Assingke (55) tersenyum sumringah. Kedua tangannya memegang minyak goreng dan sabun cuci bubuk. Bahan kebutuhan rumah tangga ini adalah hasil dari pertukaran sampah di Bank Sampah Unit Sehati RW 4, Kelurahan Parangloe, Kecamatan Tamalanrea, Makassar, Sulawesi Selatan.
Assingke sehari-hari bekerja sebagai tenaga kebersihan kecamatan sejak tiga tahun. Dulunya, sampah-sampah, yang kebanyakan botol minuman dan tisu, dikumpulkan lalu dibakar. Setahun terakhir kondisi berubah. Sebagian besar sampah-sampah itu ternyata bernilai uang.
“Dulu kalau ada sampah dikumpul saja, baru dibakar. Sekarang ada namanya Bank Sampah. Bisa ditukar dengan kebutuhan sehari-hari, bisa juga tambah-tambah pembeli rokok,” ujar Assingke kepada Mongabay, Rabu (11/10/2017).
Sampah-sampah yang dipungutnya di pinggir jalan, sekitar wilayah tol Makassar, bisa sampai dua karung dalam sehari. Sampah-sampah itu dibawa pulang ke rumah dengan berjalan kaki. Baru akan dijual jika jumlah sudah mencapai 10 karung atau lebih.
“Kalau banyakmi nanti dijemput mobil bank sampah di rumah. Bisa seminggu sekali. Pernah sampai 15 karung sekali ambil,” katanya bangga.
Bank sampah Unit Sehati RW 4 mulai didirikan setahun silam atas dukungan dari program Coastal Community Development International Fund for Agricultural Development (CCD-IFAD) yang dikelola oleh Dinas Perikanan dan Pertanian (DP2) Kota Makassar. Dibangun di lahan yang disewa kontrak dari warga.
Menurut Nurhayati, Direktur Bank Sampah Unit Sehati RW 4, sebelum adanya Bank Sampah ini sebenarnya telah ada upaya mengelola sampah mirip dengan yang ada sekarang. Hanya saja dulu masih dikelola secara sederhana. Bangunan tempat mereka mengumpulkan sampah pun masih berupa gubuk kecil bantuan dari pemerintah kelurahan setempat.
“Dulu memang kan ada programnya walikota harus ada Bank Sampah untuk setiap RW. Cuma karena anggaran terbatas makanya bangunan dan peralatan pun masih sederhana. Setelah ada program IFAD, selain bangunan juga ada motor sampah untuk angkut sampah di rumah-rumah warga,” katanya.
Bank Sampah sampah Unit Sehati RW 4 ini terlihat dikelola dengan baik. Setiap anggota diberikan buku tabungan. Setiap sampah yang masuk tidak dikumpulkan begitu saja, tetapi harus disortir sesuai dengan jenisnya.
“Setiap sampah nilanya berbeda makanya harus dipisah. Kita juga harus lihat kualitas sampahnya, kalau terlalu rusak atau remuk tidak akan kita ambil,” tambah Nurhayati.
Dalam pengelolaan Bank Sampah ini, selain Nurhayati sebagai Direktur, juga dibantu oleh sejumlah anggota lain, yang sebagian besar adalah perempuan. Suami Nurhayati, Parawansyah, juga membantu sebagai penasehat kelompok.
“Kalau dulu memang jumlah anggota itu 11 orang, cuma yang sangat aktif itu hanya enam orang saja. Sudah ada pembagan kerja masing-masing. Ada yang bertugas sortir, timbang dan mencatat.”
Jenis sampah bisa dibeli di Bank Sampah ini. Ada belasan jenis jumlahnya, termasuk dari bahan plastik, botol, kertas dan besi atau logam.
“Banyak sampah kita ambil. Sampah plastik saja bisa macam-macam, Pak. Kita bisa beli dengan harga Rp1.500 – Rp2.000 per kg. Lain juga harganya untuk sampah kertas, kardus, botol kaca dan koran. Logam juga macam-macam dan lebih mahal harganya.”
Ia mencontohkan sampah plastik minuman kemasan. Botol plastik yang yang memiliki tutup dan sudah dibersihkan mereknya harganya ternyata lebih mahal. Sementara sampah plastik yang masih utuh belum dibersihkan dan basah biasanya diberi dengan harga lebih murah, karena masih harus dibersihkan dan dikeringkan.
