Wujudkan RAPS, Apa Saja yang Dilakukan Bupati Sigi?

 

Melalui Peraturan Presiden (Perpres) No.45/2016 tentang Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2017, Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial (RAPS) menjadi salah satu prioritas nasional yang harus dijalankan oleh pemerintah pusat hingga daerah. Sebagai upaya pemerataan pembangunan, pengurangan kesenjangan, penanggulangan kemiskinan, keadilan lingkungan, dan penciptaan lapangan kerja di pedesaan.

Kabupaten Sigi di Sulawesi Tengah adalah daerah yang paling aktif mendukung dan menerapkan program RAPS ini. Mereka antara lain memasukkan RAPS ini sebagai salah satu program strategis dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Sigi, membentuk Tim Gugus Tugas RAPS, serta telah membuat Peta Jalan dan rencana aksi. Pemerintah Kabupaten Sigi juga dinilai sukses mengajak semua pihak bersinergi dan bekerja bersama dalam menjalankan RAPS ini.

Kepada media, dalam kunjungan yang difasilitasi oleh Yayasan Perspektif Baru (YPB), pada akhir Agustus 2017 lalu, Bupati Sigi, Muhammad Irwan Lapata, menjelaskan alasannya mendukung program RAPS ini.

“Sebelum saya menjadi pimpinan daerah, fenomena keagrariaan sudah tergambar dan ada. Kawasan hutan di Sigi ini hampir 75 persen adalah kawasan hutan, terdiri dari hutan konservasi, hutan lindung dan perhutanan sosial. Kita lihat betapa luar biasa luasnya hutan ini dan begitu besar penguasaan negara atas hutan tersebut,” ujarnya.

Di Kabupaten Sigi sendiri terdapat kawasan Taman Nasional Lore Lindu (TNLL) seluas 2.180 km2 yang ditetapkan sejak tahun 1993 silam. Kabupaten Sigi terdiri 15 kecamatan dan 176 desa. Sekitar 75% wilayah Sigi merupakan kawasan hutan yang di dalamnya ada hutan adat, hutan masyarakat dan lain-lain termasuk hutan konservasi. Sisanya 25% merupakan kawasan budidaya seperti pertanian, peternakan, perikanan, kehutanan dan usaha kecil menengah. Hampir 81% desa berada di dalam kawasan hutan baik itu di hutan lindung atau konservasi.

Masalahnya kemudian, lanjut Irwan, adanya kondisi ketidakjelasan tapal batas antara wilayah kelola masyarakat dengan kawasan hutan tersebut. Di beberapa desa, seperti di Palolo kawasan hutan ini bahkan terletak tepat di belakang rumah warga, sehingga kerap menimbulkan konflik antara masyarakat dengan pemerintah.

Menurutnya, penetapan kawasan hutan tersebut dulunya tidak dilakukan secara jujur dan transparan, seperti yang terjadi di Desa Kulawi dan sejumlah desa lainnya.

“Nah informasi dari masyarakat dan teman-teman bahwa dulu ketika penentuan tapal batas kawasan masyarakat disuruh mengangkat patok semampu mereka bisa membawanya. Dimana patok itu kemudian diletakkan di situlah ditetapkan sebagai titiknya. Ini yang harus dibenahi kembali,” katanya.

 

Dengan luas kawasan hutan mencapai 74 persen dari luas wilayah kabupaten Sigi, tak jarang kawasan terjadi tumpang tindih antara wilayah kelola masyarakat dengan kawasan hutan. Proses penetapan hutan selama ini dinilai tidak jujur dan tidak transparan serta kurang sosialisasi. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia

 

Persoalan lain adalah ketika kebun kakao warga yang berada di kawasan yang diklaim sebagai hutan lindung ditebang habis. Padahal kebun tersebut adalah sumber penghidupan warga yang telah ada jauh sebelum penetapan kawasan tersebut sebagai kawasan hutan konservasi atau hutan lindung.

“Ini kan fenomena. Ketika ditebang, masyarakat yang sudah membuat ruang ekonomi untuk keluarganya kemudian menjadi tak berdaya. Mereka mau melapor ke mana? Kalau pun melapor nantinya tetap terbentur masalah hukum juga karena itu memang area konservasi dan lindung.”

Menurut Irwan, selama ini pemerintah kurang melakukan sosialisasi tentang tapal batas kawasan kepada masyarakat, sehingga kemudian banyak terjadi kriminalisasi terhadap mereka, yang ketika terdesak oleh kebutuhan hidup kemudian terpaksa merambah dan berkebun di dalam kawasan.

“Mungkin selama ini ada pengelolaan yang keliru. Saya tidak menyalahkan pemerintah. Jadi dulu ketika kampanye saya berpikir kalau terpilih menjadi kepala daerah maka ini harus diperbaiki. Dikelola dan ditata. Bagaimana cara mengelolanya nanti kita lahirkan sebuah kebijakan. Inilah yang kami lakukan sekarang.”

