Ancam Sumber Air Merauke, Warga Protes Galian Kanal

 

Warga Kampung Bokem, Merauke, Papua, protes ada yang membuat kanal selebar sekitar 10 meter mengarah ke Rawa Biru. Mereka khawatir terjadi banjir dan intrusi air laut hingga merusak sumber air tawar di Rawa Biru. Wargapun beramai-ramai memasang sasi (tanda adat sebagai penanda larangan).

 

Yoseph Mario Mahuze, tokoh adat Kampung Bokem, terlihat marah ada penggalian kanal melewati tanah adat di belakang kampungnya. Dia tak rela hutan adat tergali jadi kanal (drainase) dan mengancam kehidupan mereka. Hutan itu warisan moyang mereka, Warengga dan Waramba kepada Marga Mahuze dan Marga Gebze.

Waktu menunjukkan pukul 14.00, kala dia mengajak saya melihat aksi warga memasang sasi, dengan memalang alat berat agar tak beroperasi lagi.Sebelumnya, Yoseph sudah protes kala galian kanal di dekat rumahnya yang tepat bersebelahan dengan Taman Nasional Wasur. Ternyata, bikin kanal tetap jalan di belakang kampung.

Ada sekitar 10 warga bersama Yosep menggunakan truk menuju belakang kampung. Sesampainya di sana, mereka memasang sasi.

Warga memancangkan patok tanda batas penggalian. Di ujung patok dililitkan kain putih. Mereka memotong kayu ukuran besar dan menanamkan di semua jalan keluar masuk alat berat. Janur kuning mereka lilitkan di batang-batang kayu itu.

Beberapa perempuan pun beraksi dengan hujatan kepada pekerja. ”Bilang kontraktor jangan melanggar lagi. Bahaya sekali, bisa terjadi pertumpahan darah karena tanah.”  “Kami tak bertanggungjawab kalau kalian korban. Kami berhak mempertahankan tanah adat milik kami,” kata beberapa perempuan.

Simon Balagaize, pemuda Marind mengatakan, semua alat berat dilarang lewat di tanah adat mereka.

Kala dia menanyakan pimpinan proyek, pekerja bilang tak ada dan mereka tak tahu alasan bikin kanal di lahan adat. “Kami  bertugas untuk bekerja saja,” kata seorang pekerja.

Yoseph pun menancapkan sebatang kayu di dekat pekerja dengan pesan harus bertemu pemilik tanah ulayat di Kampung Bokem.

Menurut Yoseph, kalau lahan di sekitar itu tergali akan mempermudah air laut masuk ke darat dan membahayakan sumber air tawar Rawa Biru. “Bila diukur sangatllah tinggi (keadalaman-red) dan lebar 10 meter. Dalamnya sekitar dua meter,” katanya.

Dia memalang bukan menolak proyek pemerintah tetapi tak ada pemberitahuan atau sosialisasi kepada pemilik tanah adat.

Dengan nada agak tinggi, dia menekankan galian harus ditutup lagi.  “Jelas proyek ini ilegal, saya pasti bawa semua kunci alat berat, menunggu kejelasan dari pemerintah kabupaten, provinsi dan pusat,” katanya.

Proyek ini memanjang di wilayah sumber air Rawa Biru. Air rawa ini merupakan pasokan air tawar bagi masyarakat Merauke.

Kanal ini membelah hutan dan rawa sampai di belakang Kampung Bokem. Di sekitar Wasur II hingga Kampung Bokem, sudah banyak terbangun kanal-kanal.

 

Lahan sudah diberi penanda putih oleh pekerja. Artinya lahan siap digali jadi kanal. Foto: Agapiitus Batbual/ Mongabay Indonesia

 

Yoseph khawatir, kalau proyek penggalian terus jalan, menimbulkan masalah besar. Selain sumber air tawar, dusun sagu juga terancam. Abrasi besar-besaran juga bisa terjadi.

