Membangun Ketahanan Pangan di Penghujung Negeri dengan Budidaya Lele

 

Pemerintah Indonesia terus mendorong berbagai program untuk mewujudkan ketahanan pangan di penjuru Negeri. Di antara program yang dilaksanakan, adalah penerapan teknologi bioflok dalam perikanan budidaya untuk komoditas lele. Teknologi tersebut, didorong bisa diterapkan di kawasan perbatasan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Direktur Jenderal Perikanan Budidaya Kementerian Kelautan dan Perikanan Slamet Soebjakto di Jakarta, pekan lalu, menjelaskan, pemilihan kawasan perbatasan untuk pengembangan budidaya lele berbasis teknologi bioflok, karena di kawasan tersebut masih terdapat kesenjangan sosial yang sangat tinggi.

Untuk itu, menurut Slamet, salah satu cara agar kesenjangan tersebut menghilang, maka harus didorong warga di perbatasan untuk memberdayakan kemampuannya sendiri. Dengan kata lain, kawasan perbatasan didorong untuk bisa menjadi objek pemberdayaan ekonomi seperti halnya di kota-kota besar di Indonesia.

“Sebelum ke perbatasan, kita juga sudah menginisiasi penerapan teknologi bioflok dalam budidaya lele di lingkungan pesantren. Program tersebut, tak hanya untuk memberdayakan ekonomi, namun juga menjadi benteng ketahanan pangan untuk warga sekitar, khususnya penghuni pesantren,” jelas dia.

(baca : Akhirnya, Teknologi Bioflok untuk Lele Masuk Pesantren)

Slamet mengungkapkan, dengan mengembangkan budidaya lele berbasis teknologi bioflok di kawasan perbatasan, itu bisa mendorong terciptanya pemerataan ekonomi, dan sekaligus menjaga ketahanan pangan di kawasan-kawasan perbatasan. Menurutnya, penting untuk memperkuat wilayah perbatasan melalui pendekatan kesejahteraan.

 

Dirjen Perikanan Budidaya KKP Slamet Soebjakto (kanan) saat melaksanakan tebar benih lele di atas kolam dengan sistem bioflok di Belu, NTT, pada Oktober 2017. Foto : Ditjen Perikanan Budidaya KKP/Mongabay Indonesia

 

Ia menilai, kawasan perbatasan sebenarnya memiliki sumber daya alam yang tinggi. Akan tetapi, minimnya informasi teknologi menyebabkan nilai ekonomi SDA tersebut belum dapat dirasakan. Oleh itu, menurut dia, pengembangan usaha budidaya lele berbasis teknologi bioflok harus bisa menjadi alternatif usaha dalam rangka membangun daerah perbatasan.

“Inovasi teknologi lele bioflok yang diperkenalkan diharapkan akan mampu meningkatkan nilai SDA yang ada, dengan demikian akan memicu ruang pemberdayaan masyarakat yang lebih luas dan sudah barang tentu akan menggerakkan ekonomi lokal,” ungkap dia.

Kawasan perbatasan yang menjadi percontohan untuk pengembangan usaha budidaya lele berbasis teknologi bioflok tersebut, kata Slamet, akan dilaksanakan di Kabupaten Belu, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Selain yang pertama untuk kawasan perbatasan, kehadiran teknologi tersebut menjadi yang pertama di NTT.

“Dengan penerapan di Belu, konsep tersebut bisa segera diadopsi di daerah lain di seluruh Indonesia,” jelas dia.

(baca : Bioflok, Budidaya Ikan Lele dan Nila di Lahan Terbatas)

 

Bangun dari Pinggiran

Lebih lanjut Slamet mengatakan, pemilihan kawasan perbatasan sebagai lokasi penerapan teknologi bioflok, didasarkan pada pesan Nawacita yang mengamanatkan pembangunan Indonesia dilaksanakan mulai dari kawasan pinggiran. Pertimbangan tersebut, ke depan akan diterapkan juga untuk program lain yang dilaksanakan.

