Lawe Cimanok, Desa yang Tegas Menolak Tambang dan Perkebunan Sawit

 

 

Lawe Cimanok adalah desa yang berada di Kecamatan Kluet Timur, Kabupaten Aceh Selatan, Aceh. Desa ini dan beberapa desa lainnya, pada 2003, pernah dihantam banjir bandang akibat hutan Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) yang merupakan pelindung kehidupan mereka, dibabat perusahaan HPH bernama PT. Medan Remaja Timber.

Tidak ingin bencana itu terulang kembali, masyarakat Lawe Cimanok sepakat menolak hadirnya perusahaan pertambangan maupun perkebunan sawit di wilayah mereka. Siapa saja yang masuk atasa nama tambang dan sawit, pastinya akan diminta angkat kaki dari desa yang merupakan pemekaran Desa Lawe Sawah (2013) ini.

PT. Medan Remaja Timber (PT. MRT) telah membabat hutan di Kecamatan Kluet Timur dan beberapa kecamatan lainnya di Kabupaten Aceh Selatan sejak 1992,” terang Kepala Desa Lawe Cimanok, Muhammad Haria, kepada Mongabay Indonesia di kantornya beberapa waktu lalu.

 

Baca: Hamdani, Penemu Teknik Sambung Pala Hutan Asal Aceh Selatan

 

Haria mengatakan, penebangan kayu yang dilakukan perusahaan tersebut tidak hanya mengancam kehidupan dan lingkungan mereka. Tetapi juga, memancing masyarakat untuk ikut melakukan penebangan liar. “Melihat perusahaan mengambil kayu, masyarakat juga ikut menebang. Bahkan ada yang membuka kebun di areal hutan, yang sebenarnya berfungsi sebagai sumber air bersih.”

Akibat hutan rusak, debit air di anak sungai yang bermuara ke Sungai Manggamat berkurang. Bahkan, saat kemarau datang, air sulit didapat sedangkan ketika penghujan tiba, bajir menghantam. Padahal, lawe (sungai) Teuneubok dan Lawe Rambong merupakan sumber air untuk masyarakat Lawe Cimanok dan Lawe Sawah.

 

Muhammad Haria (baju biru), Kepala Desa Lawe Cimanok, dan Kamarul Hasbi, Kepala Urusan Pembangunan, bersama masyarakat akan terus berupaya menolak kehadiran perusahan tambang dan sawit di wilayah mereka. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Belum lagi, tambah Haria, sebagian besar masyarakat Lawe Cimanok, yang jumlahnya mencapai 1.332 jiwa atau 394 kepala keluarga, menggantungkan hidup dari lahan pertanian dan perkebunan. Kekeringan dan banjir sangat berdampak pada perekonomian mereka.

“Pada 1999, PT. MRT berhenti beroperasi di Kecamatan Kluet Timur dan Selatan. Ini terjadi akibat unjuk rasa masyarakat yang terus-menerus menolak kehadiran mereka. Masyarakat juga membongkar pondok-pondak pekerja perusahaan tersebut,” terangnya.

Bagaimana dengan kebun-kebun yang berada di hutan? Haria mengatakan, masyarakat secara swadaya kembali menghijaukan daerah yang berada di Alur Pinem itu, yang luasnya sekitar 60 hektare. “Di sana ada tempat penampungan air yang dialirkan ke permukiman penduduk. Kami terus menjaga daerah tersebut agar tidak rusak lagi,” ujarnya Haria yang menjabat Kepa Desa Lawe Cimanok sejak 2013.

 

Sejumlah kegiatan telah dilakukan masyarakat dalam upaya menjaga sekaligus melindungi lingkungan Lawe Cimanok beserta sumber alamnya. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Tantangan

Meski PT. MRT sudah tidak ada lagi, sesungguhnya perusahaan tambang dan sawit yang mengincar hutan Leuser, masih berdatangan. Pada 2014 lalu, ada perusahaan batubara yang berencana membuka tambang di atas Desa Lawe Cimanok. Izin coba mereka dapatkan mulai dari kepala desa hingga Bupati Aceh Selatan.

“Kami yang di Lawe Cimanok sudah pasti menolak. Saya sempat ditawari mobil untuk memuluskan rencana itu, yang secara tegas saya tolak. Saya bahkan menemui Bupati Aceh Selatan, menyatakan sikap tegas masyarakat, yang tidak ingin ada tambang di Lawe Cimanok,” terang Haria.

Haria mengaku, butuh waktu dan kesabaran untuk menyampaikan alasan kepada warga mengapa perangkat desa menolak pertambangan dan perkebunan sawit beroperasi di Lawe Cimanok. Awalnya, memang tidak semua masyarakat menerima keputusan tersebut. Namun, setelah dijelaskan secara baik dan benar, masyarakat memahami dan ikut mendukung alasan tersebut.

Misalnya, akibat beroperasinya tambang emas di Kecamatan Manggamat, Lawe Cimanok turut merasakan dampaknya. Sungai Mangamat yang meluap membuat kebunan masyarakat terendam. “Apalagi kalau tambang atau kebun itu dibuka di atas perbukitan Lawe Cimanok, dampaknya akan lebih besar,” tegasnya.

 

Baca juga: Foto: Pesona Alam Mengagumkan Aceh Selatan

 

Kepala Urusan Pembangunan Desa Lawe Cimanok, Kamarul Hasbi mengatakan, untuk urusan perekonomian masyarakat, sebenarnya tidak harus mengandalkan pertambangan atau perkebunan sawit. Desa Lawe Cimanok yang terletak dipinggir hutan Kawasan Ekosistem Leuser, memiliki banyak hasil hutan non-kayu yang bisa dimanfaatkan.

“Misalnya rotan, damar, tumbuhan obat, dan ekowisata. Tinggal bagaimana memaksimalkan hasil hutan ini untuk kesejahteraan bersama,” ujarnya.

 

Aceh Selatan yang wilayahnya berbatasan langsung dengan laut. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Hasbi menuturkan, saat ini perangkat Desa Lawe Cimanok sedang berpikir bagaimana menanam kembali wilayah hutan yang telanjur dibuka masyarakat agar hijau kembali. Minimal, masyarakat dapat menanam tanaman hutan yang tidak mengganggu sumber air seperti pala dan kemiri.

“Kami tengah mencari cara bagaimana rotan yang dijual masyarakat itu tidak hanya sebagai bahan baku. Tapi, sudah dalam bentuk produk bernilai jual, terutama untuk peralatan rumah tangga. Dengan begitu, pendapatan masyarakat meningkat,” ujarnya.

Fakhrurradhi, perwakilan USAID Lestari di Kabupaten Aceh Selatan, mengatakan dari semua desa di Kabupaten Aceh Selatan, hanya Lawe Cimanok yang telah memasukkan kegiatan lingkungannya dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Desa. Pembuatan RPJM Desa tersebut difalitasi USAID Lestari.

“Beberapa kegiatan yang terkait lingkungan dalam RPJM Desa Lawe Cimanok adalah penghijauan sumber air beserta penanaman kembali hutan yang telah rusak dengan tanaman hutan seperti jengkol, durian, dan kemiri. Juga, pembuatan aturan desa mengenai sumber-sumber air bersih yang harus dijaga dan kehidupan satwa langka yang mesti dilindungi,” tandasnya.

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , ,