Ancaman Perubahan Iklim dan Transformasi Sosial Ekonomi Petani

Dampak perubahan iklim yang terjadi saat ini amat berpengaruh terutama kepada kelompok masyarakat yang hidup menggantungkan mata pencahariannya pada sumber-sumber alam. Terlebih kepada kaum petani. Sayangnya, kebijakan pertanian nasional kita masih abai dalam meresponnya.

Misalnya, BPS mengumumkan pada Maret 2017 lalu, -bersamaan dengan saat panen raya, bahwa Nilai Tukar Petani (NTP) pangan turun 0,38% dibandingkan musim tanam Februari dan Januari. Keadaan tersebut sesungguhnya adalah buah dari kebijakan pertanian yang kurang mempertimbangkan musim secara cermat. Adapun sebab NTP petani justru turun, seturut dengan logika berikut.

Pertama, kebijakan pemerintah mempercepat waktu tanam dengan tanpa mengistirahatkan tanah. Bahkan dengan mengajak TNI turun ke sawah-sawah memastikan waktu tanam. Hasilnya, waktu panen jatuh lebih cepat, sehingga panen raya tahun ini jatuh di musim hujan. Celakanya intensitas curah hujan di bulan-bulan tersebut mengalami peningkatan.

Kedua, panen di musim hujan membuat gabah susah dikeringkan. Padahal teknologi pengeringan masyarakat yang lazim masih mengandalkan panas matahari. Akibatnya, gabah pecah saat digiling, karena penggilingan padi yang dimiliki petani sebagian besar berskala kecil dengan teknologi sederhana. Hasilnya beras pecah dan tidak tergiling baik. Tentu, beras kualitas demikian dihargai dengan harga rendah, yang berimbas pada gabah petani yang dibeli murah di tingkat lapangan.

Situasi tersebut adalah salah satu bukti bahwa kebijakan pertanian belum memperhitungkan faktor iklim secara teliti. Perubahan iklim memang berpotensi menimbulkan masalah besar di sektor pertanian.

Analisis UNDP memperkirakan bahwa perubahan iklim akan membawa perubahan buruk pada petani dan pedesaan karena perubahan pada curah hujan, suhu udara, dan ketersediaan air bagi pertanian di kawasan-kawasan rentan. Perubahan ini mengancam produksi pertanian dan membuat lonjakan kemiskinan di pedesaan.

Lebih jauh UNDP menyatakan bahwa pertanian bisa menjadi pendorong utama peningkatan kemiskinan karena perubahan iklim. Sebab penurunan produksi petani kecil tak kurang dari 5 persen sampai tahun 2030 dan 30 persen hingga 2080.

 

Perlindungan Petani

Tahun lalu, Menteri Siti Nurbaya mengeluarkan Permen KLHK Nomor 33/2016 tentang Pedoman Penyusunan Aksi Adaptasi Perubahan Iklim. Peraturan ini memberi panduan untuk mengintegrasikan program-program spesifik seperti ketahanan pangan, kemandirian energi, kesehatan, permukiman, infrastruktur dan pulau-pulau kecil agar mempertimbangkan adaptasi risiko dari perubahan iklim.

Peraturan ini menitikberatkan pengarusutamaan adaptasi dan rencana aksi perubahan iklim kepada kementerian lain dan pemerintah daerah, secara khusus yang terkait dengan program spesifik di atas.

Namun, ada kekhawatiran lain yang patut dikemukakan. Nampaknya pedoman adaptasi perubahan iklim ini berpotensi tidak mempertimbangkan siapa sesungguhnya petani dan pertanian kita.

Bukankah petani kita sebagian besar gurem dan buruh tani? Jadi meskipun dapat beradaptasi terhadap perubahan iklim, mereka belum keluar dari jerat kemiskinan struktural akibat ketiadaan pemilikan lahan selama ini.

Disinilah pentingnya memadukan aksi adaptasi perubahan iklim pada petani dengan pelaksanaan UU Nomor 41/2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dan UU Nomor 19/2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani.

Kedua UU ini mestilah dijalankan dengan program adaptasi perubahan iklim dengan tepat.

Karenanya Kementerian Pertanian sebaiknya melakukan reposisi besar-besaran terhadap cara perlindungan dan pemberdayaan petani di atas tanah-tanah yang telah ditetapkan sebagai zona lahan pertanian pangan berkelanjutan.

Pertama, lahan pertanian pangan berkelanjutan yang telah ditetapkan oleh pemerintah berada di atas jutaan petani gurem dan tak bertanah. Karena itu, harus ada desain pokok mentransformasikan petani di atas lahan ini menjadi koperasi-koperasi pertanian yang modern, bukan rumah tangga gurem.

Kedua, di atas lahan pertanian ini, petani mendapatkan subsidi pupuk, benih, yang belum bersandarkan pada sistem pertanian alami (organic farming). Selain itu, format subsidi pertanian kita sesungguhnya adalah subsidi tidak langsung yang lebih banyak menguntungkan perusahaan pupuk, benih ketimbang petani.

Secara bertahap, sistem subsidi semacam ini harus direformat dan dibenahi dan memberi insentif lebih besar kepada perubahan rumah tangga petani menjadi badan usaha pertanian koperasi yang mengusahakan pertanian alami.
Ketiga, membangun kebijakan keuangan yang inklusif bagi petani dan masyarakat desa sehingga menjadi stimulan perubahan besar yang direncanakan.

Tak kalah penting adalah mengintegrasikan adaptasi perubahan iklim pertanian dengan pembangunan pedesaan secara menyeluruh. Bukankah kehadiran UU Desa membawa semangat pembangunan pedesaan yang bercorak keruangan?

Pandangan kewilayahan semacam ini sangat penting dipadukan dengan pembangunan pertanian yang sigap terhadap perubahan iklim. Akhirnya, kita dapat menghasilkan pertanian dan desa bertransformasi secara sosial ekonomi sekaligus beradaptasi terhadap dampak perubahan iklim.

 

* Suryani Amin. Penulis adalah Penasihat Adaptasi Perubahan Iklim berbasis Masyarakat USAID-APIK. Tulisan merupakan pendapat pribadi, tidak mewakili pandangan institusi. Artikel ini merupakan opini penulis.

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, ,