Investigasi ProFauna Ungkap Bisnis Burung Endemik Halmahera, Seperti Apa?

 

 

Kicau kakatua putih mulai jarang terdengar. Hutan Halmahera, makin sepi dari teriakan burung endemik ini. Suasana kontras terjadi di kota-kota besar. Pasar gelap makin ramai dengan suara burung-burung ini. Sejak 15 tahun terakhir, bisnis perburuan dan penyelundupan burung endemik Halmahera kian marak di Maluku Utara.

Investigasi Organisasi  Protection of Forest & Fauna (ProFauna) Indonesia pada November 2016 hingga Januari 2017  mencatat, kurang lebih 3.000 kakatua putih (Cacatua alba), kasturi Ternate (Lorius garrulus), dan bayan (Ecletus roratus) ditangkap di Halmahera Selatan (Halsel). Mereka lalu diselundukpan ke Pulau Jawa, Sulawesi hingga Filipina.

Padahal, larangan perdagangan satwa dilindungi sudah tertuang dalam UU No. 5/1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya dan PP No.7/1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar.

Siapapun terlarang keras menangkap, menjual, membeli, maupun memelihara jenis satwa dilindungi.

Rosek Nursahid, Ketua ProFauna Indonesia ketika dihubungi Mongabay Senin, (25/9/17) mengatakan, penyelundupan burung endemik Malut marak karena ada pengepul atau pemodal dari luar Halsel, Sulawesi, bahkan Filipina.

Untuk memutus jalur penyelundupan, katanya, perlu penegakan hukum, salah satu patroli di lokasi penangkapan burung. Perlu juga edukasi ke masyarakat agar tak menangkap burung di alam.

“Terpenting edukasi ke calon pembeli di Jawa, khusus anak muda karena sekarang konsumen burung online makin banyak anak muda,” katanya.

 

Burung yang dijuaal online di Facebook Jual Beli Ternate. Foto: ProFauna/ Mongabay Indonesia

 

Harga kakatua putih dan kasturi Ternate melonjak tajam ketika sampai di Jawa. Di sana, kakatua putih ilegal dijual Rp3,5 juta perekor, kasturi Ternate Rp2 juta.

November 2016–Januari 2017, ProFauna berkunjung ke 50 desa di Halsel.  Mereka mencatat penangkapan burung dalam skala masif terjadi di 17 desa. Paling banyak di Pulau Obi dan Gane Dalam.

Data ProFauna, dalam sebulan, ada 2.400 burung ditangkap. Di Obi, 750-1.500 kasturi Ternate ditangkap, dan Bacan setiap bulan, 75-225 burung ditangkap.

“Jika ditotalkan sebulan, sekira 3.225 kakatua putih, kasturi Ternate dan bayan ditangkap di Halsel yakni di Gane, Bacan, dan Obi,”kata Ekawati Ka’aba, Koordinator Profauna respresentatif Maluku Utara.

Lembaga ini mencatat, ada 15 penangkap burung di Bacan yang menangkap kakatua putih, kasturi Ternate, dan bayan. Di Obi ada 15 penangkap kasturi Ternate. Penangkapan burung di Bacan, katanya,  sudah menurun, karena pemodal dari Ternate yang biasa terhubung dengan mereka (para penangkap) sudah tutup.

Ekawati bilang, saat investigasi, mereka mendapati dua metode para penangkap burung di Halsel yakni pakai jerat dan getah pohon.

Para penangkap burung beraksi saat musim buah-buahan di hutan yang diperkirakan terjadi Maret dan Oktober.

“Teknik menangkap burung dengan getah pakai burung umpan yang sudah jinak.”

Burung umpan diikatkan pada dahan kering hingga memancing burung liar. Dahan-dahan di sekitar burung umpan diolesi getah pohon sukun.

“Untuk menarik perhatian burung liar, burung umpan dipukul dengan tangan oleh penangkap. Jeritan burung umpan akan mengundang perhatian burung liar,” ucap Ekawati.

