Berhadapan dengan Semen dan Aspal, Jalan Trasah Makin Terpinggirkan di Perdesaan

 

 

Usai membentangkan benang, Fahrul Rozi, memasang batu-batu kali yang teronggok di sampingnya. Bebatuan itu dia tata sedemikian rupa di pinggir atau bagian tepi, seturut lurusnya benang.

“Ini namanya plisir,” kata Fahrul. Plisir adalah susunan batu sebagai penanda (batas), biasa tertata lurus atau sesuai bentuk jalan. Selesai bikin plisir, dia mengisi permukaan tanah dengan batu lain. Tangannya cekatan memilih ukuran batu yang terasa pas. Sesekali dia memotong bagian tepi batu yang dipilih dengan palu.

Bersama delapan tenaga bantu, dia tengah menyelesaikan pengerjaan jalan trasah, di Pasar Papringan Ngadiprono, Kedu, Temanggung, beberapa waktu lalu.

Jalan trasah adalah sebutan untuk jalan batu yang biasa ditemui di perdesaan. Jalan ini biasa di daerah yang memiliki sungai berhulu di pegunungan vulkanik. Di sanalah sumber material batu berasal.

 

Keunggulan trasah

Selain jalan berbatu, ada jenis jalan lain berdasarkan pengerasan yaitu jalan tanah, bata, paving block, beton, dan aspal. Namun, tak seperti jalan aspal atau beton, misal, jalan trasah memiliki keindahan tersendiri. Batu-batu bisa tertata membentuk pola bunga, berlian, atau lingkaran. Ukuran batu tak seragam membuat jalan ini makin menarik.

Batu biasa diperoleh dari sekitar. Begitupun tukang atau perajinnya. Bahkan seringkali jalan trasah dikerjakan masyarakat sendiri. Bandingkan dengan aspal atau semen yang harus mendatangkan material dari luar daerah begitupun tenaga kerja.

“Kalau jalan aspal, air yang menggenang bisa merusak jalan. Jalan trasah ini menyerap air,” ucap Fahrul.

Fahrul, jadi perajin jalan trasah lebih 30 tahun. Warga Sidotopo, Tempuran, Kaloran, Temanggung ini kerap mendapat pesanan pembuatan jalan baik pribadi, atau desa.

“Kalau sekarang sering dari dana desa. Juga dari program JUT.”

JUT adalah jalan usaha tani, proyek pemerintah berupa sarana transportasi pertanian yang menghubungkan daerah pertanian dengan akses jalan utama atau pasar.

Untuk mengerjakan trasah di area Pasar Papringan Ngadiprono seluas 2.500 meter persegi dia membutuhkan 17 hari. Untuk jalan di sekitar perlu 12 hari.

“Sehari empat meter perorang. Mulai pukul 7.00-5.00 sore. Karena harus bagus dan kuat.”

Umumnya jalan yang dikerjakan memiliki lebar 2,5 meter, atau tiga meter. Plisir atau larik membagi lebar jalan menjadi empat bagian hingga ukuran terkecil jarak antar plisir 62,5 cm, ukuran tiga meter 75 cm.

“Plisir ini mengikat batu. Kalau tak dibikin seperti ini tak kuat dan tidak rajin.”

Jalan trasah sangat tepat dibangun di perdesaan karena dilewati kendaraan yang tak memerlukan kecepatan tinggi, sekaligus memaksa kendaraan berjalan perlahan karena susunan bebatuannya.

Jenis yang dipakai biasa batu gelondong atau batu belah. Batu belah bisa langsung dipasang karena sudah memiliki bagian rata, pengerjaan lebih cepat.

“Cara pasang tidak asal pasang. Bagian bawah batu harus diratakan dulu, biar tidak oleng,” katanya.

“Jika batu gelondong langsung ditempelkan, saat kemarau bisa loncat (terlepas dari tempatnya), kalau musim hujan oclok-oclok (goyang). Satu-satu diplathok biar rata, biar mapan. Ibaratnya batu itu duduk. Tidak oleng. Jadi memang lebih lama pengerjakannya. Apalagi dibanding jalan beton yang tinggal dicor,” katanya  tersenyum.

 

Fahrul Rozi dan tim sedang bikin jalan trasah. Foto: Nuswantoro/ Mongabay Indonesia

 

Sulit ditemui

Jalan trasah makin jarang. Kebanyakan berganti beton, paving, atau aspal. Bahkan di kecamatannya, hanya beberapa kecil ruas jalan masih menggunakan batu. Warga desa lebih menyenangi jalan aspal atau beton berbahan semen karena lebih rata, hingga mudah dilalui kendaraan seperti sepeda motor.

Proyek jalan trasah terpanjang yang pernah dia kerjakan sekitar tiga kilometer, menghubungkan Kemiri-Tempuran, di Kecamatan Kaloran, Temanggung.

“Sayangnya sekarang sudah ditutup aspal.”

Ruas jalan itu bukan satu-satunya yang beralih menjadi jalan aspal. Dia menyebut beberapa lokasi, di Cekelan, Tembarak,  Sepuser, Soropadan, dan Pringsurat.

Fahrul bilang, jasa pembuatan jalan trasah kisaran Rp21.000 per meter. Untuk kerjaan yang berlangsung ini Rp22.500.

“Yang ini, saya kerjakan lebih teliti dan rapi. Kalau yang langsung bisa diinjak sekalian sampai Rp25.000 per meter.”

Puluhan tahun mengerjakan jalan trasah,  membawa dia beberapa kali berurusan dengan proyek pemerintah. Biaya yang dipatok selalu lebih tinggi dibanding mengerjakan proyek pemerintah atau desa. Sebab, rencana anggaran belanja jalan trasah hanya Rp17.500 per meter. Dia berharap, pemerintah menghargai jasa perajin dengan menetapkan harga lebih tinggi.

 

Kearifan lokal

Warga memerlukan jalan permanen, tak becek, terlihat elok, namun bisa menyerap air kala hujan. Jalan trasah menjawab semua. Imam Abdul Rofiq, Ketua Komunitas Mata Air, pelaksana Pasar Papringan di Ngadiprono, Kedu mengatakan,  jalan trasah jadi unsur utuh konservasi kebun bambu Pasar Papringan.

“Jalan trasah dan kebun bambu satu kesatuan. Bahkan, dulu ada jalan semen kita bongkar karena tak cocok dengan konsep kita,” katanya.

Singgih Susilo Kartono, Pendiri Spedagi Project, gerakan merevitalisasi desa, pernah mengungkapkan jalan trasah tak harus kalah melawan jalan aspal, seperti terjadi di Pasar Papringan Kelingan, Caruban, Kandangan. Ada ruas jalan trasah, justru pengaspalan merupakan usulan warga.

“Ya, saya sedih sekali, bahkan jalan trasah yang diaspal ini saya yang membiayai dan masyarakat yang terlibat sebenarnya bekerja bakti. Dari jalan trasah yang sangat buruk jadi sangat baik.”

Dari sudut pandang lingkungan, katanya, sangat bagus karena menyerap air, memiliki daya tahan, dan menggunakan material lokal. Seringkali dalam pembuatan juga melibatkan masyarakat secara gotong royong. Secara sosial jalan trasah meningkatkan kohesivitas warga.

Dia bilang, harus ada edukasi cukup kepada masyarakat bahwa jalan trasah kearifan lokal yang perlu dipertahankan. Jalan aspal, katanya, akan menciptakan ketergantungan baru masyarakat kepada pemerintah. “Ketika jalan aspal rusak, perbaikan menunggu instansi berwenang. Jalan trasah justru sebaliknya.”

 

 

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,