Menurut Nurhayati, karena namanya Bank Sampah, maka hasil pembelian biasanya harus ditabung dulu, tidak langsung diberikan hasil penjualannya ke nasabah. Apalagi jika sampah yang dikumpul hanya sedikit, sehingga banyak nasabah atau warga sengaja menyimpan uang mereka.
“Ada yang baru ambil kalau nilanya sudah mencapai Rp300 ribu. Kalau nilanya sedikit pasti tidak terasa. Ada juga yang tidak mau terima uang tunai tapi ditukar dengan sembako dan peralatan rumah tangga seperti baskom, sapu, dan lain-lain.”
Sampah-sampah yang telah dikumpulkan dari warga biasanya tidak langsung diangkut ke kantor pusat, namun menunggu hingga jumlahnya mencapai 1 ton, atau sekitar 40 – 50 karung, sesuai dengan daya muat mobil pengangkut sampah yang menjemput. Dalam sebulan pengangkutan bisa berlangsung hingga tiga kali.
Menurutnya, nilai sampah yang bisa dikumpulkan dalam sebulan sekitar Rp4,5 juta – Rp5 juta. Dalam setahun ini nilai transaksi telah mencapai Rp45 juta. Keuntungan dari Bank Sampah ini selain untuk biaya operasional dan menggaji anggota yang terlibat. Ada juga yang disimpan di tabungan kelompok.
Mengelola Bank Sampah ini ternyata bukan hal yang mudah. Tidak hanya terkait masih kurangnya kesadaran warga akan pentingnya menjaga kebersihan, tapi juga terkait adanya rasa malu menjual ‘sampah’ yang dipersepsikan sebagai hal yang kotor.
Masalah lain adalah warga awalnya kurang memahami fungsi Bank Sampah yang dimaknai bahwa semua sampah bisa dijual, tidak peduli jenis dan kondisinya.
“Awalnya memang kita kerja keras. Kendalanya warganya sudah siapkan sampah dalam karung, ternyata setelah kita bongkar, banyak sampah popok bayi atau sampah basah lain di dalamnya. Mereka belum tahu persis jenis sampah apa yang diterima di bank sampah. Jadi kita kemudian minta ke kelurahan untuk kembali sosialisasi ke ibu-ibu kalau ada pas kegiatan.”
Perubahan memang terjadi setelah gencarnya sosialisasi ini. Penjemputan sampah ke rumah warga pun sudah lebih mudah dengan kualitas sampah yang lebih baik.
“Sekarang memang kebanyakan dijemput sampahnya. Sudah jarang ada datang ke sini untuk antar sendiri sampahnya. Jadi mereka tidak perlu repot-repot dan merasa malu datang menjual sampah. Kita bahkan jemput sampah hingga ke lorong-lorong. Kita suruh saja mereka simpan sampahnya di depan rumah, kita jemput pakai motor viar ini. Catatannya ini tetap di sini dan mereka juga punya buku nasabah. Kita langsung timbang di sana. Ada juga beberapa orang kasih kepercayaan saja. Disuruh timbang saja.”
Keseriusan dan konsistensi Nurhayati dan anggota kelompok lainnya mengelola bank sampah ini telah membuahkan hasil yang nyata. Pada tahun 2016 lalu terpilih sebagai Bank Sampah terbaik tingkat kecamatan dan 10 besar bank sampah pendatang baru terbaik se-Kota Makassar.
Dampak lain adalah pada semakin tingginya kesadaran warga untuk menjaga kebersihan dan mengelola pembuangan sampahnya dengan baik. Di sekitar daerah tersebut sudah jarang ditemukan tumpukan sampah di pinggir-pinggir jalan.
“Dulu di daerah ini kotor sekali, tapi Alhamdulillah sekarang sudah semakin bersih dan rapi dengan adanya Bank Sampah ini. Ini membantu sekali, apalagi jangkauannya bisa ke RW lain. Kita juga rajin sosialisasi ke masyarakat dan syukurnya ada perubahan terkait budaya bersih ini,” ungkap Andi Husain, Lurah Parangloe.