari sekarang hingga yang akan datang. Hal itu, menjadi implementasi dari Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan dan Petambak Garam.

“Nelayan dan petambak tersebut berkontribusi terhadap penyediaan 80 persen kebutuhan protein hewani bagi penduduk Indonesia. Sayangnya, kesejahteraan mereka tidak banyak diperhatikan oleh Negara,” ucap dia.

Menurut Iing, berbagai permasalahan yang ada saat ini, bisa dipecahkan jika Negara hadir untuk memberikan perlindungan tenurial dan menjamin keadilan sosial untuk nelayan. Untuk itu, salah satu solusinya, adalah dengan melibatkan langsung masyarakat pesisir dalam penyusunan kebijakan mengenai Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K)

“RZWP3K haruslah melindungi wilayah tenurial nelayan perikanan tangkap dari nelayan dan petambak tradisional skala kecil. Sehingga mereka dapat dilindungi dalam setiap kawasan pemanfaatan umum untuk industri, pembangunan yang merusak seperti reklamasi dan PLTU, serta konflik dengan alat tangkap,” papar dia.

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,