Bagaimana Nasib Hewan yang Terdampak Awas Gunung Agung?

 

 

Gunung Agung, gunung tertinggi di Bali ini disebut masih menjadi habitat sejumlah satwa. Misalnya kijang, ayam hutan, landak, ular, dan terbanyak koloni monyet ekor panjang.

Kebakaran beberapa hari ketika aktivitas vulkanik gunung api ini meningkat membuat sejumlah satwa liar berpindah ke tempat lebih aman. Demikian pemantauan petugas kehutanan yang bertugas memadamkan api kebakaran lahan di lereng Gunung Agung selama beberapa hari sebelum status Awas (level IV, tertinggi) diumumkan 22 September lalu.

Kepala UPT Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Bali Timur, Abdul Muthalib yang mengaku ikut memadamkan api mengatakan para binatang berpindah ke lokasi lebih aman. Termasuk saat kebakaran selain kemungkinan erupsi nanti.

Ia sendiri mengaku memadamkan api dengan cara manual karena keterbatasan alat dan air. “Bawa sekop, timbun dengan tanah. Kadang pakai ranting. Bawa diri saja susah,” katanya kepada Mongabay.

(baca : Sistem Peringatan Dini Siaga Bencana Gunung Agung Belum Bagus. Kenapa?)

Menurutnya hingga kini belum ada tanda-tanda amukan binatang atau merusak pemukiman. “Mereka cenderung takut manusia. Mereka akan survive, saya belum pernah lihat binatang kehausan dalam hutan,” tambah Abdul. Dengan nalurinya, mereka akan mencari sumber air, misal pindah ke kawasan area tutupan rapat seperti Kecamatan Rendang.

Abdul menyebut luas hutan di kawasan Gunung Agung, Kabupaten Karangsem sedikitnya 12.800 hektar. Sebagian besar hutan lindung, sisanya hutan produksi terbatas.

 

Cerita pilu lain dari pengungsian Gunung Agung, Bali, adalah kerugian warga akibat sapi harus dijual murah atau ditinggalkan di rumah dengan risiko harus ditengok, balik ke zona rawan bencana. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Nah bagaimana dengan hewan ternak atau peliharaan? Sampai 25 September sore, lebih dari 57 ribu orang sudah mengungsi meninggalkan rumah dan desanya. Mereka yang berada dalam kawasan rawan bencana sudah dievakuasi ke tempat lebih aman. Ada yang memilih mandiri ke rumah kerabat dan tinggal di pos-pos pengungsian.

Sebuah kolaborasi sejumlah lembaga pada 24 September memberi informasi akan membantu evakuasi binatang terutama yang ditinggalkan mengungsi. Isinya seperti ini :“Tim gabungan relawan satwa dari Jakarta Animal Aid Network (JAAN), Centre for Orangutan Protection (COP), BARC dan Animals Indonesia sudah ada di lokasi terdampak Gunung Agung untuk membantu warga mengevakuasi hewan ternak serta satwa domestik mereka. Kami ada camp di Banjar Tabola, Sideman (pabrik keramik). Kami ingin berkordinasi dan melaporkan diri tentang aktivitas tim kami. Saat ini kami siap menampung hewan ternak dan domestik milik warga yang ditinggalkan untuk mengungsi. Lahan yg ada saat ini adalah 3 hektar, kesediaan pakan mencukupi, baik pakan olahan maupun alami. Kami sudah menampung beberapa hewan yang dititipkan langsung oleh pemiliknya (sapi, babi, ayam, anjing dan kucing) dan kami juga menyusuri jalan-jalan untuk melakukan feeding. Mohon arahan dan kerjasama dari semua pihak terkait.”

Suwarno dari Animals Indonesia yang bisa dikonfirmasi mengatakan pihaknya baru akan bergerak. Kendalanya saat ini hewan peliharaan banyak di zona merah atau kawasan rawan bencana. Ia masih harus berhati-hati. “Kami melihat situasi, relawan bekerja sambil jalan,” katanya.

Soal shelter atau lahan penampungan masih disiapkan. Menurutnya yang banyak ditinggalkan mengungsi oleh pemiliknya adalah anjing, ayam, dan burung. “Hampir semua punya ayam,” kata Suwarno. Ia belum memberikan jadwal evakuasi sehingga belum bisa diceritakan bagaimana tim gabungan ini bekerja.

