Bukan Hanya Cerita, Penderita Penyakit Minamata Sudah Ada di Indonesia (Dilengkapi Video)

Emas, kata ini seolah menggambarkan keuntungan dan keberuntungan yang akan didapat oleh penggalinya. Namun tanpa sadar, pertambangan emas telah membawa kerusakan baik untuk lingkungan maupun kesehatan penambang. Tanpa sadar, pertambangan emas menjadi awal mula dari sebuah bencana.

Merkuri (raksa, Hg), adalah logam berat yang umum digunakan untuk pemurnian emas. Masalahnya, banyak penambang yang tidak tahu atau mengabaikan bahaya merkuri. Logam cair ini diperlakukan hanya sebagai unsur logam biasa. Akibatnya fatal. Ketika merkuri sudah terserap kedalam tubuh, efeknya bisa menjadi turun-temurun.

Sesungguhnya tragedi Minamata, Jepang membuka mata dunia tentang bahaya pencemaran merkuri ke lingkungan. Dampak buruk cemaran merkuri masih mengintai sejauh ini. Bukan lagi hanya cerita, namun ancaman penyakit akibat dampak merkuri (minamata) pun telah mengintai wilayah-wilayah di Indonesia.

Baca juga: Akhirnya, Indonesia Ratifikasi Konvensi Minamata

Dentang jarum jam di rumah Juhanda (32) nyaris tak terdengar. Hanya deru mesin gelundungan (penghancur mineral) terdengar dari rumah tetangga. Mesin tu berputar hampir 24 jam. Putarannya seolah menunjukkan laju roda kehidupan masyarakat Desa Cisitu, Kecamatan Cibeber, Kabupaten Lebak, Banten.

Bagi sebagian masyarakat setempat, menambang sudah jadi mata pencaharian. Setidaknya, dalam 10 tahun terakhir ini, pekerjaan rawan resiko ini diminati oleh masyarakat. “Ngelubang” atau masuk lubang untuk mencari emas, dianggap sebagai pekerjaan bagi kaum lelaki di desa ini.

Padahal sebelumnya, desa indah dengan punggung-punggung pegunungan, berpopulasi penduduk 7.841 jiwa ini, mayoritas adalah pekerja tani, yang akrab dengan sawah, huma dan cangkul. Desa ini berbatasan dengan kawasan Taman Nasional Halimun Salak (TNHS).

Empat tahun sudah, Juhanda tidak mampu lagi beraktifitas kerja fisik. Dia hanya bisa berada di rumah. Dia didera penyakit kepala yang berkepanjangan. Seluruh tubuhnya kehilangan daya. Tangan dan kakinya kaku serta sulit berjalan. Berbicara pun kurang fasih mengeja kata.

“Setelah sakit parah waktu itu, kondisi saya (sekarang) seperti ini. Tidak banyak yang dapat dilakukan,” Kata Juhanda terbata–bata saat ditemui Mongabay Indonesia (12/09).

Entah, begitu kata dia. Juhanda mengaku kurang paham apa penyakitnya. Sepengetahuannya, dia tidak memiliki riwayat sakit. Semua berjalan normal, bekerja seperti biasa.

Keterbatasan biaya memaksa dia mengubur rasa penasarannya menyoal penyakit yang diderita. Terlebih akses dan jarak lumayan jauh baginya untuk menjangkau rumah sakit, yang berjarak sekitar 30 km dari desanya.

Ditengah keterbatasan, Juhanda masih mengerahkan sisa tenaga untuk bekerja. Dia mengerjakan apapun semampunya. “Tidak banyak, cuma membuat sapu. Bila ada pesenan, akan saya buatkan. Lumayan untuk makan dan beli obat warung,” ucapnya.

Baca juga: Pemerintah Targetkan Penambang Emas Kecil Bebas Merkuri 2018, Mungkinkah?

