Mengelola Hutan Banyak Hal yang Harus Dilakukan, Mengapa?

 

 

Pembentukan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KHP) merupakan salah satu cara menjawab kebutuhan perlunya unit pengelolaan hutan di tingkat bawah, sekaligus, organisasi pengelolanya. Hal ini dilakukan untuk mewujudkan prinsip pengelolaan hutan yang lestari.

Sasaran umum yang ingin dicapai melalui kebijakan KPH ini adalah memberikan kepastian areal kerja pengelolaan hutan, wilayah tanggung jawab pengelolaan, serta satuan perencanaan pembangunan dan pengelolaan hutan. Kesemuanya itu, sebagai elemen kunci menuju model pengelolaan hutan lestari.

Secara konseptual, KPH merupakan pendekatan kewilayahan dalam pengelolaan hutan lestari, yang disesuaikan dengan fungsi pokok dan peruntukannya. Melalui pendekatan ini, kawasan hutan di Indonesia direncanakan bisa masuk wilayah KPH.

Di Provinsi Aceh, sejak 2014 telah dibentuk tujuh KPH yang merupakan Unit Pelaksana Teknis Dinas di Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan guna mengelola pelestarian hutan di tingkat tapak. Peraturan Gubernur (Pergub) Aceh Nomor 20 Tahun 2013 telah mendasari pembentukannya.

Enam KPH tersebut berbasis Daerah Aliran Sungai (DAS), dan satu KPH berupa Taman Hutan Raya Pocut Meurah Intan berada di Kabupaten Aceh Besar dan Pidie. Dengan berbasis DAS, hutan Aceh akan coba dikelola dari hulu sungai hingga ke pinggir laut. Hal ini diharapkan lebih memudahkan Dinas Kehutanan melakukan pengelolaan, sehingga tumbuhah yang hidup di sekitar DAS, yang masuk kawasan hutan atau tidak, tetap terjaga.

 

Orangutan sumatera hidup damai di Hutan Leuser. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Sekretaris Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Aceh, Kariamansyah menjelaskan, ketujuh KPH di Aceh ini, memiliki potensi sumber daya alam luar biasa. Juga, memiliki kultur dan kearifan lokal berbeda. “Kami terus membangun KPH agar mandiri dalam mengelola, bukan hanya persoalan kayu tapi juga potensi ekowisata yang bisa bernilai,” terangnya baru-baru ini.

Kariamansyah mengatakan, dukungan dari berbagai pihak datang untuk membantu KPH. Hal penting yang harus dilakukan adalah bagaimana mensinergikan bantuan-bantuan tersebut untuk kelestarian hutan dan mandirinya KPH. “Harus diakui, fasilitas pendukung KPH saat ini masih kurang. Tapi, kami akan terus berusaha menutupi kelamahan yang ada,” ujarnya.

Secara rinci, tujuh KPH di aceh ini adalah, KPH Wilayah I berkedudukan di Kabupaten Aceh Besar. Wilayah kelola DAS Krueng Aceh, Krueng Baro, Krueng Sabee, Krueng Teunom, Alue Seutui dan Alue Raya. KPH Wilayah II, berkedudukan di Kabupaten Bener Meriah mengelola DAS Krueng Meureudu, Krueng Peusangan, dan Krueng Pasee.

KPH Wilayah III, berada di Aceh Timur mengelola DAS Krueng Jambo Ayee, Krueng Peureulak, dan Krueng Tamiang. KPH Wilayah IV, ada di Aceh Barat/Nagan Raya, mengelola DAS Krueng Woyla, Krueng Meureubo, dan Lae Lasikin.

KPH Wilayah V, berpusat di Gayo Lues mengeloka DAS Krueng Tripa dan Krueng Kuala Batee. KPH Wilayah VI, terletak di Subulussalam mengelola DAS Krueng Kluet, Krueng Singkil atau Lawe Alas dan Kepulaun Banyak. Sementara KPH Wilayah VII, mengelola Tahura Pocut Meurah Intan beserta kelompok hutan Gunung Seulawah Agam dan Gunung Seulawah Inoeng.