Terkait penolakannya terhadap penetapan Sigi sebagai kabupaten konservasi, Irwan beralasan penetapan itu justru menjauhkan masyarakat dari akses sumber daya. Di sisi lain, masyarakat dengan kearifan lokalnya, dinilai justru lebih mampu dalam melakukan konservasi.

 

Solusi Konflik Tenurial

Eva Bande, salah seorang anggota Tim Gugus Tugas RAPS Sigi, menilai terobosan Pemda Sigi ini sebagai upaya menyelesaikan berbagai konflik tenurial yang ada di Kabupaten Sigi.

Dilihat dari kewilayahannya Kabupaten Sigi memiliki luas sekitar 519 ribu hektar, dengan 74 persen kawasan hutan dan hanya 26 persen kawasan budidaya dan pemukiman, sehingga akses masyarakat terhadap sumber-sumber agraria sangat kecil.

“Ini menjadi masalah tersediri sehingga memang Pemda Sigi mengambil langkah dan merumuskan dalam agenda kerja dengan menempatkan reforma agraria sebagai isu strategis untuk memecahkan masalah-masalah agraria yang ada selama ini,” katanya.

Menurut Eva pelaksanaan RAPS ini dalam skala kabupaten yang begitu luas menjadi tantangan tersendiri, apalagi selama ini belum pernah dilakukan oleh daerah lain di seluruh Indonesia.

“Karena dalam skala kabupaten maka memang harus ada cara-cara untuk memulai proses ini agar kita bisa memiliki argumentasi yang kuat dengan data-data yang dimiliki dan tingkat akurasinya bisa dipertanggungjawabkan.”

 

Pemda Kabupaten Sigi melatih 300-an warga dari 125 desa untuk melakukan pemetaan partisipatif. Mereka antara lain diajarkan cara menggunakan GPS. Di setiap desa juga dibentuk Tim Gugus Tugas RAPS beranggotakan 10 orang. Foto: Eva Bande/Mongabay Indonesia

 

Sebagai langkah awal dari pelaksanaan RAPS di Sigi, pemerintah daerah bersinergi dengan LSM dan berbagai pihak melakukan pendidikan reforma agraria dan pemetaan partisipatif. Peserta merupakan perwakilan dari pemerintah desa, BPD, tokoh adat dan masyarakat serta perempuan.

Menurut Eva, target mereka semua proses ini akan tuntas pada Oktober 2017 mendatang, sebelum akhirnya diusulkan ke kementerian. Sebanyak 125 desa yang dipilih sebagai prioritas karena di desa-desa tersebut banyak ditemukan kawasan tumpang tindih antara wilayah kelola masyarakat dengan kawasan hutan.

“Ada beberapa desa yang sudah rampung proses digitasinya, sementara yang lain masih di lapangan. Kita target tuntas Oktober mendatang.”

Menurut Amran Tambaru, dari Simpul Layanan Pemetaan Partisipatif (SLPP) Sulteng, kondisi tapal batas desa di Sigi saat ini belum ada yang clear and clean. Tapal batas hanya selesai di tingkat kabupaten sementara desa-desa dibiarkan mengambang.

“Kalau dilihat papan monografi desa agak aneh, kok desa berbatasan dengan kawasan hutan, dengan taman nasional. Ini aneh. Sehingga dengan program ini kita ingin membantu pemerintah menyelesaikan tapal batas di desa. Sehingga nantinya tidak ada lagi berbatasan dengan hutan. Harapan kami ini bisa menjadi solusi penyelesaian konflik terurial di Sigi. Karena banyak klaim-klaim ketika masyarakat adat atau lokal sudah melakukan aktivitas pemanfaatan sebelum ditunjuk sebagai hutan negara. Ini yang akan kita buktikan kembali,” katanya.

Terkait program RAPS ini sendiri beberapa pilihan skema yang bisa diusulkan untuk desa-desa ini bisa dalam bentuk TORA ataupun perhutanan sosial.

“Masing-masing ada plus minus. Ini yang harus disampaikan ke masyarakat desa untuk memilih tapi kita harus menyiapkan informasi yang lebih objektif sehingga punya informasi yang cukup sebelum menentukan pilihan.”

Menurutnya, untuk TORA sendiri tersedia empat pilihan. Pertama, bagaimana fasilitas sosial, pemukiman dan kebun-kebun yang ada di kawasan hutan bisa dikeluarkan.

Skema kedua, bagaimana tanah-tanah yang menjadi klaim HGU yang diterlantarkan bisa dikembalikan ke masyarakat. Saat ini terdapat lima HGU di Sigi yang menguasai lahan sekitar 1.000 hektar.

Ketiga, skema legalitas aset, di mana tanah-tanah di Sigi di luar pemukiman yang belum punya sertifikat kemudian disertifikatkan kerjasama dengan BPN agar ada kepastian alas haknya.

Keempat, skema hutan adat, karena di Sigi terdapat sejumlah komunitas adat yang kuat secara kelembagaan, seperti Moa, Lindu, Tobaku.

Untuk skema perhutanan sosial bisa melalui hutan desa dan HKM.

“HTR kita tidak rekomendasikan, sementara taman nasional sendiri menawarkan skema kemitraan.”

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,