Di rumah ukuran 4 x 4 meter, Juhanda ditemani Ibunya, Utaminah (70). Dari 7 anak Utaminah, hanya Juhanda yang sakit parah. Kadang, untuk makan dan mandi pun memerlukan bantuan ibunya. Malangnya, semenjak sakit, istrinya malah pergi meninggalkan dirinya.

Nasib serupa juga dialami Ocih (65) warga sekitar. Hampir 10 tahun, dia menderita penyakit parkinson atau degenerasi sel saraf pada otak bagian tengah.

Wanita berusia lanjut itu, sepanjang hari mengalami tremor atau gemetaran pada tubuh rentanya. Tak ada kata keluar dari mulutnya. Hanya sesekali tersenyum simpul menahan pegal.

Keadaannya terus melemah. Bahkan untuk makan, mandi dan tidur pun sudah tidak mampu dikerjakan sendiri. Beruntung, anak bungsunya setia melayani.

“Gejala awalnya saya tidak tahu. Sebelum itu ibu masih bisa jalan. Namun, setahun ini sudah tidak bisa apa–apa,” jelas Selvi Oktaviani (19), anak bungsu Ocih.

Di RT 2 RW 2, Camelia Karisa anak berusia 7 tahun juga mengalami ganguan kesehatan. Bocah itu mengidap keterbelakangan mental. Menurut Nur Aini (27) ibunya, saat dilahirkan Camelia sehat seperti bayi normal umumnya. Perkembangan dan pertumbuhannya terbilang baik.

Namun, buah hatinya mendadak kejang–kejang ketika menginjak umur 3 tahun. Sejak itu, putri semata wayangnya mengalami keterbelakangan metal. “Dia sering memukul kepala dan menangis tiap malam. Seperti merasakan pusing. Upaya pengobatan, sudah ke dokter hingga pengobatan tradisional. Namun, pernah terhenti akibat biaya dan jarak juga,” ujar Nia.

 

Gelundung yang terus berputar di Desa Cisitu. Pencampuran merkuri di dalam gelundung meracuni udara, tanah dan air. Amat berbahaya bagi kesehatan. Foto: Donny Iqbal/ Mongabay Indonesia

 

Desa Gelundung

Hampir seluruh rumah tangga di Cisitu memiliki unit gelundung (penghancur batu) sendiri. Pada aktifitasnya, masyarakat akrab menggunakan bahan kimia logam berat dalam memecah batu dan tanah agar emas terpisah dari mineral lainnya.

Seperti halnya yang dilakukan Aam Daris (45), seorang penambang emas. Sudah 10 tahun ini, dia keluar-masuk lubang tambang. Dalam sekali menambang, bisa menembus lubang yang dalamnya 100–300 meter.

Dia mengaku, paling maksimal membawa pulang 2 beban (5 kilogram) batuan tambang ke rumah. Perhitungannya, dari total 100 beban yang dikumpulkan dalam tiga hari, hasil harus dibagi dengan pemilik lubang, dan dibagi rata dengan jumlah penambang.

Baca juga: Serahkan Ratifikasi Konvensi Minamata ke PBB, Bagaimana Upaya Indonesia Tekan Peredaran Merkuri?

Selanjutnya, karung beban diproses menggunakan gelundung. Agar biji emas terpisah dari material batu dan tanah, ditambahkan bahan kimia jenis merkuri dan sianida (CN). Dua cairan tersebut ditakar, lalu dimasukan ke mesin bersama material tambang dan diputar selama 8–12 jam.

“Sekali proses, sebenarnya tidak tentu ada (emas). Dapat 1–2 gram emas saja sudah tergolong beruntung,” ujar Aam. Dia menyebut, satu ons merkuri dibeli dengan harga Rp 150 ribu, katanya bahan itu mudah didapat di toko-toko emas.

Saat ditanya, Aam tidak tahu bahaya dan efek samping dari merkuri. Yang dia tahu, merkuri dipakai dalam proses mengolah bahan tambang. Padahal sisa-sisa tanah dari gelundung kerap dibuang sembarangan, bahkan di area yang dekat dengan sumber air.