Dengan menjadikan komoditas lele sebagai sumber ketahanan pangan, Slamet menyebut, masyarakat sekitar yang mengonsumsinya akan mendapatkan pasokan kebutuhan gizi yang cukup dari sumber protein ikan yang ada di dalam lele. Kebutuhan gizi, sambung dia, menjadi masalah yang sering ditemukan di daerah perbatasan, dan itu bertentangan dengan indeks pembangunan manusia (IPM) yang mensyaratkan asupan gizi harus selalu terpenuhi.

“Jika dilihat masih ada ketimpangan IPM masyarakat di daerah perbatasan. Saya rasa program ini menjadi sangat strategis untuk meningkatkan IPM melalui pemenuhan gizi masyarakat, apalagi komoditas lele saat ini mulai digemari masyarakat luas,” imbuh dia.

Bupati Belu Willybrodus Lay mengatakan, penerapan budidaya lele berbasis teknologi bioflok di daerahnya, diyakini bisa menjadi pendorong yang bagus untuk meningkatkan kemampuan ekonomi masyarakat. Apalagi, teknologi tersebut dinilai sangat cocok dengan karakteristik Belu yang memerlukan efisiensi sumber air sebanyak mungkin.

“Namun disisi lain produktivitas bisa ditingkatkan berkali lipat. Kami akan dorong nantinya paling tidak dalam satu desa ada 5-10 unit kegiatan usaha sejenis. Saya yakin akan menggerakan ekonomi lokal di Belu dan pastinya akan mendongkrak tingkat konsumsi ikan perkapita masyarakat Belu,” tutur dia.

 

Dirjen Perikanan Budidaya KKP Slamet Soebjakto (tengah) bersama pembudidaya ikan setempat usai menebar benih lele di atas kolam dengan sistem bioflok di Belu, NTT, pada Oktober 2017. Foto : Ditjen Perikanan Budidaya KKP/Mongabay Indonesia

 

Untuk diketahui, tingkat konsumsi ikan per kapita di NTT hingga saat ini masih cukup rendah yaitu hanya 29,8 kg/kapita/tahun. Angka tersebut masih dibawah tingkat konsumsi ikan per kapita secara nasional yang mencapai angka 43,94 kg/kapita/tahun.

Salah satu pembudidaya ikan yang sudah menerapkan teknologi bioflok, Benyamin Taek Mau, menceritakan kalau saat ini permintaan lele di pasaran mulai mengalami peningkatan dengan harga yang cukup tinggi di kisaran Rp35 ribu. Dengan kondisi tersebut, dia berharap, panen di periode berikutnya akan mendapatkan hasil yang cukup banyak.

“Saya mendapatkan bantuan 24 buah kolam lele sistem bioflok. Diharapkan, nantinya akan panen sebanyak 5,4 ton dan akan dipasarkan di Atambua, Kupang dan kabupaten lain di sekitar Belu. Bahkan, peluang ekspor ikan lele ke Timor Leste kini mulai terbuka lebar,” ungkap dia.

Selain di Kabupaten Belu, Pemerintah melalui KKP juga fokus mendorong budidaya lele sistem bioflok di daerah perbatasan lainnya seperti Kabupaten Entikong (Kalimantan Barat), Kabupaten Wamena dan Kabupaten Sarmi (Provinsi Papua).

Sebagai informasi bahwa produksi lele secara nasional tahun 2016 sebesar 873.716 ton dan ditargetkan sebanyak 1.399.700 ton pada tahun 2017.

 

Teknologi Bioflok

Slamet Soebjakto mengungkapkan, salah satu upaya yang dilakukan KKP dalam menambah suplai ikan secara nasional, adalah dengan mengembangkan inovasi teknologi sistem bioflok dalam budidaya lele. Teknologi tersebut, kata dia, dinilai berhasil karena bisa meningkatkan produksi dalam jumlah yang banyak.

“Bioflok ini menjadi solusi untuk memenuhi kebutuhan gizi masyarakat, apalagi saat ini produk lele sangat memasyarakat sebagai sumber gizi yang digemari,” jelas dia.

(baca : Seperti Apa Peran Teknologi Bioflok untuk Ketahanan Pangan Nasional?)

