Benarkah Kehadiran CTI Belum Maksimal dalam Pengelolaan Terumbu Karang Indonesia?

 

Kehadiran Coral Triangle Initiative (CTI) dalam pengelolaan terumbu karang di Indonesia, dinilai belum memberikan pengaruh signifikan. Padahal, inisitiatif pembentukan kerja sama regional tersebut dimaksudkan untuk memberikan dukungan bagi pengelolaan terumbu karang di kawasan CTI, khususnya di Indonesia.

Demikian penilaian Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia Moh Abdi Suhufan di Jakarta pekan lalu. Menurut dia, belum terlihatnya pengelolaan terumbu karang di Indonesia yang dilakukan CTI, bisa terjadi karena hingga saat ini kelompok tersebut belum melakukan sinkronisasi isu-isu yang ada di dalam negeri.

Abdi Suhufan mengungkapkan, program yang dilaksanakan CTI di Indonesia hingga saat ini, terkesan seperti eksklusif dan itu menjadi sulit untuk menjawab isu pengelolaan terumbu karang yang ada di Indonesia. Karena tidak inklusif juga, pengelolaan perikanan yang merusak dan kemiskinan masyarakat di kawasan pesisir, juga belum mendapat sentuhan.

“Untuk implementasi CTI di Indonesia, saat ini telah terbentuk Komite Nasional dan Kelompok Kerja sesuai dengan komponen program. Pokja dan program tersebut adalah perikanan berbasis ekosistem, bentang laut, konservasi kawasan perairan, perubahan iklim, pengelolaan spesies terancam punah, peningkatan kapasitas, ketahahanan pangan dan data dan informasi,” jelas dia.

(baca : Seperti Apa Upaya Penyelamatan Terumbu Karang di Wilayah Segitiga Karang Indonesia?)

Melihat struktur Pokja dan program yang sudah ada, Abdi Suhufan menyebut, pendekatan program yang dilaksanakan lebih bersifat teknis. Padahal, dengan kondisi Indonesia yang terdiri dari kepulauan dan banyak suku bangsa, kompleksitas pengelolaan saat ini lebih banyak dipengaruhi oleh kebijakan pembangunan, konflik antar sektor, dan perubahan iklim.

Abdi Suhufan menambahkan, dengan dilakukannya amandemen Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, secara langsung itu mengubah format pengelolaan kelautan di Indonesia. Perubahan itu, kemudian menyebabkan munculnya ketidakjelasan nasib pengelolaan 112 kawasan konservasi laut daerah seluas 7,27 hektare.

 

Kondisi terumbu karang di Desa Watanhura, Kecamatan Solor Timur, Kabupaten Flores Timur yang mengalami kerusakan pemboman yang dilakukan nelayan saat menangkap ikan. Foto: Yayasan Pengkajian dan Pengembangan Sosial (YPPS).

 

Penangkapan Ikan Merusak

Sementara, Peneliti DFW-Indonesia Subhan Usman menjelaskan, meski CTI sudah terbentuk dan berpusat di Manado, Indonesia, tetapi itu tidak berpengaruh banyak pada perilaku masyarakat pesisir Indonesia dalam melakukan penangkapan ikan. Di sejumlah daerah, hingga saat ini masih ada nelayan menangkap ikan dengan cara merusak atau menggunakan bahan peledak.

“Keberhasian Indonesia memerangi perikanan ilegal, belum diikuti oleh upaya dalam memerangi kegiatan destructive fishing,” tutur dia.

Untuk itu, Subhan menghimbau agar CTI segera memberikan dukungan penuh dan memberi tekanan kepada negara anggota untuk terlibat aktif dalam perang melawan perikanan dengan cara merusak. Dukungan tersebut, dilakukan dengan melaksanakan program bersama mengawasi peredaran dan perdagangan pupuk lintas negara untuk memasok bahan baku pembuatan bom.

