Dullah, petani asal Desa Tegaldowo, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah. Dia bersama puluhan petani lain pertengahan minggu lalu mendatangi kantor Bupati Rembang.
Mereka protes. Kemarau tahun ini, Rembang kekeringan. Mereka khawatir kalau pertambangan karst Kawasan Cekungan Air Tanah (CAT) Watuputih, Pegunungan Kendeng, terus beroperasi.
“Rembang, akan total kekeringan karena satu satunya sumber mata air di Pegunungan Kendeng dirusak. Pemkab Rembang harus memikirkan itu,” katanya.
Data Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Rembang, 2017 ada 70 Desa berpotensi kekeringan. Pada 2015, ada sekitar 120 lebih desa alami kekeringan. Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo bahkan sudah menetapkan 22 kabupaten di Jateng, darurat kekeringan.
Menurut Dullah, jika Bupati Rembang peduli petani, wajib mengikuti hasil rekomendasi kajian lingkungan hidup strategis (KLHS) yang terbit oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan Kantor Staf Kepresidenan (KSP) pada April 2017. Ia menyebutkan, CAT Watuputih sebagai kawasan lindung hingga tak memungkinkan penambangan.
“Sumber air di Kendeng untuk kehidupan harian warga, ternak dan tani. Tambang harus dihentikan.”
Masalah di Pegunungan Kendeng, baru satu contoh keterancaman ruang hidup petani, maupun ruang hidup warga. Hal serupa juga terjadi di berbagai daerah.
Ivan Wagner dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Semarang mengatakan, saatnya pemerintah mewujudkan kedaulatan pangan petani sebagai bentuk kedaulatan negeri. Terlebih, petani di Jawa Tengah, merupakan salah satu lumbung pangan nasional.
Perkembangan situasi agraria di tanah air baik nasional maupun daerah banyak persoalan masalah sengketa tanah, katanya, jadi satu perhatian khusus bagi seluruh komponen, baik kalangan pemerintah, pegiat agraria dan masyarakat.
Konflik-konflik agraria, katanya, tak jarang berdampak pada tindak kekerasan terhadap petani hingga berujung pembunuhan. Catatan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), konflik yang bisa terekam dalam 10 tahun belakangan, 1.395 korban kriminalisasi, 85 orang meninggal dunia dalam memperjuangkan hak atas tanah dan kekayaan alam. Jumlah kasus 472 konflik agraria di seluruh Indonesia dengan luasan 2.860.977,07 hektar. “Konflik agraria telah melibatkan 105.887 keluarga.”
Era kepemimpinan Presiden Joko Widodo, kasus agraria mendapatkan perhatian khusus, tampak dari Kementerian Agraria dan ada khusus percepatan penyelesaian konflik agrarian. Ada hutan kelola rakyat 12,7 juta hektar sampai distribusi lahan 9 juta hektar.
Dalam perjalanan, proses redistribusi lahan konflik belum menampakkan hasil maksimal bahkan Jawa bukan prioritas obyek land reform 9 juta hektar.
Reforma Agraria yang di gembar-gemborkan sebagai upaya peningkatan ekonomi rakyat, hanya sertifikasi bukan redistribusi tanah bagi penggarap. Apalagi, skema perhutanan sosial di Perhutani, katanya, jelas-jelas bukan reforma agraria sejati.
Selain persoalan tanah, petani juga berhadapan pada sistem dominan brutal dan serakah. “Pertanian dan pangan kita dikuasai dan dikontrol oleh segelintir perusahaan trans nasional corporation,” katanya.
Kebijakan revolusi hijau pemerintah dan disponsori trans national coorporation telah menghancurkan kemampuan, ketrampilan dan kearifan lokal petani Indonesia.
Kebiasaan dan kebudayaan bikin benih, misal, dulu dimiliki petani perempuan telah hilang dan tergusur. Mereka harus bersaing dengan benih pabrikan produksi perusahaan–perusahaan besar semacam Monsanto, Zyngenta dan lain-lain.
Begitu juga pupuk dan pestisida tanaman, semua sudah lengkap dan mudah dibeli petani hingga menyebabkan ketergantungan luar biasa.
“Gamblang kita dapat melihat, negara justru hadir tak berpihak petani, lebih-lebih petani kecil.”
Peraturan-peraturan tampak lebih berpihak kepentingan pemodal. Regulasi pupuk, agraria, budidaya sampai regulasi hilir tentang impor pangan justru mengabdi pada kepentingan pemodal.
“Hari tani ini kami menuntut laksanakan reforma agraria sejati, hentikan kriminalisasi petani dan setop impor pangan,” ucap Ivan.
Heronimus dari Koalisi Peduli Petani Yogyakarta mengatakan, paket ekonomi keluar 18 Agustus 2016, antara lain deregulasi demi kemudahan investasi mengabaikan sistem sosial, kultural, dan kedaulatan petani atas tanah serta efek ekologis bagi kelangsungan hidup manusia.
Alih-alih melindungi petani Indonesia, katanya, kebijakan presiden justru merampas ruang hidup, kriminalisasi petani dan pejuang lingkungan serta merusak ekosistem.
Selama 2016, saja sudah 134 petani dikriminalisasi, belum termasuk 2017, antara lain petani di Tulang Bawang (Lampung), Langkat (Sumatera Utara), Sukamulya (Jawa Barat), petani di Surokonto Wetan dan Joko Prianto (Rembang). Juga masyarakat adat Talonang (NTB), masyarakat adat di Halmahera, masyarakat adat Lembah Klaso Papua Barat, Amisandi dan belasan warga Seko (Sulawesi Selatan), Trisno di(Kalimantan Selatan), Budi Pego dan tiga warga Sumberagung (Banyuwangi).
