Kopi Konservasi dari Gunung Sindoro Sumbing

 

Angin Oktober,  berdesir lembut. Saya melirik angka pada aplikasi cuaca, 19 derajat celcius, jam menunjukkan pukul 10 pagi. Cukup dingin.

Kala memandang ke Selatan, Puncak Gunung Sumbing tertutup awan. Gunung Sindoro di Utara tak tampak karena berselimut awan dari kaki hingga puncaknya. Saat cerah kedua gunung sebenarnya mudah diamati dari Jalan Parakan-Wonosobo yang membelah keduanya.

Minggu, 1 Oktober lalu, adalah Hari Kopi Sedunia. Pada sebidang tanah di pertemuan jalan lama dan baru menuju jembatan Sigandul, Tlahap, Kledung, Temanggung,  ratusan orang menikmati suguhan kopi Jawa yang tumbuh di Lereng Sumbing dan Sindoro.

Ada kedai kopi dan gardu pandang di sana. Pengunjung antusias menyeruput kopi Jawa sembari menikmati hawa pegunungan.

Para petani dan pedagang kopi Temanggung yang tergabung dalam Masyarakat Perlindungan Indikasi Geografis Kopi Arabika Jawa Sindoro Sumbing (MPIG KAJSS) merayakan dengan menggelar minum kopi bersama. Kali ini, mereka sepakat tak membawa nama brand yang biasa diusung.

“Ada 30 penghasil kopi dari Sindoro Sumbing ikut. Mereka muncul memakai satu nama, kopi Arabika Jawa Sindoro Sumbing, “ kata Tuhar, ketua MPIG KAJSS. “Agar Sindoro Sumbing tak hanya dikenal hasilkan tembakau, juga kopi,” katanya.

 

Menikmati kopi Jawa Sindoro Sumbing. Foto: Nuswantoro/ Mongabay Indonesia

 

Kopi aroma tembakau

Di Lereng Sindoro-Sumbing, kopi biasa ditanam di antara tembakau. Sebagian memakai sistem tumpang sari, antara tembakau, kopi dan sayuran. Kopi juga mengisi batas tanah atau galengan kebun.  Karena sifatnya higroskopis, arabika Jawa di daerah ini lantas beraroma tembakau.

“Ini jadi ciri khas kopi Arabika Jawa Sindoro-Sumbing. Ciri ini sudah dikenal hingga ke luar negeri.”

Upaya perlindungan dengan mendaftarkan ke Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual untuk memperoleh hak paten sudah dilakukan. Kopi Arabika Jawa Sindoro-Sumbing mendapat pengesahan pada 1 Desember 2014.

“Kopi arabika bagus ditanam di atas 900 mdpl. Makin tinggi lahan pertanian makin bagus kualitas kopi yang dihasilkan. Padahal,  kawasan pertanian Sindoro Sumbing bisa mencapai 1.800 mdpl,” kata pria juga ketua Kelompok tani Daya Sindoro, Desa Tlahap ini.

Permintaan varian kopi khas Temanggung pun terus meningkat. Peminat kopi spesiality (premium) dari luar negeri tak jarang mendatangi dan bertemu langsung dengan Tuhar juga pemilik kafe kopi yang menjamur di kota-kota besar. Dengan harga kopi bagus dan stabil membuat petani mulai tertarik menanam kopi.

Data BPS Temanggung menyebutkan, untuk Kecamatan Kledung,  lahan panen tembakau pada 2015 seluas 1.821 hektar dengan panen 1008,83 ton. Untuk kopi luas 579,19 hektar, dengan produksi 554,55 ton.

Di Desa Tlahap, luas lahan tembakau 223,08 hektar, produksi 124,70 ton, kopi 89.62 hektar dengan produksi 86,30 ton.

Dua tahun lalu (2013), luas lahan tembakau Kledung ada 2.246 hektar, produksi 786 ton, kopi 325 hektar produksi 390,20 ton. Sedang Tlahap lahan tembakau  semula 275,15 hektar produksi 97,15, dan kopi ada 50,29 hektar produksi 60,73 ton.

Data itu menunjukkan,  ada penyusutan luas lahan tembakau, dan perluasan kopi baik skala Kledung maupun Tlahap. Kondisi ini,  jadi kabar baik bagi upaya konservasi lahan mengingat tembakau sebagai tanaman semusim berakar pendek. Ia tak mampu menyimpan air.

Tembakau juga harus tumbuh langsung mendapat sinar matahari hingga meniadakan pohon naungan yang berusia tahunan.

 

Perbaikan tanah

Dadi Riswanto dari Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Temanggung, mengatakan, kopi arabika menjadi pilihan konservasi di sana karena cocok di dataran tinggi. Sedang robusta di daerah lebih rendah. Dibanding robusta yang lebih dulu banyak ditanam, arabika kalah jauh.

Hingga kini robusta di Temanggung mencapai 9.000-an hektar, arabika baru 2500-an hektar.

“Penanaman arabika terus ditambah, ditanam di lereng-lereng. Daerah tembakau adalah tujuan konservasi,” katanya. “Diharapkan ada pengurangan erosi, top soil tak makin berkurang, air terjaga, dan bisa menambah pendapatan petani.”

