Dodo adalah jenis burung yang dianggap misterius. Pertama kali diidentifikasi pada 1598 oleh marinir Belanda, seratus tahun kemudian (antara 1662 dan 1693), ia dinyatakan punah. Burung endemik Mauritus, yang masuk Kepulauan Mascarene di Samudera Hindia bagian tenggara ini, diduga punah akibat perburuan manusia beserta masuknya satwa pendatang seperti monyet, rusa, babi, hingga tikus.
Dodo (Raphus cucullatus), sejatinya masuk dalam keluarga Columbiformes yang beratnya sekitar 9,5 hingga 14,3 kilogram. Menurut Birdlife International 2016, ia merupakan jenis yang tersebar di hutan kering dataran rendah dan kemungkinan hidup mutualisme dengan jenis pohon Calvaria major yang tumbuh di perbukitan. Dodo tidak bisa terbang dan jinak.
Kini, tabir kehidupan dodo mulai terungkap. Penelitian yang dilakukan Delphine Angst dan kolega dari University of Cape Town, Afrika Selatan, mengenai 22 bagian tulang Dodo yang terdiri dari paha, tibia-tarsus, tulang kaki, dan tulang lengan atas melalui analisis histologi (ilmu tentang struktur jaringan secara detil) berhasil menguak informasi yang selama ini tidak kita ketahui. Terutama, perihal waktu berbiak dan pergantian bulu. Tulang-tulang yang diteliti itu berasal dari Mauritus, dari abad ke-19, dan riset tersebut telah dipublikasikan dalam Jurnal Scientific Reports edisi 24 Agustus 2017.
Hasil analisis histologi menunjukkan, pertumbuhan jaringan tulang dodo hampir sama dengan pertumbuhan jaringan tulang burung moderen, seperti sekretaris (Sagittarius serpentarius), puyuh (Coturnix japonica), penguin raja (Aptenodytes patagonicus), dan unta (Struthio camelus). Selain itu juga, dapat dilihat bahwa tulang-tulang tersebut mengindikasikan umur dodo muda, dewasa, dan dewasa betina.
“Beberapa tulang dapat dikatakan burung dewasa muda yang akan melewati masa subur pertama kali dengan terlihatnya garis pertumbuhan pada bagian tulang,” jelas laporan berjudul Bone histology sheds new light on the ecology of the dodo (Raphus cucullatus, Aves, Columbiformes) tersebut.
Pada dua tulang yang diteliti mengindikasi betina yang sedang berbiak, ditandai anyaman jaringan tulang yang khas. Selain itu, bagian dalam tulang menggambarkan keadaan lingkungan saat dodo ditemukan, yaitu adanya garis pertumbuhan tulang (LAGs).
Tanda ini muncul saat tulang berhenti tumbuh sebagai hasil dari fluktuasi suhu, pengaruh musim di Mauritius saat itu, musim panas terjadi pada November dan Maret. Selama periode itu juga terjadi siklon, hujan lebat dan angin kencang sehingga daun, bunga, dan buah tidak berkembang. “Hal ini menyebabkan dodo kekurangan pakan sehingga kelaparan, yang berakibat pada pertumbuhan tulang,” tulis laporan tersebut.
Informasi yang didapat dari tulang yang diteliti itu adalah diketahuinya jalur daur hidup Dodo sebagaimana gambar berikut. Area biru adalah periode musim panas ketika badai terjadi pada November dan Maret. Garis putus kuning mengidikasikan adanya pertumbuhan LAGs (Line of arrested of growth) yang terbentuk saat badai terjadi, ketika musim panas di Australia. Sementara garis merah menunjukkan terjadinya pergantian bulu (molting).
Bagaimana dengan keterangan garis hijau? Warna ini mengindikasikan bila dodo masuk dalam periode berbiak. Angka (1) terbentukanya LAGs, (2) dimulainya masa pergantian bulu, (3) tumbuhnya percampuran antara bulu halus (downy) dan bulu baru, (4) berakhirnya pergantian bulu, (5) waktu berbiak untuk individu betina, (6) Telur dierami, dan (7) individu muda mulai tumbuh dan berkembang.
Indikator lingkungan
Dari tulang Dodo yang diteliti, yang dapat menggambarkan keadaan lingkungan saat itu, menunjukkan bahwa burung merupakan satwa yang dapat dijadikan indikator kondisi lingkungan. Menurut Chambers (2008), ada 8 hal yang memastikan peran burung sebagai indikator lingkungan, yaitu:
1. Burung mudah dideteksi dan diobservasi
2. Taksonomi burung sudah mudah diidentifikasi di lapangan
3. Burung tersebar luas, menempati habitat dan relung ekologi bervariasi
4. Distribusi, ekologi, biologi, dan sejarah hidup burung diketahui dengan baik dibanding satwa lain
5. Burung dalam rantai pakan menempati posisi pada bagian puncak sehingga lebih sensitif terhadap perubahan kontaminasi lingkungan
6. Banyak burung berfungsi sebagai polinator dan penyebar bijian tanaman
7. Teknik survei burung lebih simpel dan
8. Untuk memonitornya tidak mahal ketimbang taksa lain seperti reptil dan mamalia
Dari tubuh burung dan keberadaannya itu, manusia sering menelitinya untuk melihat apakah kondisi suatu lingkungan sehat atau tidak, seperti ada tidaknya kontaminan di lingkungan. Salah satunya dilihat dari bulu, kondisi yang menunjukkan kesehatan burung tersebut. Kerusakan bulu dapat dilihat secara kasat mata, seperti bulu yang rusak, warna yang kusam, adanya parasit seperti kutu, bakteri atau jamur, serta terdapatnya salah lintang (fault bars) pada bulu burung.
Penelitian yang dilakukan Riddle (1908), yang meneliti tanda pada bulu, menunjukkan bahwa salah lintang merupakan ketidaknormalan pada bulu yang umum terjadi pada burung. Ini terlihat seperti garis yang sempit dan tembus, hampir tegak lurus pada batang utama bulunya.
“Keberadaan burung di alam sangat penting, seperti halnya burung pemangsa di suatu habitat yang menunjukkan ekosistem tersebut seimbang karena dapat mengontrol populasi mangsanya. Begitu juga jenis burung pemakan nektar yang menjadi penyerbuk dan jenis rangkong yang menebar biji,” terang Dewi Malia Prawiradilaga, senior ornithologist dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).
Dewi berharap, keberadaan burung liar yang ada di Indonesia tetap terjaga, jangan sampai ada yang punah sebagaimana dodo. Meski harus diakui, ancaman kehidupan burung liar di alam tidak hanya datang dari perburuan tapi juga perubahan hutan yang dijadikan area penggunaan lain.
“Kami telah memperbanyak penelitian dalam bentuk survei dan monitoring terutama pada jenis yang terancam, seperti jenis elang jawa dan elang flores. Ekspedisi ke pulau-pulau terluar Indonesia juga dilakukan,” tandas Dewi.