“Kriminalisasi terus meningkat. Negeri ini benar-benar darurat agraria,” kata Heron.
Tak hanya kriminalisasi petani, rencana proyek PLTPB Gunung Slamet, eksploitasi pegunungan Kendeng, pembangunan di lindung geologi di Pegunungan Seribu juga menambah konflik agraria dan penghancuran nasib petani di Indonesia.
Di Jogja pembangunan bandara baru di Kulon Progo luas pengembangan 5,84 kilometer persegi dengan kawasan terbangun 2,51 kilometer persegi dan kawasan tak terbangun 2,51 kilometer persegi dengan konsep airportcity.
Rencana pembangunan ini bukan hanya menerobos peraturan juga mengabaikan bahaya tsunami dan sosio ekonomis masyarakat di wilayah itu.
Dihubungi terpisah Sekretaris Jenderal KPA Dewi Kartika mengatakan, ketimpangan struktur penguasaan dan konflik agraria masih terjadi. Monopoli kekayaan agraria di hampir semua sektor kehidupan rakyat. Dari daratan Indonesia, 71% dikuasai korporasi kehutanan, 16% perkebunan skala besar, 7% para konglomerat. Rakyat kecil, menguasai sisanya saja.
“Satu persen orang terkaya di Indonesia menguasai 50,3 % kekayaan nasional.”
Politik kebijakan agraria nasional, katanya, makin tak bersahabat dengan petani karena tanah dan kekayaan agraria telah berrubah fungsi jadi obyek investasi dan bisnis pemerintah yang berkuasa.
Tercatat, rata-rata pemilikan tanah petani di pedesaan kurang 0,5 dan tak bertanah. Per Maret 20017, data BPS 2017 menyebutkan, 17,10 juta penduduk miskin hidup di pedesaan. Situasi ini, katanya, berkontribusi besar angka pengangguran dan buruh murah di perkotaan akibat arus urbanisasi terus membesar.
“Memasuki tiga tahun pemerintahannya, Jokowi-JK belum benar-benar melaksanakan reforma agraria sejati. Indikasinya, Perpres Reforma Agraria masih belum ditandatangani,” kata Dewi.
Hal lain, katanya, pengelolaan buruk kawasan hutan oleh pemerintah berpotensi meneruskan konflik dan tumpang tindih klaim antara rakyat dengan pemerintah maupun korporasi swasta. Situasi ini, katanya, ditambah keengganan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menerapkan skema reforma agraria di Jawa, Bali dan Lampung, dengan alasan tiga wilayah ini sudah kurang dari batas minimum 30% kawasan hutan.
Kebijakan ini, dia nilai berstandar ganda mengingat banyak izin-izin tambang, konsesi perkebunan keluar dan tanah-tanah terlantar Perhutani malah dipertahankan.
Tercatat redistribusi tanah dari HGU habis, tanah terlantar, dan tanah negara lain sejak 2015 hanya 182.750 hektar. Redistribusi melalui transmigrasi sejak 2015 tercatat hanya 32.146 hektar. Redistribusi melalu pelepasan kawasan hutan masih tersendat sejauh ini. Justru legalisasi aset melalui proses sertifikasi, kata Dewi, menunjukkan kemajuan siginifikan seluas 609.349 hektar hingga 2015 tanpa melihat sisi penguasaan tanah terlebih dahulu.
“Kebijakan ini justru melegitimasi ketimpangan penguasaan tanah. Di tengah mandeknya pelaksanaan reforma agraria.”
Tahun ketiga kepemimpinan Jokowi, perampasan dan kriminalisasi petani justru marak. Tahun 2015-2016, terjadi 702 konflik agraria di lahan 1.665.457 hektar dan mengorbankan 195.459 keluarga petani.
Dalam satu hari terjadi satu konflik agraria di tanah air. Dalam rentang waktu itu sedikitnya 455 petani dikriminalisasi/ditahan, 229 petani mengalami kekerasan maupun ditembak, dan 18 orang tewas.
Tak hanya itu, perempuan jadi salah satu pihak paling dirugikan dari fenomena perampasan lahan dan konflik agraria ini. Laporan Solidaritas Perempuan 2017 menunjukkan, rumah tangga miskin dengan keluarga perempuan mengalami kenaikan 16,12% dari 14,9% pada 2014.
Kehilangan tanah sebagai sumber kehidupan untuk pemenuhan kebutuhan dasar rumah tangga maupun ekonomi keluarga berdampak kepada meningkatnya beban perempuan dalam memastikan penyediaan pangan keluarga.
Situasi ini, katanya, berdampak buruk kepada masyarakat di pesisir dan pulau-pulau kecil. Mereka tak jadi subjek pembangunan berkeadilan, malah korban kebijakan. “Reklamasi, pertambangan, konservasi, dan pariwisata pesisir berubah menjadi mimpi buruk bagi masyarakat di pesisir dan pulau-pulau kecil,” katanya.
Berdasarkan Pusat Data dan Informasi Kiara 2016, mencatat lebih 107.000 keluarga nelayan merasakan dampak buruk 16 proyek reklamasi tersebar di berbagai daerah.
Tahun sama, pertambangan di pesisir dan pulau-pulau kecil di 20 wilayah tanah air berkontribusi menghilangkan penghidupan masyarakat dan menghancurkan ekologi pesisir. “Kami aliansi di Hari Tani Nasional 2017 menyatakan, Indonesia berada dalam kondisi darurat agraria,” kata Dewi.