Menurut Subhan, negara yang menjadi pemasok bahan baku untuk membuat bahan peledak di Indonesia, diketahui adalah negara tetangga, Malaysia. Negeri Jiran tersebut, diketahui memasok bahan baku secara ilegal ke Indonesia melalui wilayah perbatasan seperti di Tawau, Malaysia Timur yang berbatasan langsung dengan Kalimantan Utara dan Karimun di Kepulauan Riau.

“Pemerintah Indonesia juga harus bisa lebih aktif dalam memanfaatkan kerangka kerja sama CTI untuk mengatasi permasalahan pengelolaan terumbu karang di dalam negeri. CTI jangan menjadi beban Indonesia, tetapi bagaimana Indonesia dapat mengambil manfaat bagi kepentingan pengelolaan terumbu karang di Indonesia agar lebih baik,” tandas dia.

(baca : Menjaga Terumbu Karang Dunia dari Kepunahan)

Seperti diketahui, inisiatif CTI didirikan pada 2009 bersama negara-negara yang masuk dalam kelompok kawasan segitiga karang dunia. Negara tersebut adalah Indonesia, Malaysia, Filipina, Papua Nugini, Timor Leste, dan Kepulauan Solomon.

 

Terumbu karang di perairan Pulau Sangiang, Serang, Banten. Foto : tripgabungan.com

 

Terumbu Karang Raja Ampat

Selain CTI, DFW Indonesia juga menyoroti lambatnya perkembangan kasus penabrakan terumbu karang di Kabupaten Raja Ampat, Provinsi Papua Barat yang dilakukan kapal pesiar asal Inggris, MV Caledonian Sky. Sejak kejadian hingga sekarang yang sudah mencapai enam bulan, upaya penyelesaian dan ganti rugi belum menunjukan perkembangan nyata.

Moh Abdi Suhufan mengatakan agar kasus ini segera dapat diselesaikan dan tidak berlarut-larut, Pemerintah Indonesia harus bergerak lebih aktif dengan memberi tekanan kepada pemilik kapal atau negara asal kapal.

“Kementerian Koordinator Maritim yang sejak awal memimpin tim penyelesaian insiden ini, harus lebih pro aktif dan memberi batas waktu kepada pihak MV Caledonia Sky agar bisa menyelesaikan ganti rugi kepada pihak Indonesia dan masyarakat Raja Ampat,” jelas dia.

Seperti diketahu, Pemerintah Indonesia dan pihak kapal MV Caledonia Sky memilih penyelesaian sengketa di luar jalur pengadilan. Akan tetapi, dalam perjalanannya, kasus tersebut penyelesaiannya sangat lambat dan itu membuktikan bahwa Indonesia belum peduli atau tidak punya kekuatan terhadap pelanggaran lingkungan laut yang dilakukan oleh korporasi, apalagi itu korporasi asing.

(baca : Luas Terumbu Karang yang Rusak di Raja Ampat Ternyata 18.882 Meter Persegi)

Dari catatan DFW Indonesia, Pemerintah telah melakukan kajian terkait tiga aspek kerusakan dan restorasi yang kelak akan dilakukan. Ketiga hal tersebut adalah (i) mengenai tingkat kerusakan biota laut, (ii) kerugian berdasarkan ekonomi masyarakat dan pemerintah daerah, serta (iii) restorasi dan pemulihan atas tingkat kerusakan yang terjadi.

Dari segi kajian dan justifikasi, Abdi Suhufan menyebut, Pemerintah Indonesia diklaim sudah mempunyai bahan yang cukup dan tinggal melakukan proses negosiasi, diplomasi dan keberanian dengan menyampaikannya di forum penyelesaian ganti rugi.

“Kita memiliki pengalaman buruk penyelesaian sengketa pencemaran lingkungan dengan asing yaitu kasus Montara yang berlarut-larut, yang hingga saat ini tidak terselesaikan secara optimal,” ucap dia.