Binatang peliharaan terutama ternak sapi dan ayam jago adalah pemandangan lumrah dalam rombongan pengungsian. Tak sedikit yang menjual murah sapinya sebelum ditinggalkan. Bahkan transaksi jual beli juga dilakukan di pos pengungsian.

(baca : Gunung Agung Status Awas, Radius Evakuasi Jadi 9-12 km)

Seperti nampak di pos UPT Pertanian Rendang. Sekelompok pria menjemput ayam-ayam jagonya di rumah setelah sampai di pengungsian. Kemudian menjual ayam-ayam yang biasanya diadu ini ke warga desa tetangga yang tertarik. Harganya sekitar Rp400-500 ribu per ekor dari yang biasanya sampai Rp1 juta per ekor.

Wayan Sudarma, salah satu pengungsi menonton transaksi ini. Ia mengaku meninggalkan 2 ekor sapi, beberapa ayam dan burung di rumahnya. “Nengok rumah ngasi makan. Nanti kalau (semua hewan peliharaan) kena letusan anggap kalah judi,” ia tersenyum.

Hingga kini makin banyak informasi warga yang membuka jasa penitipan ternak gratis, terutama sapi di desa-desa luar Karangasem. Bentuk solidaritas untuk mengurangi beban dan kerugian pengungsi. Salah satunya dari Dwitra Ariana di Kabupaten Bangli. Ia menerima donasi pembuatan kandang sapi untuk titipan ternak pengungsi ini.

 

Macaca atau monyet ekor panjang adalah satwa liar terbanyak di pegunungan dan sekitar hutan Gunung Agung. Ke mana penghuni ini akan migrasi? Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Monyet ekor panjang

Salah satu hewan liar yang terlihat banyak di pegunungan Karangasem adalah monyet ekor panjang. Di Bali dikenal dengan nama bojog. Statusnya tidak dilindungi, namun habitatnya menjadi sejumlah objek wisata terkenal. Misalnya Uluwatu, Sangeh, Alas Kedaton, dan Monkey Forest.

Desa Padangtegal, Ubud, mengelola Monkey Forest hingga mampu menjadi sumber penghasilan utama desa. Para macaca tinggal di lahan 12 hektar pusat keramaian salah satu desa turis terkenal di dunia. Mereka membuat Padangtegal kaya. Hutan monyet ini juga jadi sumber ‘oksigen’ di tengah makin macetnya Ubud.

Kolaborasi hutan-monyet ini juga mendorong pengelolaan sampah organik sekitar desa untuk dijadikan kompos. Pupuk yang menyuburkan hutan monyet.

Sejak 2013, mereka mulai merintis produksi kompos skala rumah tangga. Pengurus desa meminta tiap warga memilah sampah rumah, lalu mengolah menjadi kompos padat maupun cair. Walau tak berjalan mulus. Tak banyak yang mau membuat kompos walau desa sudah memberikan tiga tempat sampah gratis: khusus organik, kering dan basah serta anorganik.

Untungnya,  di Gianyar ada tempat pembuangan akhir (TPA) Temesi yang mengelola sampah dengan composting. Setelah diangkut lebih dari 600 rumah dan hampir 300 restoran, hotel, café, dan usaha lain di desa, empat truk sampah membuang ke TPA Temesi. Karena sudah terpilah di truk antara organik dan anorganik, Temesi barter dengan kantong-kantong kompos tiap hari.

I Nyoman Buana, Manajer Badan Pengelola Mandala Suci Wanara Wana Monkey Forest menyebut sejumlah ide seperti program adopsi pohon dan hutan tanaman langka serta kebutuhan upacara. “Kalau ada wisatawan datang bisa beli bibit dan menanam sendiri,” katanya. Pihaknya juga ingin kembangkan hutan tanaman langka dan tanaman yadnya (ritual).

Upaya menjaga hutan dan satwa lestari itu kombinasi keyakinan dan lingkungan. Dia tidak pernah mendengar ada yang mengganggu monyet. Di tempat lain mungkin  diburu atau ditembak.

Buana menyebut, pada awalnya ada sekitar 40an ekor, sekarang menjadi 600an. Hutan dan habitat monyet sudah ada sebelum Desa Padangtegal ada. Sekitar 1.000-3.000 wisatawan rutin berkunjung tiap hari, dengan bayar tiket masuk Rp20.000-30.000 per orang. Retribusi ini menjadikan Padangtegal salah satu desa terkaya di Bali.

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,