Hikayat Lindu, dari Belut Raksasa hingga Perjuangan Menuju Hutan Adat

 

Danau Lindu adalah sebuah danau tektonik yang terletak di Kecamatan Lindu, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, berada di ketinggian sekitar 1.000 mdpl. Pagi itu, Kamis, 30 Agustus 2017 lalu, kami berkunjung ke danau ini difasilitasi oleh Yayasan Perspektif Baru (YPB) untuk mengetahui pelaksanaan program Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) dan Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial (RAPS) Pemerintah Kabupaten Sigi.

(baca : Wujudkan RAPS, Apa Saja yang Dilakukan Bupati Sigi?)

Perjalanan ke Danau Lindu memiliki tantangan tersendiri. Dari Kota Sigi kita harus berkendaraan sekitar 40 km, sebelum akhirnya tiba di Sadaunta, Desa Namo, Kecamatan Kulawi. Titik terjauh yang bisa dijangkau oleh kendaraan roda empat. Sadaunta ini adalah sekaligus pintu gerbang sebelum memasuki kawasan Taman Nasional Lore Lindu (TNLL).

Dari Sadaunta kami melanjutkan perjalanan 17 km lagi menggunakan sepeda motor yang telah dimodifikasi. Medan yang sulit dan terjal serta beban yang berat membuat sepeda motor tak akan bertahan lama di daerah ini. Motor yang membawa saya baru berumur dua tahun namun terlihat sudah 10 tahunan.

Di Desa Tomada, Kecamatan Lindu, tujuan akhir perjalanan, kami diterima dengan upacara adat yang cukup meriah. Ada alunan musik tradisional Lindu yang dinyanyikan oleh belasan anak-anak berpakaian adat. Setelah lagu dinyanyikan kami memasuki aula besar pertemuan adat yang berada tepat di tepi Danau Lindu.

Setelah upacara penyambutan, kami bersama pemangku adat dan pemerintah daerah setempat langsung menuju dermaga. Perjalanan akan dilanjutkan ke sebuah tempat yang disebut Suaka Maradika. Terletak di seberang danau yang bisa ditempuh sekitar 30 menit menggunakan kapal kayu.

Di lokasi ini terdapat sebuah bangunan tua yang dikeramatkan. Di dalamnya terdapat makam tua yang diperkirakan berumur 500 tahun. Makam Maradindo. Salah satu cagar budaya di Dataran Lindu. Kunjungan kami ke tempat ini semacam ‘permohonan izin’ kepada leluhur masyarakat Lindu tersebut.

 

Masyarakat Lindu, Sigi, Sulteng, masih mempertahankan adat budaya, termasuk kesenian dan tarian. Kelembagaan adatnya telah tergerus seiring masuknya pemerintahan Belanda dan Jepang. Kini ada upaya untuk merevitalisasi kembali kelembagaan adat dan hukum adat yang ada. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia

 

Gunci Rante Pelungi, yang telah berumur sekitar 70-an, pemegang kunci makam bercerita bahwa makam itu hanya dibuka di waktu tertentu, seperti adanya kunjungan tamu dari luar ataupun ketika akan diadakan acara besar.

“Kalau ada acara besar malah harus potong kerbau. Akan ada pesta di Tomada, Anca dan Langgo,” tambahnya.

Makam itu diyakini sebagai leluhur yang sangat dihormati masyarakat di Dataran Lindu, yang didiami oleh tujuh sub suku, yaitu Langko, Uno, Olu, Luo, Palili, Anca dan Bamba. Konon di dalam makam terdapat tengkorak dan tulang-tulang Maradindo yang merupakan Tadulako atau panglima perang di masanya.

“Dulu beliau dulu seorang pemberani yang selalu tampil setiap terjadi kerusuhan. Ia sangat dihormati hingga sekarang. Ia tampil berperang ke mana-mana, termasuk ke Kerajaan Gowa,” ujar Gunci.

Ketujuh sub suku tersebut meski masih eksis hingga sekarang namun batas-batas wilayahnya sudah berubah sejak masuknya pemerintahan Belanda. Di masa pemerintahan Belanda, tujuh wilayah sub suku tersebut dilebur menjadi tiga, yaitu Langgo, Tomada dan Anca.

Menurut Gunci, kedatangan Belanda tidak hanya mengubah batas-batas wilayah, tetapi juga mengubah struktur pemerintahan adat. Kelembagaan adat yang ada saat itu, empat serangkai yang disebut Jogugu, Kapita, Galara dan Pabicara, digantikan dengan struktur pemerintahan modern.

“Struktur pemerintahan adat itu tidak bekerja seperti dulu lagi. Kalau kelembagaan adat masih ada sampai sekarang. Di tingkat desa ada Lembaga Adat Desa sementara di tingkat kecamatan disebut Majelis Adat Kecamatan. Pemangku adatnya disebut Tetua Adat.”

(baca : Pemerintah Sigi Komitmen Jalankan Reforma Agraria, Seperti Apa?)

