Akankah Sumatera Selatan Menjadi Provinsi Pertama, yang Menerapkan Perda Perlindungan Gambut?

 

 

Pemerintah Sumatera Selatan bakal menjadi provinsi pertama di Indonesia yang melahirkan Peraturan Daerah (Perda) Perlindungan Gambut. Perda ini akan mengatur pengelolaan dan perlindungan gambut, mulai dari pembasahaan hingga perlindungan cagar budaya.

“Ada enam tujuan perda ini terkait upaya pengendalian ekosistem gambut. Pertama, menjaga keseimbangan dan kelestarian ekosistem gambut agar dapat memberikan manfaat sosial, ekonomi, budaya, ekologi bagi masyarakat,” kata Dr. Najib Asmani, Koordinator Tim Restorasi Gambut (TRG), seusai diskusi naskah Raperda Perlindungan Gambut dengan pegiat lingkungan, pelaku usaha, budayawan, dan praktisi hukum, di Palembang, Sumatera Selatan, 12-13 Oktober 2017.

Kedua, menjamin kepastian, keadilan dan kemanfaatan kepada semua pihak yang memanfaatakan lahan gambut. Ketiga, menghormati dan menghargai kerarifan lokal, hak-hak masyarakat berupa kepemilikan, penguasaan, akses dan kontrol terhadap lahan gambut. Keempat, membangun kesadaran masyarakat dalam pemanfaatan lahan gambut secara baik.

Kelima, membangun partisipasi seluruh komponen masyarakat untuk terlibat secara aktif mencegah kerusakan ekosistem gambut dengan cara menjaga keseimbangan dan kelestariannya secara berkelanjutan. Keenam, membangun partisipasi dan kepedulian berbagai pihak termasuk lembaga-lembaga non-pemerintah untuk terlibat dalam pengendalian ekosistem gambut agar memberi manfaat untuk keberlangsungan kehidupan.

 

Baca: Perda Pelestarian Gambut Bakal Ditetapkan Tahun Depan di Sumatera Selatan, Tercapaikah?

 

Target restorasi gambut di Sumatera Selatan (Sumsel) cukup luas, yakni berkisar 600 ribu hektare. Ruang lingkup peraturan daerah ini adalah mulai dari perencanaan, reweting dan pengelolaan ekosistem gambut, revegetasi, pengendalian kerusakan, revitalisasi peran masyarakat, perlindungan hak-hak masyarakat dan cagar budaya di Kesatuan Hidrologi Gambut, serta monitoring dan evaluasi.

Sebagai informasi, Perda Perlindungan Gambut ini merupakan inisiatif DPRD Sumsel. Sementara TRG Sumsel, hanya menawarkan naskah akademik atau menawarkan raperda ke DPRD Sumsel untuk digodok menjadi perda. “Semoga, naskah akademik dari TRG Sumsel ini diterima dan akhir tahun 2017 ini segera ditetapkan DPRD Sumsel sebagai perda,” kata Najib.

 

Kanal di lahan gambut. Beberapa tahun lalu kanan dan kiri kanal ini terbakar, saat ini mulai kembali hijau. Foto: Taufik Wijaya/Mongabay Indonesia

 

Masyarakat adat, cagar budaya, dan koridor satwa

Keberadaan masyarakat adat dan cagar budaya turut menjadi perhatian raperda ini. “Kami juga memuat pasal bahwa dalam penyusunan rencana perlindungan dan pengelolaan ekosistem gambut harus memuat perlindungan hak-hak masyarakat adat dan lokal, termasuk wilayah kelolanya. Sementara cagar budaya akan menjadi perhatian dalam penyusunan rencana kerjanya,” kata Najib.

Safredo dari The Zoological Society of London (ZSL), sangat mengapresiasi raperda tersebut yang memperhatikan hak-hak masyarakat adat dan cagar budaya, “Sebab, dampak kerusakan bentang alam gambut juga turut menghancurkan nilai-nilai budaya di masyarakat, khususnya masyarakat adat. Bahkan, tradisi kuliner pempek, ikan asap, terancam hilang atau mengalami perubahan rasa ketika bahan bakunya sulit didapatkan karena perubahan bentang alam gambut,” katanya.

Cagar budaya atau situs sejarah permukiman Kerajaan Sriwijaya memang terus ditemukan di lahan gambut yang beberapa tahun terakhir mengalami kerusakan. “Jika tidak segera dilindungi bersama gambutnya, Indonesia akan kehilangan identitas sejarahnya yang pernah dibesarkan oleh Sriwijaya,” jelasnya.

 

Baca juga: Tahun Depan, Produk Kerajinan Gambut akan Dijual di Pasar Moderen. Benarkah?

 

Yayan Indriatmoko dari TRG Sumsel menjelaskan, Raperda Perlindungan Gambut ini memang melihat lahan gambut sebagai sebuah lansekap. Sehingga, bukan hanya kepentingan ekologi dan ekonomi yang akan diperhatikan, juga dari sisi sosial dan budaya. “Menjaga bentang alam yang lestari, artinya menjaga peradaban luhur.”

Yang lebih penting, raperda ini juga mendorong penetapan koridor satwa khas Sumatera yang kian langka yakni gajah dan harimau. “Kita menginginkan koridor dua satwa tersebut tidak diganggu jika ada pemanfaatan lahan gambut,” ujarnya.

 

Seekor gajah betina dan anaknya di Suaka Margasatwa Padang Sugihan Sebokor, Kabupaten Banyuasin, Sumsel. Foto: Taufik Wijaya/Mongabay Indonesia

 

Terkait revitalisasi ekonomi masyarakat dalam memaknai lahan gambut, ada beberapa aktivitas ekonomi terkait pengelolaan gambut yang akan didorong yakni padi, pengelolaan ikan, kerbau, purun, bambu, serta walet.

“Semua kegiatan ekonomi tersebut kami nilai dapat menjaga gambut dari kerusakan. Persawahan di gambut kita dorong selain sebagai pencegahan sonor dan mendukung ketahanan pangan,” kata Dr. Yenrizal Tarmizi, Wakil Koordinator TRG Sumsel.

Upaya ini dilakukan agar masyarakat di sekitar gambut kembali hidup arif terhadap lingkungan, dan meninggalkan kegitan seperti bersonor, merambah hutan, serta kegiatan ekonomi tidak lestari lainnya.

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,