 

Sungai Alas yang membentang di daerah Bengkung, Perbatasan Aceh Tenggara dan Subulussalam begitu menantang untuk ditelusuri. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Belajar mengelola

Perwakilan United States Forest Services (USFS) Elaine Kohrman, dan Forest Supervisor for Cibola National Forest, Matt Rau, dalam diskusi di Dinas Lingkugan Hidup dan Kehutanan Provinsi Aceh, pada 15 September 2017, menceritakan pengalaman mereka mengelola hutan negara selama puluhan tahun.

Cibola National Forest yang terletak di New Mexico, Texas, dan Oklahoma luasnya mencapai 1,6 juta hektare. Wilayahnya meliputi Datil, Gallinas, Magdalena, Bear, Manzano, Sandia, San Mateo, Mt. Taylor, dan Pegunungan Zuni.

“Ada empat padang belantara yang ada di hutan kami: Gunung Sandia, Gunung Manzano, Withington, dan Apache Kid. Padang rumput Nasional Cibola terletak di timur laut New Mexico, barat Oklahoma, dan Texas barat laut. Luasnya 263.954 hektare,” sebut Kohrman.

Cibola awalnya, banyak mengalami konflik tata kelola lahan, ada masyarakat adat dan lainnya. Butuh waktu untuk menyelesaikan masalah tersebut, terlebih menuntaskannya dari tingkat tapak hingga nasional.

“Semua pihak memang dilibatkan dalam pengelolaan hutan. MoU tentang pengelolaan hutan yang lestari dan menyejahterakan masyarakat harus terus didorong dan dilaksanakan. KPH pun harus konsistem mengelola hutan,” terang Kohrman.

 

Kupu-kupu yang ada di Leuser merupakan keragaman hayati yang berperan penting menjaga ekosistem alam yang ada. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Matt Rau melanjutkan, Cibola National Forest pernah sangat rusak akibat peperangan yang terjadi di Amerika Serikat. Ditambah lagi ketika pembangunan mulai dilakukan. Kayu-kayu dan mineral di hutan tersebut, diambil secara skala besar.

“Namun, untuk menghindari kerusakan yang lebih parah, 76 tahun lalu, Pemerintah Amerika Serikat sadar, Cibola harus diselamatkan dan ditetapkan sebagai hutan lindung,” jelasnya.

Matt Rau menambahkan, menjaga hutan Cibola tidak sebatas dengan menetapkannya sebagai hutan lindung. Tapi juga, harus dikelola secara berkesinambungan. Akhirnya, Pemerintah Amerika membentuk pengelolaan hutan dengan melibatkan banyak pihak.

“Ada pelaku wisata, masyarakat, dan lainnya. Cibola mulai dikelola sebagai tempat ekowisata, dan lainnya dengan melibatkan masyarakat.”

Terkait KPH, Matt Rau menuturkan, selain harus berlembaga kuat, pengelolaannya juga harus bisa bekerja sama dengan masyarakat. Ini dikarenakan, selain hutan terjaga, masyarakat juga jangan sampai terpengaruh untuk merusak.

“Masyarakat harus didekati dan diajak kerja sama terus menerus, hingga mereka merasa hutan memberi manfaat besar dalam hal ekonomi. Juga, meningkatkan kesejahteraan mereka, sehingga saling menjaga,” tegasnya.

 

Perwakilan United States Forest Services (USFS) dan Forest Supervisor for Cibola National Forest saat memaprkan pengalaman mereka dalam diskusi di Dinas Lingkugan Hidup dan Kehutanan Provinsi Aceh, beberapa waktu lalu. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Di Indonesia, pembentukan Kesatuan Pengelolaan Hutan merupakan amanat UU No. 41 Tahun 1999, tentang Kehutanan, sekaligus untuk merespon kebijakan kehutanan yang sebelumnya cenderung hanya melaksanakan fungsi administrasi pengurusan hutan, dan tidak melakukan pengelolaan hutan secara fungsional.

Gagasan pembentukan KPH, sudah dimulai sejak UU No. 5 Tahun 1967, tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan. Meskipun demikian amanat pembentukan KPH secara lebih rinci baru tertuang dalam UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, yang kemudian ditindaklanjuti secara khusus dengan Peraturan Pemerintah No. 44 tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan, dan Peraturan Pemerintah No. 6 tahun 2007, yang telah diubah dengan Peraturan Pemerintah No. 3 tahun 2008 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan.

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , ,