Benda Bersejarah Terus Diburu, Program Restorasi Gambut Harus Lindungi Situs Sriwijaya

 

 

Benda bersejarah milik Kerajaan Sriwijaya, berkisar abad ke tujuh hingga sepuluh Masehi terus ditemukan di wilayah lahan gambut KHG Sugihan-Sungai Lumpur. Tepatnya, di Sungai Bagan, Desa Simpang Tiga, Kecamatan Tulung Selapan, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatera Selatan. Ini menunjukkan, restorasi gambut yang tengah dilakukan harus melindungi situs sejarah tersebut.

Perburuan harta karun ini sebenarnya beriringan dengan bencana kebakaran dan pembukaan lahan gambut, akhir 1990-an. Bahkan, saat ekskavasi di Kabupaten Musi Banyuasin yang dilakukan Pusat Arkeologi Nasional pada saat kebakaran gambut hebat pada 1997-1998. Dan dilanjutkan 2014 oleh Balar Palembang (Sumsel).

Ini dikarenakan, lahan gambut yang sebelumnya tertutup menjadi terbuka. Benda-benda yang selama ratusan tahun tersimpan di dalam tanah, muncul ke permukaan. Bahkan, pada pembukaan lahan untuk permukiman transmigran di Air Sugihan, juga ditemukan sejumlah benda bersejarah peninggalan Kerajaan Sriwijaya, oleh para pekerja dan masyarakat.

 

Baca: Badan Restorasi Gambut Diminta Selamatkan Bukti Sejarah Sriwijaya

 

Tercatat, ada 58 situs di wilayah Aire Sugihan yang tersebar di Desa Banyubiru (24), Desa Kertamukti (18), Desa Riding (6), Desa Nusantara (5), dan Desa Bukit Batu (3). Situs permukiman Sriwijaya lainnya juga ditemukan di Kabupaten Banyuasin dan Musi Banyuasin (Muba).

Kebakaran hebat pada 2015 lalu, juga membuat membuat sejumlah benda-benda bersejarah ditemukan di wilayah Teluk Cengal, yang diperkirakan sebagai salah satu Bandar Kerajaan Sriwijaya. Hal ini sebagaimana diungkapkan arkeolog Nurhadi Rangkuti dalam artikelnya “Teluk Cengal Lokasi Bandar Sriwijaya.”

 

Salah satu situs pemukiman Kerajaan Sriwijaya di Sungai Bagan, Desa Simpang Tiga, Kecamatan Tulung Selapan, Kabupaten OKI, Sumsel, ini diburu masyarakat. Mereka mencari benda-benda beharga seperti emas dan keramik, sejak awal September 2017 lalu. Foto: Sengguk Umang

 

Dari penelusuran Mongabay Indonesia setahun lalu, sebagian besar lokasi situs permukiman Kerajaan Sriwijaya berada di lahan konsesi perusahaan HTI, yang menjadi target restorasi pemerintah. Sebagian juga berada di lahan masyarakat.

Sekitar awal September 2015, masyarakat kembali menemukan benda-benda bersejarah tersebut. Bila sebelumnya di sekitar Ulak Kedondong dan Simpang Palembang, kini ke Desa Simpang Tiga, yang secara administratif masuk Kecamatan Tulung Selapan. Namun, secara bentang alam masuk KHG Sugihan-Sungai Lumpur.

Masyarakat atau para pemburu harta karun ini hanya fokus pada benda-benda yang saat ini memiliki nilai jual, seperti emas, keramik, guci, atau batu mulia. Sementara benda yang sebenarnya memiliki nilai sejarah tinggi, seperti perahu, tiang rumah, peralatan rumah tangga, cenderung dirusak atau dibuang.

“Saat ini para pemburu bukan hanya masyarakat lokal, juga dari Lampung, Jawa, dan Palembang. Mereka pun membawa dukun,” kata Sengguk Umang, warga Desa Cengal, Kecamatan Tulung Selapan, yang juga melihat lokasi perburuan harta karun, Selasa (20/09/2017).

“Yang disayangkan, banyak benda bersejarah yang dirusak. Mereka hanya memburu emas atau benda mulia lainnya,” kata Sengguk.

 

Emas dalam bentuk beragam perhiasan banyak ditemukan di situs permukiman Kerajaan Sriwijaya di lahan gambut KHG Sugihan-Sungai Lumpur, Sumsel. Foto: Sengguk Umang

 

Status cagar budaya

Sebenarnya, Pemerintah Sumatera Selatan melalui Tim Restorasi Gambut (TRG) Sumsel telah mengusulkan ke BRG agar restorasi gambut di Sumatera Selatan juga melindungi situs Kerajaan Sriwijaya. Termasuk pula, Pemerintah Kabupaten Musi Banyuasin.

“Namun, upaya ini berjalan lamban karena pemerintah belum menetapkan situs-situs permukiman Kerajaan Sriwijaya tersebut sebagai cagar budaya,” kata Dr. Najib Asmani, Koordinator TRG Sumsel.

Najib menjelaskan, pihaknya dengan Tim Spirit Sriwijaya untuk Kemakmuran Bersama telah memiliki gagasan pembentukan Taman Sriwijaya di lokasi situs tersebut, seperti disampaikan Nurhadi Rangkuti sebagai anggota Tim Ahli TRG Sumsel.

BRG sendiri juga mendukung upaya pelestarian situs sejarah tersebut. “Kriteria itu adalah, pertama berdasarkan ketebalan tiga meter atau lebih. Kedua, kawasan plasma nutfah spesifik atau endemik. Ketiga, adanya spesies yang dilindungi sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Keempat, perlindungan cagar budaya. Kelima, ekosistem gambut yang berada di kawasan lindung sebagaimana ditetapkan dalam rencana tata ruang wilayah, kawasan hutan lindung, dan kawasan hutan konservasi,” kata Budi Wardhana, Deputi Bidang Perencanaan dan Kerjasama Badan Restorasi Gambut (BRG) Nasional, dalam Rapat Koordinasi Tim Restorasi Gambut (TRG) Sumatera Selatan, Kamis (28/04/2016) lalu.

 

Sebaran situs arkeologi di pantai timur Sumatera Selatan. Peta: Balai Arkeologi Palembang

 

Conie Sema, Ketua Teater Potlot, yang sampai saat ini terus mengkampanyekan persoalan gambut melalui teater, yang pada 30 September 2017 nanti kembali mementaskan “Rawa Gambut” di Taman Budaya Lampung, mengatakan jika restorasi gambut gagal melindungi situs sejarah di Sumatera Selatan, program tersebut akan sia-sia. Sebab, ancaman utama dari perubahan bentang alam, bukan hanya mengancam lingkungan, juga manusia dan jejak peradabannya berupa situs-situs sejarah.

“Pemerintah harus melindungi situs sejarah tersebut. Itu harga mati dalam pelaksanaan program restorasi gambut,” tegas Conie.

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,