Reaktivasi Keramba Jaring Apung Non Aktif Dimulai Tahun Ini, Bagaimana Strateginya?

Janji Pemerintah Indonesia untuk tidak menambah operasional keramba jaring apung (KJA) pada sektor perikanan budidaya, mulai diwujudkan pada tahun ini. Pada 2017 ini, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) akan fokus untuk menghidupkan kembali KJA yang sudah non aktif di seluruh Indonesia.

Untuk tahun ini, KKP berjanji akan menghidupkan lagi sebanyak 250 KJA yang tersebar di berbagai daerah. Dengan 250 KJA tersebut, menurut Direktur Jenderal Perikanan Budidaya KKP Slamet Soebjakto, Pemerintah sudah bisa menghidupkan 1.000 lubang tambak perikanan budidaya.

“Dari 1.000 lubang yang diaktifkan, diharapkan produksi akan mampu menghasilkan produksi ikan lebih dari 218 ton per tahun dengan nilai produksi sebesar hampir Rp17,51 miliar,” ungkap dia.

(baca : Sejak 1950, Perikanan Budidaya Indonesia Lambat Berkembang, Kenapa Demikian?)

 

 

Selain bisa menambah jumlah produksi perikanan budidaya secara nasional, Slamet menyebut, pengaktifan kembali 250 KJA juga bisa menarik tenaga kerja hingga 817 orang per tahun. Dengan jumlah tenaga sebanyak itu, kata dia, kisaran pendapatan kotor yang mampu diraup kelompok pembudidaya bisa mencapai kisaran Rp80 – Rp182 juta per tahun.

Dengan fakta tersebut, Slamet mengatakan, potensi ekonomi dari pengaktifan 250 KJA sangatlah besar. Jika 80 persennya saja KJA bantuan dari berbagai instansi tersebut dapat dimanfaatkan oleh pembudidaya, kata dia, maka setidaknya produksi ikan yang dapat diperoleh sedikitnya mencapai 2.718 ton per tahun.

“Itu artinya, nilai ekonomi yang dapat diraup mampu mencapai Rp218,3 miliar per tahun, saya rasa ini nilai yang sangat fantastis,” tutur dia.

(baca : Perikanan Indonesia Adopsi Teknologi Budidaya Canggih dari Norwegia, Seperti Apa?)

Selain dari KKP yang mulai melakukan reaktivasi KJA pada 2017, Slamet mengatakan, program tersebut juga melibatkan instansi kementerian lain yang dilakukan sejak 2016. Sejak tahun lalu hingga sekarang, jumlah KJA yang sudah diaktifkan kembali mencapai 15.583 lubang. Dari jumlah tersebut, KKP mengaktifkan sebanyak 7.316 lubang atau 47,7 persen dari keseluruhan.

“Artinya, ini menjadi hal yang perlu disikapi bahwa penting kementerian maupun pemda terkait berkoordinasi dengan KKP sebagai kementerian teknis yang membidangi masalah perikanan budidaya, sehingga masalah inefisiensi dapat diatasi dengan baik,” tandas dia.

 

Seorang pekerja sedang memberikan pakan pada ikan nila dalam budidaya keramba jaring apung di Danau Toba, Sumut. Foto : Jay Fajar/Mongabay Indonesia

 

Strategi Operasional

Agar KJA yang diaktifkan kembali bisa beroperasi dengan baik, Slamet sudah menyiapkan strategi yang bisa dijalankan oleh para pemilik KJA. Strategi yang dipikirkan sangat matang itu, diharapkan bisa menjadi solusi di tengah permasalahan yang pernah dirasakan para pemilik KJA di masa sebelumnya.

Adapun, untuk strategi yang dimaksud, Slamet merinci:

  1. Memfasilitasi aksesibilitas terhadap input produksi yang efisien. Peran fasilitasi bagi kemudahan akses input produksi seperti benih berkualitas dan pakan akan didorong melalui UPT Ditjen Perikanan Budidaya.
  2. Mendorong Penguatan Kelembagaan dan kemitraan usaha.
  3. Fokus pada komoditas yang berbasis pasar. Komoditas budidaya laut akan diarahkan untuk jenis ikan yang berbasis pada keinginan dan trend pasar, sehingga mampu berdaya saing.
  4. Pembangunan dan perbaikan sarana prasarana dan infrastruktur. Ini juga akan didorong untuk menciptakan efisiensi produksi dan menjamin konektivitas yang efisien dari hulu ke hilir.
  5. Menyediakan akses informasi teknologi, bimtek, pendampingan dan penyuluhan.

Untuk diketahui, pasca terbitnya Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP) Nomor 32 Tahun 2016 tentang perubahan atas Permen KP Nomor 15 Tahun 2016 Tentang Kapal Pengangkut Ikan Hidup, atmosfer usaha perikanan budidaya laut dengan komoditas seperti kerapu kembali normal dan makin membaik, sehingga KKP berkomitmen untuk terus mendorong dan meningkatkan usaha di sektor ini.

Lebih lanjut Slamet menambahkan, reaktivasi KJA di masyarakat, menjadi bagian dari komitmen Pemerintah untuk memastikan bahwa berbagai sarana prasarana dan infrastruktur perikanan budidaya termasuk budidaya laut berfungsi optimal dan produktif. Salah satu yang dibidik, adalah memastikan sarana budidaya KJA yang ada di masyarakat berfungsi optimal dan memberikan keuntungan yang maksimal bagi kesejahteraan masyarakat.