Tentang teknologi tersebut, Slamet memaparkan, saat ini popularitasnya semakin meningkat di kalangan masyarakat dan pembudidaya ikan. Kondisi itu bisa terjadi, karena teknologi tersebut dinilai mampu menggenjot produktivitas lele, penggunaan lahan yang tidak terlalu luas dan juga hemat sumber air.

Menurut Slamet, semua efek positif itu bisa didapat, karena teknologi tersebut mengadopsi bentuk rekayasa lingkungan yang mengandalkan suplai oksigen dan pemanfaatan mikroorganisme, dan secara langsung dapat meningkatkan nilai kecernaan pakan.

“Dengan mengunakan teknologi bioflok, produksi lele bisa mengalami peningkatan hingga tiga kali lipat dari produksi biasa. Ini yang disukai para pembudidaya dan bermanfaat untuk menambah suplai ikan secara nasional,” ungkap dia.

Slamet membandingkan, untuk budidaya dengan sistem konvensional dengan padat tebar 100 ekor/m3 itu memerlukan waktu 120-130 hari untuk panen. Sedangkan untuk sistem bioflok dengan padat tebar 500-1000 ekor/m3 itu hanya membutuhkan 100-110 hari saja.

 

Syamsul Mansur, pembudidaya ikan di Kelurahan Barombong, Kecamatan Tamalate, Makassar, Sulsel, mulai mencoba budidaya ikan lele metode bioflok ini di pekarangan rumah. Kelebihannya karena tidak meninggalkan bau seperti halnya budidaya lele secara konvensional. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia

 

Tidak hanya itu, Slamet menyebut, teknologi bioflok membuat produksi lele di banyak daerah menjadi sangat efisien. Dia mencontohkan, dengan rata-rata padat tebar 1.000 ekor/m3, maka dalam satu kolam bulat ukuran diameter 3 m, dapat ditebar benih lele sebanyak minimal 3.000 ekor.

“Dengan ukuran dan jumlah ekor yang ditanam tersebut, bioflok mampu menghasilkan lele konsumsi mencapai lebih dari 300 kilogram per siklus. Artinya jika dibanding dengan teknologi konvensional, bioflok mampu menaikan produktivitas lebih dari 3 kali lipat,” papar dia.

Dengan kelebihan itu, Slamet menyebut kalau budidaya dengan bioflok sangat menguntungkan. Hal itu karena, pendapatan dari satu kolam akan mengalami peningkatan tiga kali lipat jika dibandingkan dengan menggunakan budidaya biasa.

Kelebihan lain dari teknologi bioflok ini, kata Slamet, adalah bisa mengintegrasikan diri dengan sistem lain seperti hidroponik. Sistem tersebut,yaitu memanfaatkan air buangan limbah budidaya yang mengandung mikroba sebagai pupuk untuk tanaman sayuran.

“Tentunya ini adalah bentuk keberhasilan inovasi teknologi budidaya, dan sekaligus menjadi jawaban tepat bagiamana memenuhi kebutuhan pangan masyarakat saat ini. Inovasi teknologi harus mampu menjawab tantangan dan masalah, serta mampu memanfaatkan peluang yang ada,” tambah dia.

Manfaat positif yang dihasilkan dari teknologi tersebut, menurut Slamet, membuktikan kalau bioflok adalah teknologi yang ramah lingkungan. Fakta tersebut juga menjadi catatan positif karena teknologi budidaya perikanan kini mengarah pada konsep keberlanjutan.

(baca : Budidaya Lele Mulai Terapkan Teknologi Ramah Lingkungan)

Ketua I Assosiasi Pengusaha Catfish Indonesia Limsa Hemawan menyampaikan budidaya lele bioflok merupakan usaha yang mengandalkan teknologi, sehingga faktor kedisiplinan dalam penerapan prosedur operasi standar (SOP) menjadi sangat penting.

“Pendampingan teknologi harus dilakukan secara intens, dengan metode yang memungkinkan masyarakat memahami dan mengadopsi secara mudah,” jelas dia.

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,