Perdagangan Satwa Lewat Sosial Media Makin Menggila, Berikut Datanya

 

 

Perdagangan satwa liar dilindungi melalui jejaring sosial media makin marak. Wildlife Conservation Society (WCS) mencatat, 2011-2017 tercatat ada 49 kasus ditangani pihak berwajib. Angka ini ibarat puncak gunung es, banyak kasus perdagangan belum tertangani.

Noviar Andayani, Direktur WCS, dalam diskusi bersama media di Manggala Wanabakti Jakarta, Jumat (13/10/17) mengatakan, alihfungsi lahan mengakibatkan kehilangan habitat, sampai perdagangan satwa jadi ancaman serius.

“Kami intensif kembangkan berbagai strategi dan cara menyidik lebih dalam penggunaan media sosial untuk perdagangan satwa liar dilindungi. Dari berbagai kasus, 40% perdagangan satwa melalui sosial media seperti Blackberry Messanger atau Facebook. Perdagangan melalui situs jual beli online juga makin marak dan terus meningkat,” katanya.

Data WCS 2015, menunjukkan ada banyak satwa diiklankan melalui Facebook, seperti cenderawasih (tiga kasus), kakatua (95), elang (291), enggang (118), kerak ungu (5), beo (45), pegar (69) dan merpati (6).

Catatan WWF 2015, selama 10 tahun di Sumatera, ada delapan ton gading gajah diperjualbelikan. Satwa lain 100 orangutan, 2.000 kukang, 2.000 trenggiling, dan satu juta telur penyu.

Profauna juga mencatat sejak Januari hingga pertengahan Desember 2015, setidaknya ada 5.000 kasus perdagangan satwa liar secara online melalui sosial media.

Angka ini meningkat dibandingkan 2014 ada 3.640 iklan. Data 2017, ada tujuh gajah, 15 harimau dan satu badak mati. Lima kasus hasil penyelundupan di bandara.

Data-data ini, katanya, sudah disampaikan ke Dirjen Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dan Bareskrim Polri dengan harapan penegakan hukum bisa lebih serius.

Selain mendorong penegakan hukum lebih serius, mereka juga memulai program edukasi dan outreach kepada masyarakat agar lebih peduli pelestarian satwa liar.

WCS bersama pemerintah,  katanya, menerbitkan buku petunjuk identifikasi satwa-satwa liar dilindungi. Buku ini disebarkan kepada pihak berwajib seperti petugas di bandara, pelabuhan dan lain-lain.

“Kami juga bekerjasama dengan Angaksa Pura II sosialisasi satwa dilindungi di bandara yang dikelola mereka. Kami berikan buku. juga juga kami lakukan dengan Bea Cukai,” katanya.

Kerjasama lain bersama komunitas pelaku e-commerse membuat news letter sebagai upaya sosialisasi menghindari perdagangan satwa dilindungi melalui jejaring internet.

“Kami publikasikan daftar satwa dilindungi, bentuk,  bagian, nama latin.”

 

Bayi orangutan ini hendak dijual melalui jejaring online. Brigade Bekantan, Satuan Polisi Hutan Reaksi Cepat Balai Pengamanan dan Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan, berhasil menggagalkan perdagangan ini dan menangkap pelakunya. Foto: Putri Hadrian/Mongabay Indonesia

 

Benvika, aktivis Jakarta Animal Aid Network (JAAN) mengatakan, perdagangan satwa liar dilindungi makin meningkat dari tahun ke tahun. Tahun ini, ada sembilan kasus ditangani Mabes Polri.

“Sebenarnya mengungkap perdagangan satwa liar melalui media sosial tak susah-susah banget. Kita tahu ID-nya apa, akun apa, pait-paitnya kalau tak bisa, kita bisa gunakan hacker,” katanya.

Benvika juga menyoroti perdagangan satwa oleh lembaga konservasi. Hal ini,  katanya, sangat membahayakan, meski jumlah terbilang sedikit.

“Ada modus perdagangan satwa di balik izin lembaga konservasi. Kita sudah investigasi. Misal,  ada perdagangan lumba-lumba dari lembaga konservasi ke lembaga konservasi lain. Ini bahaya. Memang ada aturan tetapi bukan dari jual beli.”

Jadi masalah, katanya, lembaga konservasi ini mengambil lumba-lumba dari alam dengan ilegal. “Ini masif, sangat berbahaya. Dilakukan karena ada  izin.”

Dalam kasus perdagangan satwa, katanya,  seharusnya antara penjual dan pembeli juga pemelihara sama-sama kena hukuman.

Soal aturan peragaan satwa, katanya, hapus saja. Dengan masih peragaan satwa, otomatis menyebabkan banyak orang tertarik memelihara satwa liar dilindungi.

“Misal, di Lapangan Banteng,  beberapa waktu lalu. Ada yang meminta kita menampilkan elang. Kita tolak. Kami pikir jika elang dipertontonkan akan mendorong orang-orang tertarik memelihara elang. Begitu juga lumba-lumba dan satwa liar lain.”

Achmad Pribadi, Kasubdit Pencegahan dan Pengamanan Hutan Wilayah Jawa dan Bali KLHK mengatakan, sebagai pencegahan perdagangan satwa liar, KLHK melakukan berbagai langkah.

Dia tak menampik perkembangan cyber makin meningkat. Teknologi online sangat canggih. Mengatasi ini, katanya, KLHK menjalin  kerjasama dengan berbagai pihak, baik LSM maupun kepolisian.

“Kita juga ada satgas yang aktif. Mulai mendata pergerakan satwa bagaimana perkembangan. Mematai media sosial seperti Facebook, Instagram. Pelaku e-commerse kita libatkan.”

KLHK, katanya, juga sudah bertemu Kementerian Informasi.  “Mereka antusias. Serius mau membantu penegakan hukum ini. Tindakan bisa bermacam-macam. Bisa diblokir, diusut polisi dan lain-lain.”

Penyidik Kanit II Subdit II Tindak Pidana Cyber Crime Polri Idham Wasiadi mengatakan, mengatasi perdagangan satwa dilindungi melalui online, sudah ada program Interpol Operation Crime di beberapa negara berkala operasi bersama. Polri ikut terlibat.

Untuk mengungkap, katanya, bukan perkara mudah. Pelaku seringkali pakai identitas tak dikenal. Meski begitu, bukan berarti tak bisa diungkap.

Soal penegakan hukum, katanya, sejauh ini memang belum ada pasal berlapis. Noviar bilang, kepolisian perlu menerapkan hal ini agar jadi pembelajaran bersama. Tanpa efek jera, penjualan satwa dilindungi akan makin marak.

“Kita perlu kerjasama mengambil satu kasus untuk jadi pilot case  dengan  menerapkan pendekatan multidoor. Ini bisa jadi pembelajaran.”

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,