Pemberdayaan Sosial dan Ekonomi Restorasi Gambut Harus Sentuh Nelayan Tangkap. Kenapa?

 

 

Nelayan tangkap yang hidup di wilayah pantai timur Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatera Selatan, merupakan kelompok masyarakat yang paling merasakan dampak kerusakan lahan gambut. Program pemberdayaan ekonomi dan sosial restorasi gambut, diharapkan dapat menyentuh sekaligus meningkatkan taraf kehidupan mereka.

“Jumlah nelayan tangkap di pantai timur cukup banyak. Mulai dari Cengal, Tulung Selapan, hingga Air Sugihan. Kehidupan mereka sangat memprihatinkan, mereka hanya bergantung pada ikan sungai atau air payau. Saat ini, ikan kian berkurang sementara harga kebutuhan terus meningkat,” kata Dani Yaser, Kepala Dusun Sungai Kong, Desa Simpang Tiga Jaya, Kecamatan Tulung Selapan, Kabupaten OKI, Sumsel, dalam sebuah perbincangan di Desa Tulung Selapan, pertengahan September 2017.

Berkurangnya jumlah ikan ini, kata Dani, sebagai dampak berubahnya lahan gambut di pesisir timur, yang banyak beralih menjadi lahan perkebunan, pertanian, dan pertambakan tradisional.

 

Baca: Merangkai Pesisir Timur Sumatera Selatan Menjadi Desa Mandiri Energi dan Sentra Udang Windu

 

Setiap kali terjadi kebakaran di lahan gambut, mereka selalu menjadi korban. Selain sulit mencari ikan, mereka juga terserang penyakit pernapasan. “Mereka dapat dikatakan kalah bersaing dengan petambak atau pengusaha sarang walet. Mau mencari ikan ke laut mereka tidak punya biaya untuk membeli kapal atau perahu besar, apalagi mau membuka tambak dan rumah burung walet. Sementara harga kebutuhan pokok seperti BBM, beras, gula, minyak sayur, terus meningkat,” kata Dani.

Wilayah pantai timur Kabupaten OKI ini merupakan target dari program restorasi gambut. Hampir semua desa di wilayah ini masuk sebagai sasaran yang dijadikan Desa Peduli Api (DPA) oleh Tim Restorasi Gambut (TRG) Sumsel dan masuk dalam prioritas KHG yang ditargetkan BRG: KHG Sugihan-Air Saleh, KHG Sungai Sugihan-Sungai Lumpur, pada 2018. Yakni, KHG Sungai Burnai – Sungai Sibumbung, KHG Sungai Sibumbung – Sungai Talangrimba (OKI); KHG Sungai Talang – Sungai Ulakkedondong (OKI); dan KHG Sungai Ulakkedondong – Sungai Lumpur (OKI).

 

Pagi hari, nelayan Desa Simpang Tiga Makmur membawa perahunya ke Selat Bangka untuk mencari udang, kerang, maupun ikan. Foto: Taufik Wijaya/Mongabay Indonesia

 

Energi alternatif dan listrik

Apa yang harus dilakukan terhadap mereka? Salah satu hal yang paling membebani kehidupan nelayan tangkap ini adalah kebutuhan BBM dan listrik. “Di sini harga bensin berkisar Rp8-9 ribu per liter, sementara solar Rp7-8 ribu per 20 liter. Minyak tanah kisaran Rp6 ribu per liter. Sehari, mereka harus mengeluarkan biaya untuk BBM sekitar Rp150 ribu, sementara pendapatannya hanya Rp200 ribu. Sangat tidak seimbang,” katanya.

Oleh karena itu, kebutuhan pertama bagi nelayan tangkap adalah listrik, seperti listrik dari tenaga surya untuk di rumah mereka. “Serta, energi lain sebagai pengganti bensin dan solar yang harganya jauh lebih murah atau dapat diproduksi berkelompok,” ujar Dani.

Jika memang sulit, kata Dani, mereka dapat menjalankan program pemberdayaan ekonomi. Misalnya, meningkatkan kualitas dan beragam produk hiliran dari ikan sungai, seperti ikan salai atau ikan asap, ikan asin, terasi dan lainnya. “Bila ada dana bantuan dari pemerintah yang cukup mungkin dibelikan kapal sehingga dapat melaut atau untuk pertambakan semi moderen berkelanjutan yang tidak merusak lingkungan,” kata sarjana politik yang memilih mengabdi pada masyarakat di kampungnya.

Beberapa tahun lalu, Pemerintah Kabupaten OKI pernah berencana melakukan penanaman pohon nyamplung sebagai bahan baku biodiesel berupa solar. Rencana penanaman ini, ada di wilayah hutan lindung yang mengalami kerusakan akibat pembukaan pertambakan udang atau illegal logging. “Namun, rencana ini belum jelas perkembangannya.”

 

Danau yang berada di lahan gambut. Mengelola gambut butuh ilmu pengetahuan tingkat tinggi yang dipadukan dengan kearifan masyarakat lokal. Foto: Rhett Butler/Mongabay

 

Pulau Maspari

Pemerintah Sumatera Selatan sejak beberapa tahun terakhir memang melihat potensi ekonomi di wilayah pesisir timur sebagai hal yang menjanjikan. Misalnya Pulau Maspari, yang dapat ditempuh sekitar 10-15 menit dari Dusun Sungai Kong, Desa Simpang Tiga Jaya.

Pulau Maspari, selain dapat dijadikan objek wisata dengan potensi penyu sisik, juga berpotensi dijadikan sentra pembibitan ikan dan udang, sehingga para petambak tidak lagi bergantung bibit dari Lampung, Cirebon dan Pengandaran.

 

Baca juga: Maspari, Pulau Tempat Penyu Sisik Bertelur yang “Sendirian”

 

Saat Rosihan Arsyad menjadi Gubernur Sumsel (1998-2003), pulau tersebut sudah diupayakan pembibitan udang windu dan ikan bandeng. Tapi proyek tersebut terhenti karena terkendala listrik.

Saat ini, Pemerintah Sumsel bersama sejumlah pihak juga berkeinginan menjadikan wilayah pesisir timur sebagai sentra tenaga surya. Direncanakan, lahan seluas 20 ribu hektare dipersiapkan untuk tiang-tiang penangkap sinar matahari, yang keberadaannya tidak akan menggangu bentang alam.

JJ Polong, Direktur Spora Intitute, mengatakan wilayah pantai timur Kabupaten OKI selama ini sudah menguntungkan banyak pihak. Mulai dari pengusaha HPH, perambah, perusahaan HTI, perkebunan sawit, pengusaha sarang walet, hingga pengusaha tambak udang dan ikan. “Namun nasib masyarakat lokal, seperti nelayan tangkap tetap memprihatinkan. Padahal, mereka ini yang menjaga lahan gambut bersama peradabannya selama ratusan tahun,” tuturnya, Rabu (20/09/2017).

“Jadi, penyelamatan kehidupan masyarakat lokal di pantai timur, seperti nelayan tangkap ini merupakan harga mati yang harus dilakukan pemerintah. Jangan sampai mereka hilang bersama peradabannya, sebagai korban atau tidak dilibatkan dalam pembangunan yang mengatasnamakan ekonomi,” tandas Polong.

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,