 

Gunci Rante Pelungi bersama keponakannya Yunius, pemegang kunci makam Maradindo, yang sangat dikeramatkan masyarakat Lindu. Setiap akan diadakan kegiatan besar harus berkunjung ke makam ini dan diadakan pesta pemotongan kerbau di Desa Tomada Anca dan Langgo. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia

 

Danau Lindu yang luasnya diperkirakan sekitar 3.488 hektar konon terbentuk 3.000 tahun silam. Selain versi ilmiah yang menyebutnya sebagai danau tektonik yang terbentuk selama era Pliosen, proses lahirnya Danau Lindu ini ternyata memiliki mitos tersendiri.

Samuel Tolei (60), salah seorang Tetua Adat Lindu, bercerita bahwa nama Lindu sendiri berarti belut, yang dalam hikayat Danau Lindu digambarkan sebagai belut yang berukuran raksasa.

Alkisah di zaman dulu, seorang pemangku adat Anca memelihara banyak kerbau. Anehnya, setiap hari ada saja kerbau hilang. Suatu ketika orang ini mengikuti kerbau tersebut, yang biasanya berkeliaran sekitar Danau Lindu yang dulunya rawa.

“Ketika kerbau sedang minum dekat rawa tiba-tiba ada makhluk besar menerkam dan menelannya bulat-bulat. Ia mencoba mendekat untuk mengetahui makhluk tersebut, yang ternyata seekor Lindu atau belut yang berukuran raksasa.”

Kejadian itu membuat heboh sekampung sehingga datanglah orang-orang dari gunung turun untuk memburu belut raksasa tersebut dengan membawa anjing. Anjing ini lalu mengejar belut tersebut hingga ke tengah-tengah rawa. Perburuan berlangsung hingga 7 hari 7 malam.

“Pada hari ke tujuh tiba-tiba terdengar suara ledakan besar dan gemuruh. Lindu yang dikejar anjing ini berhasil menembus gunung yang ada di sekitar muara. Gemuruh itu adalah suara air yang kemudian memenuhi rawa ini sehingga terbentuklah danau seperti sekarang.”

Setelah danau terbentuk, orang-orang dari pegunungan mulai turun ke sekitar danau membangun pemukiman. Orang Anca membuat perkampungan yang disebut Kora, orang Langko membentuk Taubatuleo. Sementara orang Bonkodono membangun Bontlunca.

“Cerita ini hanya dongeng, kita mungkin sulit percaya, tetapi begitulah cerita dari turun temurun,” ujar Samuel sambil tertawa lepas.

 

Makam Maradindo yang sangat dikeramatkan, diperkirakan telah berumur 500 tahun. Maradindo adalah seorang Tadulako atau panglima perang di masanya. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia

 

Mendorong TORA dan RAPS di Dataran Lindu

Terkait pelaksanaan program TORA dan RAPS di Dataran Lindu, Yosef Todera, Kepala Desa Tomada, Kecamatan Lindu, bercerita bahwa kini mereka tengah mempersiapkan pelaksanaan pemetaan partisipatif.

“Kita masih sementara fase pertemuan untuk membicarakan pemetaan. Yang mau dipetakan itu adalah desa dan tanah-tanah adat serta wilayah kelola masyarakat seperti sawah, perkebunan coklat dan kopi. Ada yang bersinggungan dengan taman nasional sehingga tak jarang menimbulkan konflik antara masyarakat dengan pemerintah. Itu yang ingin diperjelas tapal batasnya,” katanya.

Menurutnya, masyarakat Dataran Lindu sangat mendukung program TORA dan RAPS tersebut karena dianggap akan menjadi solusi atas konflik-konflik yang terjadi selama ini.

“Pernah dulu enam warga ditangkap, termasuk Kepala Desa dan Sekdesnya. Mereka dipenjara selama 6 bulan karena dituduh merambah hutan. Padahal mereka hanya mengambil kayu di kebun sendiri.”

Pelaksanaan TORA dan RAPS ini ini juga diharapkan akan bisa memperbaiki perekonomian masyarakat, seiring dibukanya akses mereka kepada kebun-kebun yang selama ini diklaim taman nasional sejak tahun 1993.

Yosef tak khawatir dibukanya akses tersebut akan menimbulkan deforestasi karena masyarakat adat setempat telah memiliki mekanisme pengelolaan hutan yang berkelanjutan.

Mengikuti skema yang ditawarkan oleh program TORA dan RAPS ini, menurut Aldy Saputra, Manager Registrasi dan Verifikasi Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA), Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), TORA yang akan didorong di Lindu adalah Hutan Adat.

“Kita memberi dukungan dalam bentuk data sosial atau peta-peta wilayah adat. Lindu akan didorong untuk Hutan Adat. Kita gunakan data yang ada tahun lalu dimana telah ada kesepakatan bersama adat yang merupakan keputusan tertinggi untuk diajukan dalam TORA untuk skema Hutan Adat. Kita juga sudah verifikasi tahun lalu, luas Hutan Adat di Dataran Lindu ini sekitar 58 ribu hektar. Pemetaan saat ini untuk melengkapi yang sudah ada.”

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,