 

Warga yang ingin menjual kakatua putih. Foto: ProFauna/ Mongabay Indonesia

 

Bongkar jalur perdagangan

Sejak 2002, ProFauna mulai investigasi perdagangan burung paruh bengkok. Saat itu, mereka meluncurkan laporan bertajuk “Terbang Tanpa Sayap” yang mengungkap penangkapan dan perdagangan burung paruh bengkok di Malut yang belibatkan eksportir satwa di Jakarta dan Bali.

Pada 2007, ProFauna kembali meluncurkan laporan “Pirated Parrot”, mengungkapkan,  penyelundupan 4.000 burung asal Malut jenis kakatua putih, kasturi Ternate, dan nuri kalung kuning ke Filipina.

Tahun 2016, ProFauna melalui kerjasama dengan Polair Polda Malut mendapati empat warga Filipina menyelundupkan 212 burung endemik, saat patroli pengamanan di perairan Desa Ranga-ranga, Halsel.

Dari 212 burung itu, 150 bayan, 53 kakatua putih, tiga kasturi Ternate, satu perkici, dan mendapati tiga kakatua dalam keadaan mati.

Kapal asal Filipina ini bahkan tanpa nama dan bendera. Mereka beroperasi pada malam hari, ketika kapal berlabuh ke desa-desa. Kapal pakai lampu sebagai tanda pada penjual burung bahwa mereka (pembeli) telah tiba.

Berlanjut hingga 2017, laporan “Terbang Tanpa Sayap III” mengungkapkan,  perdagangan burung paruh bengkok di Halsel.

Dalam investigasi, tercatat beberapa transportasi sering digunakan penyelundup burung, mulai kapal perusahaan kayu (pumboat), kapal barang Barebo yang mengangkut hasil bumi, perahu ketinting, kapal barang dari Buton, sampai kapal Pelni.

“Hingga tahun ini, kami masih mendapati kapal perusahaan kayu beroperasi di Ranga-Ranga, sering meyelundupkan burung paruh bengkok. Melalui jalur inilah, burung endemik Malut dibawa ke luar,” kata Ekawati.

Dia bilang, penyelundupan burung endemik ke Jawa bahkan luar negeri kerap terjadi hingga kini karena pengawasan petugas masih lemah di Perairan Halsel. Bahkan, mereka masih kekurangan petugas lapangan dari Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA).

 

Profauna ikut mengamankan burung-burung yang dijual online di akun Facebook Jual Beli Ternate. Foto: ProFauna/ Mongabay Indonesia

 

Gugah kesadaran

ProFauna Indonesia menggelar kampanye publik memperingati Hari Kakatua Indonesia di Jalan Pahlawan Revolusi, Ternate, baru-baru ini.

Upaya ini, ingin mengajak masyarakat tak membeli nuri dan kakatua. Dalam kampanye itu, dua aktivis lingkungan dari ProFauna pakai kostum kakatua putih dan nuri. Kampanye menarik perhatian warga. Tak sedikit yang datang membawa anak-anak mereka berfoto dengan dua aktivis yang pakai kostum burung itu.

Bayu Sandi, Juru Kampanye ProFauna Indonesia mengatakan, ajakan tak membeli burung itu karena lebih 95% nuri dan kakatua yang diperdagangkan itu hasil tangkapan dari alam. Burung ditangkap dari habitat asli di Malut, Maluku, Sulawesi, dan Papua.

Nuri dan kakatua, katanya, salah satu kekayaan alam khas Indonesia yang sulit dijumpai di daerah lain. Di Indonesia, ada sekitar 89 spesies burung paruh bengkok, dengan 14 spesies sudah terlindungi hukum.

“ProFauna mendesak pemerintah segera memasukkan kakatua putih dan kasturi Ternate dalam daftar satwa dilindungi. Ini memastikan secara hukum burung endemik Malut tak lagi diperdagangkan.”

 

Profauna saat memberikan edukasi pada siswa SD di Ternate. Foto: ProFauna/ Mongabay Indonesia

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,