 

Kondisi terumbu karang di zona inti Raja Ampat, Papua Barat yang rusak karena kandasnya Kapal MV Caledonian Sky. Foto : Badan Keamanan Laut

 

Kasus Kapal Pesiar MV Caledonia Sky sendiri diketahui setidaknya melanggar dua UU Nasional, yaitu yakni UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup pasal 40 ayat (3) dan UU Nomor 31 Tahun 2004 jo.UU Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan pasal 7 ayat 2.

Lebih jauh Abdi Suhufan menambahkan, mengingat Selat Dampier merupakan Kawasan Konservasi Perairan Daerah yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan, secara yuridis itu melanggar Kepmen KP nomor 36/KEPMEN-KP/2014 tentang Penetapan Kawasan Konservasi Perairan Kepulauan Raja Ampat dan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 4 Tahun 2001 tentang Kriteria Baku Kerusakan Terumbu Karang.

“Berdasarkan hal ini, maka pemerintah Indonesia sebaiknya mempersiapkan diri menyelesaikan kasus ini di pengadilan,” tandas dia.

Seperti diketahui, insiden tabrak karang yang terjadi pada tanggal 6 Maret 2017 lalu telah menimbulkan kerusakan karang seluas 18.882 meter per segi. MV Caledonian Sky adalah kapal yang memiliki 90 meter dan mengangkut 102 penumpang dan 79 awak. Kapal dengan bobot 4.200 gros ton (GT) itu ditenggarai melakukan kecerobohan ketika melakukan pelayaran di Selat Dampier, Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat.

 

Evaluasi Kawasan Konservasi Laut

Peneliti DFW-Indonesia Muh Arifuddin, pada kesempatan terpisah mengatakan, kasus MV Caledonia Sky memberi pelajaran kepada Pemerintah Indonesia agar pengelolaan kawasan konservasi laut harus dilakukan lebih maksimal. Untuk mencapai tujuan itu, kata dia, instrumen pengawasan kawasan konservasi perlu ditingkatkan, termasuk tata kelola agar kejadian serupa tidak terjadi lagi.

“Dan (juga) nilai manfaat kawasan konservasi dapat dirasakan bersama oleh pemerintah dan masyarakat,” ungkap dia.

(baca : Coral Triangle Day, Momentum Perlindungan Laut di Kawasan Segitiga Karang)

Arif menjelaskan, kawasan konservasi laut yang dikelola daerah saat ini rerata belum efektif dengan tata kelola yang belum terbangun baik. Kendala tersebut, menjadi pekerjaan rumah bagi Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dan bagaimana agar keberadaan KKLD bisa menjadi lebih efektif dikelola.

“Termasuk bagaimana agar pendanaan kawasan konservasi dapat dipenuhi oleh pemerintah provinsi atau melalui sumber ain seperti pendapatan pungutan masuk,” tambah dia.

Untuk diketahui, hingga November 2016 Indonesia memiliki 17.3 juta ha kawasan konservasi yang ada dalam pengelolaan tiga instansi, yaitu KKP, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), dan Pemerintah Provinsi.

Untuk pedoman dan acuan pengelolaan kawasan konservasi, menurut Arif, itu masih mengacu pada dua UU yang berbeda, yaitu UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Ekosistem dan Sumber daya Hayati dan UU Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan.

Dengan adanya pengelolaan yang berbeda tersebut, kata Arif, itu memunculkan jarak pengelolaan dari segi kapasitas teknis, organisasi, sumberdaya manusia dan pendanaan. Kawasan konservasi laut yang dikelola oleh KLHK, kata dia, relatif lebih baik dari aspek tata kelola.

“Karena lebih berpengalaman dan didukung oleh SDM yang telah terlatih dan berpengalaman. Walaupun dari segi luasan kawasan, lebih sedikit dari yang dikelola KKP. Kawasan konservasi laut yang dikelola KLHK hanya 4.65 juta ha dari 17.3 juta hektare,” pungkas dia.

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,