Rawa Gambut “Gagap” Bicara. Pahamkah Masyarakat Tentang Restorasi Gambut?

 

 

Teater Potlot kembali mementaskan Rawa Gambut. Pertunjukan yang mengusung isu kerusakan lahan gambut di Indonesia tersebut ditampilkan pada masyarakat yang sebagian besar tidak memahami gambut, di Taman Budaya Lampung, Bandar Lampung, Lampung, akhir September 2017. Pahamkan penonton tentang restorasi gambut?

“Terus terang saya tidak paham mengenai rawa gambut. Kalau pergi ke dusun dan melihat rawa gambut, selama ini saya lihat sebagai lahan terlantar. Saya ketahui, jika ingin dihindarkan dari bencana kebakaran, lahan tersebut harus dikelola atau dimanfaatkan,” kata Iskandar, salah satu pemimpin redaksi media cetak di Lampung.

“Setelah menyaksikan pentas Rawa Gambut, saya mulai mengerti. Perubahan iklim ternyata dipicu juga akibat kerusakan gambut yang diikuti berbagai kepentingan yang ikut merusaknya. Saya setuju, rawa gambut harus diselamatkan, direstorasi seperti yang diinginkan pemerintahan Jokowi-JK,” lanjutnya.

 

Baca: Teater Potlot: Lahan Gambut Adalah Aku, Juga Dirimu!

 

Penyair Isbedy Setiawan ZS, mengaku cukup terkejut dengan petunjukan Rawa Gambut ini. “Ini sesuatu yang baru. Setahu saya, belum ada seniman, khususnya seniman teater yang fokus pada persoalan gambut. Ada yang baru.”

“Potlot tidak bermain di wilayah individu atau memainkan naskah-naskah asing yang terkadang jauh dari persoalan negeri ini. Potlot selalu fokus pada persoalan utama di negara ini. Saya pikir, masyarakat Lampung yang hanya sebagian kecil mengenal gambut akan memahami persoalan ini,” kata penyair yang disebut “paus sastra Lampung” ini.

“Selama ini masyarakat Lampung hanya paham ada lahan dan hutan terbakar, dan menyebabkan kabut asap. Mereka tidak banyak yang paham kebakaran tersebut terjadi di lahan gambut seperti di Sumsel, Riau dan Jambi,” katanya.

 

Salah satu fragmen dalam drama “Rawa Gambut” yang dipentaskan di Palembang, Sematera Selatan, beberapa waktu lalu. Foto: Ridzki R Sigit/Mongabay Indonesia

 

Terkait upaya perbaikan atau restorasi lahan gambut, kata Isbedy, pemerintah harus mampu memilah antara kepentingan lingkungan hidup, pengusaha, dan masyarakat.

“Perambahan lahan yang dilakukan masyarakat itu semata untuk hidup, beda dengan para pengusaha yang ingin kaya. Untuk itu, harus ada kebijakan yang tepat terhadap masyarakat, sehingga lingkungan tetap terjaga dan masyarakat dapat hidup,” lanjutnya.

Sebagai informasi, dari luas Lampung yang sekitar 3,5 juta hektare, pada 2011 tercatat sekitar 49 ribu hektare merupakan lahan gambut. Berdasarkan pemantauan Mongabay Indonesia, yang mana wilayah gambut tersebut berada di wilayah pesisir timur, sudah berubah menjadi pertambakan udang dan ikan, lahan pertanian, dan perkebunan.

Gambut yang tersisa itu, kemungkinan besar akan berkurang, sebab pemerintah Lampung melihatnya sebagai potensi pembesaran udang dan ikan. Lokasi itu disebutkan berada di pantai timur Lampung yang membentang seluas 52.500 hektare.

 

Kanal di lahan gambut. Beberapa tahun lalu kanan dan kiri kanal ini terbakar, saat ini mulai kembali hijau. Foto: Taufik Wijaya/Mongabay Indonesia

 

Rawa gambut gagap bicara

Berbeda dengan pertunjukan sebelumnya, seperti di Taman Budaya Sriwijaya, Palembang, dalam penampilan ini kali, berbagai ujaran yang disampaikan para aktor dengan dialek gagap atau terpotong-potong seperti anak yang baru belajar membaca.

Pengucapan yang tidak lancar ini menurut Conie Sema, selaku penulis dan sutradara pertunjukan, sebagai potret kekinian terkait restorasi gambut di Indonesia. “Bahasa yang digunakan begitu banyak, baik yang dikampanyekan maupun didiskusikan oleh berbagai pihak. Tapi semuanya seakan sia-sia. Masih banyak pihak yang tidak begitu menerima upaya restorasi gambut. Semuanya menjadi gagap. Begitulah kondisinya,” kata Conie.

Kondisi ini jika tidak berubah atau kian tak jelas, maka pertunjukan selanjutnya akan kami tampilkan kian gagap. Bahkan, tak ada lagi kalimat yang disampaikan. “Mudah-mudahan lahan rawa gambut memang benar-benar terselamatkan ke depannya,” harap Conie.

 

Baca juga: Membawa Realisme Rawa Gambut dalam Pertunjukan Teater Potlot

 

Iswadi Pratama, ketua Teater Satu, menilai kerusakan lahan gambut di Indonesia karena lemahnya pemahaman masyarakat dan penyelenggara negara mengenai lahan gambut.

“Secara budaya, masyarakat kita melihat gambut itu hanya lahan yang tidak dapat dikelola. Kecuali diambil hasil dari hutan dan rawanya. Bahkan saat hutannya rusak, masyarakat maupun penyelenggara negara melihatnya sebagai lahan tidak produktif, lahan kosong, sehingga ketika dikuasai perusahaan tidak ada penolakan dari masyarakat maupun pemerintah,” kata Iswadi.

Ketika ada persoalan, seperti kebakaran dan munculnya isu pemanasan global, gambut baru menjadi perhatian. “Itu sudah terlambat. Baru saat ini pemerintah ingin melakukan restorasi,” kata Iswadi yang beberapa kali mementaskan karyanya di Eropa.

Restorasi gambut tersebut, menurut dia, masih berjalan lamban, sebab pemahaman gambut belum menjadi pengetahuan umum di masyarakat. Termasuk, yang hidup di sekitar gambut. Jika restorasi gambut berjalan lancar, harus ada upaya luar biasa dalam menyampaikan pemahamannya. “Baik pada masyarakat maupun penyelenggara negara, khususnya di tingkat desa dan kabupaten,” lanjutnya.

Terkait dengan pertunjukan Teater Potlot, Iswadi menilai sebagai sebuah karya seni merupakan pertunjukan yang menarik, tapi sebagai upaya memberikan pemahaman terhadap masyarakat, apalagi bagi masyarakat yang tidak tahu gambut, membutuhkan “penerjemah”.

“Tetapi, sebagai teks sudah cukup memberikan kejutan bagi masyarakat. Semoga, memberikan kesadaran untuk melakukan perlindungan atau perbaikan lahan gambut,” tegasnya.

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,