SKPT Sumba Timur, Pusat Ekonomi Baru di Kawasan Terluar NTT

 

 

Pemerintah Indonesia akan fokus mengembangkan komoditas rumput laut saat sentra kelautan dan perikanan terpadu (SKPT) Sumba Timur beroperasi. SKPT yang berlokasi di Provinsi Nusa Tenggara Timur itu kini mulai bersiap memasuki tahap pembangunan fisik dan pengerjaan fasilitas pendukungnya.

Direktur Jenderal Perikanan Budidaya Kementerian Kelautan dan Perikanan Slamet Soebjakto pekan lalu mengatakan, sebelum dilaksanakan pembangunan, pihaknya lebih dulu melaksanakan sosialisasi kepada para pemangku jabatan yang terlibat dalam proyek tersebut.

“Seperti pembudidaya ikan dan nelayan yang menjadi sasaran program, mereka kita berikan sosialisasi dulu,” ucap dia.

Dengan dilakukan sosialisasi lebih dulu, Slamet optimis, dampak positif akan dirasakan oleh warga Kabupaten Sumba Timur setelah pembangunan SKPT dilaksanakan. Apalagi, Sumba Timur berlokasi di kawasan terluar Indonesia dan diharapkan itu menjadi cikal bakal pertumbuhan ekonomi di kawasan tersebut.

Pemilihan Sumba Timur sebagai salah satu lokasi SKPT, menurut Slamet, tak bisa dilepaskan dari visi Pemerintah Indonesia yang ingin membangun Nusantara dari kawasan pinggiran, yaitu pulau-pulau kecil dan kawasan perbatasan. Visi tersebut, kata dia, kemudian dielaborasikan melalui Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 51 Tahun 2016 tentang Penetapan Lokasi SKPT.

“Selain itu, pembangunan SKPT yang menjadi prioritas KKP, memiliki dua nilai penting, yaitu sebagai penghela bagi pertumbuhan ekonomi di kawasan terluar, dan secara geopolitik diharapkan akan memperkuat kedaulatan NKRI,” ungkap dia.

 

Dirjen Perikanan Budidaya KKP Slamet Soebjakto (tiga dari kiri) menunjukkan panen hasil rumput laut di Sumba Timur, NTT, pada pekan lalu. Foto : Ditjen Perikanan Budidaya KKP

 

Peranan Penting

Sebagai kawasan terluar Indonesia, Slamet mengungkapkan, Sumba Timur memegang peranan penting bagi kawasan di sekitarnya. Tak hanya sebagai kawasan pusat pertumbuhan ekonomi, status kawasan terluar bisa menjadikan Sumba Timur sebagai pusat geopolitik.

Dengan program ini, Slamet berharap, aksesibilitas dan konektivitas dalam pemanfaatan sumber daya kelautan dan perikanan bisa lebih ditingkatkan lagi. Harapan itu muncul, karena SKPT dibangun sebagai pusat pemberdayaan dan optimalisasi usaha pembudidayaan ikan, penangkapan ikan, usaha tambak garam, serta pengolahan dan pemasaran hasil perikanan.

“Dengan demikian pelaku utama dan pelaku usaha kelautan dan perikanan akan mendapatkan keuntungan ekonomi yang tinggi. Pada gilirannya akan meningkatkan kesejahteraan pelaku utama dan pelaku usaha kelautan dan perikanan dan tegaknya kedaulatan negara khususnya di pulau-pulau kecil dan kawasan perbatasan,” jelas dia.

Wakil Bupati Sumba Timur, Umbu Lili Pekuwali mengatakan, pembangunan SKPT di wilayahnya diharapkan bisa membawa dampak positif untuk masyarakat di sekitarnya. Program yang menjadi amanat dari visi Presiden RI Joko Widodo itu, bagi dia, merupakan program yang bagus dan bermanfaat banyak.

Untuk itu, Umbu menyebut, pihaknya akan membangun infrastruktur yang dibutuhkan seperti jalan, jaringan listrik, gudang dan kelembagaan koperasi. Segala fasilitas infrastruktur pendukung tersebut, diyakini bisa memberi sumbangsih untuk pembangunan SKPT.

“Kita sedang membangun infrastruktur seperti pembukaan dan peningkatan akses jalan ke lokasi sentra budidaya rumput laut, pemasangan jaringan listrik baru menuju lokasi Balai Benih Ikan (BBI) dan gudang rumput laut,” tutur dia.

Dengan dukungan fasilitas tersebut, Umbu berharap, seluruh proses kegiatan usaha di SKPT dapat berjalan lancar mulai dari proses produksi hingga pendistribusisan hasilnya. Selain itu juga, kapasitas koperasi pembudidaya dan nelayan diharapkan bisa juga ditingkatkan.

