Buku: Hutan Batang Toru Kaya Amfibi dan Reptil

 

 

Herpetologer Mania bersama Yayasan Ekosistem Lestari (YEL), menerbitkan sebuah buku panduan lapangan amfibi dan reptil di ekosistem Batang Toru, Tapanuli, Sumatera Utara.

Buku setebal 308 halaman ini, memperkenalkan amfibi dan reptil di kawasan Batang Toru. Berisi penjelasan ilmiah yang bisa membantu perkembangan ilmu pengetahuan, di dalam buku ini juga banyak foto amfibi dan reptil milik para peneliti dan para penulis.

Setidaknya hingga kini, para peneliti dari YEL dan komunitas herpetologer mania, sudah berhasil mengidentigasi 142 jenis amfibi dan reptil di ekosistem Batang Toru. Ia masuk dalam tiga kabupaten, yaitu Kabupaten Tapanuli Utara, Tapanuli Tengah, dan Tapanuli Selatan.

Di buku ini banyak temuan-temuan baru, salah satu kadal merah tanpa kaki (Dopasia wegneri), yang ditemukan peneliti YEL.

Kadal mirip ular ini, pertama kali publis 1950an berbahasa Jerman, yang ditemukan di perbukitan dekat Kota Padang, Sumatera Barat. Sejak saat itu hingga sekarang, belum ditemukan. Baru 2000-an tim peneliti YEL menemukan gambar hidup perdana satwa langka yang bersembunyi dalam ekosistem Batang Toru.

Mistar Kamsi, Deputi Direktur, Unit Monitoring Keragaman Hayati YEL, juga salah satu penemu berbagai spesies amfibi dan reptil di hutan Batang Toru, juga menemukan katak pohon semak nauli (Chiromantis nauli)  endemik Batang Toru, belum pernah ditemukan di luar itu. Katak ini baru dideskripsikan pada 2004.

Berdasarkan survei biodeversitas di ekosistem Batang Toru sejak 2003-2015, menunjukkan herpetofauna disana sangat kaya jenis. Salah satu yang menarik lain amfibi dan reptil, yaitu ular punai (bandotan).

Dari identifikasi, setidaknya ada tujuh jenis ular berbisa ini ditemukan di ekosistem Batang Toru. Sebagai perbandingan, di seluruh negara Inggris hanya ada enam jenis reptil ini.

“Jadi buku panduan lapangan amfibi dan reptil di ekosistem Batang Toru, dengan cara survei oleh saya dan Siska Handayani, dibantu Akhmad Junaedi Siregar, serta Dr. Gabriella Frediksson, selaku Koordinator Program YEL di Batang Toru, ” ucap Mistar, kepada Mongabay, di sela peluncuran buku.

 

Draco fimbrilatus dorsai dari Hutan Batang Toru. Foto: YEL/ Mongabay indonesia

 

Akhmad Junaedi Siregar, Pendiri Herpetologer Mania juga turut terlibat dalam penerbitan buku panduan lapangan amfibi dan reptil ini. Dia mengatakan, dengan ada buku, akan makin mempermudah bagi siapa saja, terutama para pelajar dan mahasiswa mengetahui atau meneliti amfibi dan reptil di hutan Batang Toru.

Dia mengatakan, ada beberapa temuan lain ditampailkan dalam buku ini,  seperti ular piper Toba (Trimeresurus toba) merupakan satwa endemik yang jarang ditemukan.

Junaedi bersama tim Herpetologer Mania setiap bulan ekspedisi, salah satu temuan baru, bunglon bercula (Herpesaurus modigliani) di Taman Huta Raya (Tahura) Bukit Barisan. Ada juga cicak hutan (Cyrtodactylus), yang jadi sampul buku.

“Buku ini bisa membantu para herpetologer,” katanya.

Sedangkan Graham Usher, Geografic Information Sistem Specilist Planning–PanEco, mengatakan, sebelum buku panduan lapangan ini ada, sangat sulit mencari buku panduan soal reptil dan amfibi di Sumatera.

Dia menunjukkan sejumlah buku tentang endemik Kalimantan, ternyata buku tak ada terbit di Indonesia, melainkan Sabah, Malaysia. “Kalau saya lihat buku panduan ini sangat penting. Hal luar biasa yang harus diteruskan, misal buku anggrek Batang Toru dan lain-lain, ” katanya.

 

Kadal merah. Foto: Chairunas Adha Putra/Mongabay Indonesia

 

Status hutan Batang Toru

Setelah berbagai penelitian dan monitorng di Batang Toru ini, terlihat betapa kaya flora fauna, bukan hanya jasa lingkungan. Ke depan, katanya, perlu pemikiran soal status hutan Batang Toru. “Apakah tetap lindung atau hutan konservasi? Diketahui dulu mengapa itu jadi hutan lindung agar pemerintah daerah bisa berperan aktif. Jika hutan konservasi, peran daerah akan makin sedikit,” kata Usher.

Masih banyak Batang Toru hutan produksi. “Ini sebenarnya aneh.”

Dia bilang, alau melihat penelitian mulai dari jenis tanah, intensitas curah hujan dan lain-lain jika lebih 175 poin seharusnya jadi hutan lindung. “Antara 125-175 poin otomatis tak boleh hutan produksi murni. Kalaupun hutan produksi, statusnya hutan produksi terbatas.”

Parlindungan Purba, anggota DPD yang hadir dalam peluncuran buku panduan soal reptil dan amfibi mengatakan,  setelah banyak penelitian di Batang Toru, ternyata keragaman disana tak kalah dari Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL).

Dengan begitu, katanya, tugas semua pihak memperjuangkan hutan tak dirusak dan hancur demi kepentingan pribadi.

Dia meminta, ada tim terlibat menyiapkan semua analisis dan pemaparan soal mengapa ekosistem Batang Toru harus terjaga. Kala semua data sudah ada, dia siap memfasilitasi pertemuan dengan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya.

 

Buku Amfibi dan Reptil dari Hutan Batang Toru. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesa

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,