Dia mengenang peristiwa beberapa tahun lalu, penduduk Bokem harus mengungsi karena tanaman terendam air asin di jalur Bokem, Dusun Nadalir,  Kampung Nazem hingga Kampung Kondo,  Dusun Natiskai, Yarando.

Dia berharap, Pemerintah Merauke tak pangku tangan melihat kerusakan alam daerah ini. “Sumur yang dibangun depan Kampung Bokem sudah terkontaminasi air laut.”

Yoseph menduga proyek ini jalan karena ada oknum warga mengaku pemilik hak. Padahal, secara adat menyalahi hukum yang tergabung dari Kondo hingga Digoel. “Mengaku pemilik hak ulayat, padahal oknum itu tidak tahu adat.”

Tanah Suku Marind, katanya, sudah terbagi habis. Daerah Marind sampai Digoel habis terpakai. Dia bilang, pelaksana proyek harus tahu batas-batas dalam adat.

Simon mengatakan, galian kanal air laut bisa masuk dan terjadi intrusi air asin ke Rawa Biru. “Bila terjadi, rawa moyang tidak ada, dusun sagu hilang, bedengan milik orang Marind yang disebut wambat akan hilang.”

Pemerintah, katanya, dalam menjalankan pekerjaan harus berkoordinasi dengan pemilik layat.

Kristian Ndiken, Kepala Distrik Merauke juga belum tahu proyek ini. Dia bilang, sistem seperti ini akan membuat masalah. Terlebih, kanal dibangun musim hujan, air laut meluap karena arus masuk. “Pasti mengganggu Rawa Biru, sebagai sumber air minum bagi semua penduduk Merauke.”

Dia berharap,  semua pihak memperhatikan kondisi ini dan berkoordinasi dengan pemerintah terbawah, seperti kepala distrik.

“Izin harus diberikan dulu oleh distrik melalui marga-marga Marind,” ucap Ndiken.

Gali kanal (drainase) harus memperhitungkan dampak, termasuk keterancaman air bersih. Bila air tawar terkontaminasi air laut, katanya, masyarakat pasti akan susah.

 

Warga memberi penanda larangan alat berat gali kanal. Foto: Agapitus Batbual/ Mongabay Indonesia

 

Pastor Anselmus Amo, Direktur SKP Kame angkat bicara. “Ada maksud apa dibangun di belakang  kampung. Jaraknya jauh.  Sementara banyak drainase sebelumnya digali. Proyek apa lagi?” katanya.

Pimpinan proyek, katanya, harus menjelaskan soal galian kanal melintasi hak ulayat ini. Bukan hanya sosialisasi, katanya, analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) dan izin lingkungan juga harus jelas.

“Karena bisa mencemari alam terutama (pasokan air) PDAM. Soalnya galian tepat menuju ke Rawa Biru dan Taman Nasional Wasur. Jelas, proyek ini berdampak buruk bagi masyarakat luas, karena air asin pasti masuk. Jadi kajian lingkungan perlu dilakukan, harus pertemukan. Masyarakat mulai resah.”

Frederikus Gebze, Bupati Merauke bilang, penggalian  drainase belakang Kampung Bokem,  tidak jelas. Dia bahkan tak tahu proyek itu.

“Tentu, harus melalui laporan dan harus diketahui Inspektorat.  Proyek itu harus sesuai Amdal atau kondisi lingkungan apalagi musim hujan.”

Dia memina, aparat pemda segera melihat sejuh mana kegiatan ini. “Ketakutan pemilik ulayat, intrusi air laut masuk, itu wajar. Orang Merauke harus memiliki kesadaran proyek ini berdampak pada lingkungan hidup,”  katanya seraya bilang akan menindaklanjuti dengan pantau langsung ke lapangan.

 

Alat berat yang siap mengeruk lahan jadi kanal. Foto: Agapitus Batbual/ Mongabay Indonesia

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,