 

Seorang pembudidaya rumput laut sedang memanen hasil rumput laut dari pesisir laut Sumba Timur, NTT, pada pekan lalu. Foto : Ditjen Perikanan Budidaya KKP

 

Tata Niaga Rumput Laut

Sebagai salah satu daerah sentra produksi komoditas rumput laut di Indonesia, SKPT di Kabupaten Sumba Timur dipastikan juga akan mendorong optimalisasi komoditas tersebut sebaik mungkin. Komoditas tersebut, diakui Umbu Lili Pekuwali, hingga saat ini masih menjadi komoditas andalan di kabupaten tersebut dan menjadi penopang ekonomi masyarakatnya.

Akan tetapi, menurut dia, walau menjadi andalan masyarakat, pemanfaatan rumput laut sebagai usaha perekonomian, hingga saat ini masih sangat rendah. Dari total potensi lahan budidaya seluas 5.944,34 hektare, lahan yang sudah dimanfaatkan luasnya baru 352,9 ha atau baru 5,94 persen dari total lahan berpotensi.

“Dengan produksi pada tahun 2016 baru mencapai 26.408 ton rumput laut basah atau 3.301 ton rumput laut kering,” ungkap dia.

Berkaitan dengan potensi tersebut, Slamet Soebjakto mengatakan, pihaknya akan mendorong pemanfaatan lebih jauh lagi melalui SKPT yang sedang dibangun. Jika sudah selesai dibangun, dia berharap potensi lahan seluas 4.755,47 ha atau 80 persen dari potensi yang ada bisa dioptimalkan.

“Dengan demikian, produksi rumput laut basah diharapkan bisa mencapai 570.656 ton per tahun atau 57.066 ton rumput laut kering. Selain itu, dengan kehadiran SKPT dan potensi rumput laut yang ada, diharapkan itu bisa menyerap tenaga kerja hingga 71.598 orang,” papar dia.

Slamet mengungkapkan, dengan potensi yang besar, produksi rumput laut dari Sumba Timur diyakini bisa terus meningkat dari tahun ke tahun. Apalagi, kata dia, jika proses produksi menggunakan bibit unggul hasil teknologi kultur jaringan, dipastikan produksi bisa bertambah lebih banyak lagi.

“Setidaknya nilai ekonomi yang dapat diraup dari komoditas ini saja bisa mencapai 570,656 miliar rupiah per tahun. Saya rasa ini menjadi fokus kita dalam pembangunan SKPT ini,” sebut dia.

Agar potensi yang besar tersebut bisa dioptimalkan, menurut Slamet, tata niaga rumput laut juga perlu diperbaiki segera. Mengingat, saat ini permasalahan tata niaga rumput laut menjadi sangat krusial, karena menjadi penyebab utama minimnya posisi tawar produk dan pada akhirnya nilai tambah yang diterima pembudidaya menjadi sangat minim.

Untuk memperbaiki tata niaga rumput laut, Slamet menyebut, langkah awal yang akan dilakukan adalah memotong mata rantai pasar, dengan memfasilitasi kemitraan antara kelompok pembudidaya/koperasi rumput laut dengan industri. Disamping itu, diversifikasi produk dari material mentah ke produk setengah jadi akan dilakukan untuk meningkatkan nilai ekonomi rumput laut di tingkat masyarakat.

 

Dirjen Perikanan Budidaya KKP Slamet Soebjakto (kiri) melihat tempat pengolahana di Sumba Timur, NTT, pada pekan lalu. Foto : Ditjen Perikanan Budidaya KKP

 

Rumput Laut untuk Berkelanjutan

Meski rumput laut memiliki potensi ekonomi yang sangat besar dan menjadi komoditas unggulan hingga saat ini, Slamet Soebjakto tetap mengedepankan sisi berkelanjutan dalam mengembangkan budidaya rumput laut. Hal itu, agar budidaya bisa berjalan beriringan dengan upaya konservasi di laut yang sedang dilaksanakan oleh Pemerintah.

Agar bisa tetap melaksanakan secara berkelanjutan, Slamet mengungkap langkah dan tips yang bisa dilakukan oleh pembudidaya. Pertama, adalah menggunakan bibit dari tallus yang terbaik. Kemudian, yang kedua, disiplin panen pada usia 40-45 hari. Dan ketiga, tidak menggunakan pupuk/probiotik/bahan pemacu pertumbuhan.

“Keempat, mengupayakan mencari kawasan budidaya yang baru untuk rotasi penanaman. Kelima, harus menjaga lingkungan pantai dari sampah seperti plastik, pencemaran, dan lain-lain. Keenam, tidak menjemur rumput laut di pasir dan dijaga dari bahan-bahan yang menempel lainnya dan yang terakhir,” ucap dia.

Selain enam langkah di atas, Slamet menyebut ada langkah ketujuh yang juga harus dilaksanakan, yakni segera menutup rumput laut yang sedang dijemur dengan plastik atau terpal jika turun hujan. Dengan menerapkan jurus ini, dia yakin budidaya rumput laut akan berhasil dan berlanjut untuk mendukung peningkatan produksi dan kualitasnya.

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,