 

Para pekerja emas di Cisitu sedang memisahkan mineral yang diduga mengandung emas. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Hasil Analisa

Medicus Grup, lembaga nirlaba di bidang kesehatan, telah melakukan pemantauan di Cisitu sejak 2014 lalu. Hasil analis yang dilakukan, menunjukan lingkungan Desa Cisitu telah tercemar merkuri cukup parah. Akibat buangan dari proses pengolahan tambang yang langsung ke air dan terkontaminasi ke daerah sekitarnya.

Sekitar 110 orang yang diperiksa secara acak, ditemukan 27 orang dicurigai terkena indikasi penyakit berhubungan dengan keracunan merkuri. Sebelas orang dinyatakan positif terpapar berat merkuri, termasuk 6 yang masih berusia anak–anak.

“Orang yang terkena keracunan merkuri ini, dalam jangka panjang belum ada penanganannya secara khusus,” jelas Founder Medicus, Dokter Josep William.

Baca juga: Fokus Liputan: Mereka Bertaruh Nyawa Demi Batu Cinnabar

William yang juga berprofesi sebagai dokter umum mengatakan, secara klinis gejala merkuri tak terasa seketika, perlu waktu antara 5-10 tahun. Gejala khusus tidak ada, karena keracunan merkuri ini sangat luas penyakitnya, dapat menjangkit sistem saraf, kanker dan gangguan kesehatan. Penyakit ini dapat muncul sebagai penyakit kulit, paru-paru, kelainan ginjal, kelainan pembuluh darah, hingga beragam penyakit hormonal lainnya.

Merkuri mengancam kesehatan karena termasuk polutan yang parsisten (bertahan di lingkungan) dan bisa terbawa sangat jauh begitu terlepas pada air atau udara.

Di lokasi-lokasi Penambangan Emas Skala Kecil (PESK) ditemukan kadar merkuri jauh melebihi baku mutu. Baik yang terdapat di perairan, tanah, udara hingga rantai makanan. Namun, data resmi yang dikeluarkan belum ada.

“Di Cisitu, dalam dua tahun terakhir ada kasus kematian akibat keracunan merkuri. Besar kemungkinan resikonya akan meningkat. Tapi tergantung kadar yang bisa ditolerir oleh tubuh terhadap paparan merkuri, ” kata William.

Di sisi lain, sebuah laporan yang dikeluarkan oleh NGO pemerhati dampak tambang emas, BaliFokus mengidentifikasi bahwa sektor PESK merupakan sumber utama emisi merkuri. Dengan sumbangan sekitar 57,5% ke alam. Adapun peredaran merkuri di Indonesia dalam tahun 2016 mencapai 1,300 ton.

Meskipun pemerintah telah membuat regulasi dan percepatan ratifikasi konvensi Minamata, namun upaya menghapus merkuri di tingkat lapangan tidaklah mudah. Logam berat ini, tidak hanya digunakan di sektor pertambangan emas rakyat, tetapi digunakan dalam berbagai keperluan lain.

Tanpa adanya kebijakan yang tepat, pelarangan kegiatan akan berdampak sosial yang meluas. Puluhan ribu orang di Indonesia sudah terlanjur tergantung nasib kepada usaha pertambangan PESK. Namun, jika didiamkan lingkungan di sekitar pertambangan akan rusak dan tercemar logam berat.

Warga lintas generasi akan terpapar keracunan merkuri. Air sungai akan tercemar, merkuri terbawa ke ke hilir dan berdampak pada biota sungai dan laut. Penyakit minamata, bukan hanya sekedar cerita, tetapi akan merebak di Indonesia. Siapkah kita?

Video (diproduksi oleh Indonesia Nature Film Society/INFIS bekerjasama dengan Mongabay Indonesia).

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,