“Kesejahteraan pembudidaya ikan merupakan konsen kami, oleh sebab itu kami terus berupaya memastikan agar berbagai sumberdaya yang ada, termasuk sarana prasarana budidaya seperti KJA tidak mangkrak dan berfungsi secara optimal dan bermanfaat nyata bagi masyarakat,” ungkap dia.

(baca : Terapkan Perikanan Berkelanjutan, Waduk Jatiluhur Bersihkan Praktik Keramba Jaring Apung)

 

Keramba budidaya ikan napoleon dan ikan kerapu di Pulau Sedanau Kecamatan Bunguran Barat, Kabupaten Natuna, Provinsi Kepulauan Riau. Ikan napoleon dijual Rp1,2 juta per ekor dan kerapu Rp300 ribu per ekor. Perikanan menjadi sektor ekonomi utama di Natuna. Foto : M Ambari/Mongabay Indonesia

 

KJA Lepas Pantai

Selain melaksanakan program reaktivasi KJA masyarakat, Slamet Soebjakto menyebutkan, Pemerintah juga mulai 2017 ini melaksanakan adopsi teknologi budidaya lepas pantau atau offshore. Teknologi yang digunakan untuk KJA offshore tersebut, akan mengadopsi teknologi tinggi di bidang budidaya laut dari Norwegia.

Menurut Slamet, teknologi dari negara Eropa itu, diharapkan bisa menggenjot produksi secara signifikan komoditas yang dikembangkan di sana, yakni kakap putih. Untuk tahap awal, kata dia, KJA offshore akan dibangun di tiga kawasan perairan strategis nasional, yaitu perairan Kepulauan Karimunjawa – Jawa Tengah, Pangandaran – Jawa Barat, dan Pulau Sabang – Aceh.

Untuk bisa menggenjot produksi di lepas pantai, Slamet menuturkan, pihaknya sudah menyusun rencana bisnis untuk memetakan mata rantai bisnis yang akan dibangun nantinya. Dengan adanya rencana bisnis, kehadiran KJA lepas pantai diharapkan bisa memberikan manfaat banyak, khususnya bagi pemberdayaan masyarakat.

“Pembangunan KJA offshore ditargetkan selesai pada bulan November nanti dan awal Desember sudah dapat dilakukan tebar benih ikan perdana,” tegas dia.

Tentang pemilihan komoditas kakap putih sebagai komoditas yang dibudidayakan, Slamet menjelaskan, komoditas tersebut sejauh ini sudah memiliki pasar yang jelas, terutama pasar ekspor. Di pasar internasional, kakap putih bersaing dengan kerapu yang sama-sama bernilai ekonomi sangat tinggi.

“Kita targetkan produksi ikan kakap putih dari ketiga lokasi ini mencapai 2.415 ton atau setara dengan nilai 169 miliar rupiah per tahun,” sebut dia.

(baca : Demi Target Produksi 2017, Perikanan Budidaya Pelajari Kegagalan Produksi 2016)

 

Kakap putih atau barramundi. Foto : gomancing.com

 

Untuk memenuhi kebutuhan benih pada KJA lepas pantai yang diperkirakan bisa mencapai 3,6 juta ekor benih atau sebanyak 1,2 juta ekor benih per unit, KKP mendorong produksi benih yang dilakukan unit pelaksana teknis (UPT) di bawah Ditjen Perikanan Budidaya bisa lebih optimal lagi. Selain itu, kebutuhan benih juga akan dipasok dari swasta melalui kerja sama khusus.

Selain itu, Slamet mengungkapkan, masyarakat akan dilibatkan pada segmen penggelondongan benih, dimana rencananya akan mampu memberdayakan sebanyak ± 1.450 orang. Program ini akan secara langsung memberikan dampak positif bagi masyarakat, dengan tetap mengedepankan pengembangan yang family based-aquaculture.

 

Pemeliharaan Lebih Singkat

Sebagai komoditas satu-satuna yang dibudidayakan di KJA lepas pantai, kakap putih dinilai memiliki keunggulan dibandingkan dengan kerapu. Menurut Kepala Balai Besar Perikanan Budidaya Laut (BBPBL) Lampung, Mimid Abdul Hamid, lama pemeliharaan ikan Kakap Putih berkisar antara 6-8 bulan atau sama dengan pemeliharaan bawal bintang.

“Sementara, untuk kerapu itu diperlukan antara 10-12 bulan untuk pemeliharaannya, dengan tingkat kelangsungan hidup atau survival rate (SR) mampu mencapai 80 persen dan ukuran panen 500 – 700 gr per ekor dengan harga yang makin kompetitif dan menarik.

Tak hanya dari waktu pemeliharaan yang cukup singkat, Mimid menuturkan, pemilihan kakap putih dinilai lebih ekonomis karena saat ini pasar domestik dan ekspor sangat cepat menyerap komoditas tersebut, selain juga bawal bintang dan kerapu.

Di pasar domestik, kata Mimid, harga kerapu mencapai Rp90 ribu per kilogram, sementara harga ekspor mencapai Rp200 ribu per kg. Untuk harga ikan kakap putih dan bawal bintang, sambung dia, di pasar domestik pun cukup stabil dengan harga Rp50 ribu per kg.

Senada dengan Mimid, pernyataan yang sama juga diungkapkan Sugito, salah satu pengusaha budidaya laut di Bandar Lampung. Menurut dia, permintaan komoditas-komoditas yang disebut di atas, saat ini bukan saja berasal dari negara tradisional pengimpor seperti Singapura, namun juga dari negara Timur Tengah. Negara-negara tersebut, kata dia, kini sudah menyatakan minatnya untuk mengimpornya Indonesia.

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,