Hilangnya top soil terbukti memperberat beban petani mengolah lahan. Selama ini,  katanya, biaya produksi penanaman tembakau makin bertambah karena biaya pembelian pupuk kandang naik seiring top soil hilang. Kalau 2001,  satu hektar lahan tembakau perlu empat sampai lima rit pupuk kandang, kini delapan rit.

“Saya orang (warga) Gentingsari, Bansari. Tahun 2002,  sumber air banyak. Sekarang, kemarau air untuk mandi sudah sulit. Suhu makin panas karena tanaman tahunan berkurang.”

Desa Gentingsari, Kecamatan Bansari,  tempat tinggal dia berada di kaki Sindoro, dan berbatasan dengan Kabupaten Wonosobo. Seharusnya pegunungan jadi daerah tangkapan air.

 

Tuhar, Ketua Umum MPIG-KAJSS. Foto: Nuswantoro/ Mongabay Indonesia

 

Tanaman perkebunan selain kopi untuk konservasi adalah jeruk. Tanaman ini cocok ditanam di Temanggung, namun ancaman serangan virus masih menghantui bikin petani ragu.

Satu lagi dalam pengembangan adalah alpukat. Bahkan kopi dengan naungan alpukat telah memunculkan kopi beraroma alpukat yang dikembangkan salah satu UKM sebagai kopal, kopi alpukat.

“Paling cocok memang kopi, karena tajuknya bisa dipangkas, diatur. Kopi umur empat tahun hanya menaungi dua hingga tiga tembakau. Lima tahun sekitar lima tembakau. Kalau alpukat atau jeruk lebar hingga banyak tanaman tembakau ternaungi. Petani tak suka.”

Syaifudin, penyuluh pertanian, di Glapansari, Parakan,  tempat kopal berasal menerangkan minat petani menanam kopi juga meningkat seiring diterimanya varian kopi alpukat oleh penikmat kopi.

Tahun ini, katanya, ada rencana menanam alpukat 4.000 pohon di Glapansari. Bersanding dengan kopi robusta dan arabika yang sudah ada.

 

Ekonomi petani

“Kalau dirawat bagus,  satu pohon (kopi) setahun bisa hasilkan 10 kilogram, buah chery,” kata Tuhar.  Maksud chery itu kopi petik merah. Petani rata-rata hasilkan dua kilogram tiap pohon.

“Tahun lalu, saya membeli kopi basah dari petani Rp9.000-Rp10.000 per kilogram. Panen sekitar Mei, Juni, Juli. Agustus habis.”

Kata Tuhar, Kopi Tlahap untuk satu kg green bean bisa Rp90.000. Jika diproses menjadi roasted bean jadi Rp300.000 per kilogram. Sebagian petani sudah mampu mengolah kopi jadi roasted bean, berarti menambah keuntungan mereka.

Mukidi, Wakil Ketua MPIG KJASS, menerangkan,  kopi dan tembakau menjadi produk saling melengkapi di sisi pendapatan petani.

“Saya melihat ada sirkulasi pendapatan tak pernah mati di tingkat petani. Tak ada persoalan sebenarnya antara kopi dan tembakau. Kopi hingga Juli,  selesai panen, tembakau baru mulai panen.”

Pola itu membuat petani tembakau merasa kopi bisa menyelamatkan pendapatan mereka tatkala harga tembakau jeblok.

“Kopi buat jaga-jaga, kalau harga tembakau jatuh paling tidak ada uang dari kopi. Juni-Juli juga pas musim pendaftaran sekolah, ini bersamaan masa usai panen kopi. Dari kopi bisa untuk biaya pendidikan,” ucap Tuhar.

Mukidi adalah petani sekaligus salah satu penggerak konsep kemandirian petani kopi. Dia mulai menggeluti kopi sejak 2001. Sembari konservasi lahan kritis dengan kopi, dia mengajak para petani di Bulu mengolah kopi hingga siap minum.

“Saya ingin dari hulu sampai hilir, dari penanaman sampai pengolahan hasil panen petani melakukan dengan tepat untuk menambah pendapatan. Yang di Tlahap teman-teman sudah bisa merasakan nikmatnya kopi. Mimpi saya, suatu saat para petani punya showroom hasil pertanian mereka sendiri.”

Pada 2012, Tuhar mengirim kopi hingga Korea. Diawali dua ton, meningkat jadi empat ton pada 2013. Pada 2015,  dia mengirim lebih banyak lagi,  delapan ton.

“Sebenarnya Korea minta dua kontainer, tetapi bisa ambil kopi dari mana?” Permintaan banyak, dia belum sanggup memenuhi karena pasokan kurang. “Setiap tahun memang ada penambahan pohon baru, itupun belum cukup.”

Di Kledung,  ada 37 kelompok tani. Setiap kelompok tani mendapat bantuan bibit kopi 25.000 pohon. Untuk mengejar target penanaman, kelompok tani juga melakukan program pembibitan kopi.

Saya menyeruput  kopi arabika Jawa Sindoro Sumbing sebelum meninggalkan area. Rasa asam lembut terasa di lidah hingga ke pangkal gigi. Gunung Sumbing membiru. Awan putih beranjak dari puncaknya.

 

 

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,