Masyarakat Indonesia Semakin Suka Makan Ikan?

 

Minat masyarakat Indonesia untuk mengonsumsi ikan dalam tiga tahun terakhir mengalami peningkatan. Selama periode waktu tersebut, konsumsi ikan secara nasional mengalami kenaikan sangat banyak hingga mencapai 1,2 juta ton. Capaian tersebut, menunjukkan kalau kampanye makan ikan di seluruh Nusantara mulai memperlihatkan hasil.

Demikian dikatakan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti di Jakarta, Rabu (18/10/2017). Menurut dia, saat pertama kali memimpin Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) pada 2014 silam, data konsumsi ikan nasional saat itu jumlahnyya 38,14 kilogram per kapita.

Angka tersebut, klaim Susi, kemudian meningkat lagi pada dua tahun berikutnya atau 2016 menjadi 43,94 kg per kapita. Dengan merujuk pada angka tersebut, kata dia, kenaikan konsumsi ikan sudah bisa dilihat dengan jelas di kisaran 1,2 juta ton.

“Itu kenaikannya 5 kilogram lebih, kalau dihitung dengan kali 250 juta penduduk Indonesia, itu sudah didapat 1,2 juta ton lebih. Itu kenaikannya,” ucap dia di Kantor Staf Presiden RI.

(baca : Kala Presiden RI Cari Koki untuk Makan Ikan)

Meski sudah mengalami kenaikan hingga 5 kg lebih, Susi mengaku masih menargetkan konsumsi ikan masyarakat Indonesia pada 2017 kembali naik. Untuk tahun ini, ujar dia, konsumsi ikan ditargetkan bisa naik ke angka 47,12 kg per kapita.

Dengan kenaikan 1,2 juta ton konsumsi ikan, Susi menyebutkan, nilainya sudah setara dengan angka USD1,2 miliar. Angka tersebut, didapat dari ikan yang berasal dari sektor perikanan budidaya dan perikanan tangkap.

Perhitungan angka USD1,2 miliar itu, kata Susi, mengacu pada angka ikan sebanyak 1 juta ton yang nilainya setara USD1 miliar atau ekuivalen dengan Rp1,6 triliun jika dihitung dengan kurs rupiah terhadap dolar AS sebesar Rp13.500.

“Angka tersebut akan meningkat lebih banyak lagi jika konsumsi cumi dan udang ikut dihitung,” ungkap dia.

(baca : Prihatin Konsumsi Ikan Rendah, KKP Gencarkan Lagi Gerakan Makan Ikan)

 

Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti memotong ikan segar dalam acara pasar ikan murah sebagai bagian dari Gerakan Masyarakat Makan IKan (Gemarikan) di Jakarta, Minggu (27/06/2016). Foto : Humas KKP

 

Sebelum ada klaim dari Susi, KKP pernah menyebutkan bahwa konsumsi ikan di masyarakat masih harus ditingkatkan lebih jauh lagi. Hal itu, karena ikan bisa menjadi sumber protein yang relevan untuk mendukung peningkatan kualitas hidup masyarakat Indonesia.

“Selain itu, ikan juga harganya lebih murah dan bisa didapatkan dengan mudah di seluruh Nusantara. Sekarang juga distribusi ikan sudah terus diperbaiki,” ungkap Direktur Jenderal Penguatan Daya Saing Produk Kelautan dan Perikanan (PSDKP) Nilanto Perbowo.

Menurut Nilanto, dengan mengonsumsi ikan, masyarakat bisa ikut meningkatkan kemandirian ekonomi masyarakat berbasis pada kelautan dan perikanan. Karenanya, jika konsumsi ikan nasional meningkat, ini dapat menjadi penghela industri perikanan nasional.

Nilanto mengungkapkan, dengan potensi sumber daya yang dimiliki Indonesia sekarang, itu juga bisa dimanfaatkan untuk mendorong perluasan dan kesempatan kerja, serta meningkatkan ketersediaan dan konsumsi sumber protein ikan bagi masyarakat.

Untuk itu, perlu didorong minat masyarakat untuk mengonsumsi ikan hingga lebih memasyarakat. Salah satunya caranya, kata Nilanto, yaitu melalui program Gerakan Memasyarakatkan Makan Ikan (GEMARIKAN) yang sudah dicanangkan oleh Presiden RI Megawati Soekarno Putri pada 4 April 2004.

“Gerakan ini untuk membangun kesadaran gizi individu maupun kolektif masyarakat agar gemar mengonsumsi ikan. Gerakan ini melibatkan seluruh komponen atau elemen bangsa. Ini bukan hanya menjadi tugas KKP saja, tetapi juga menjadi tugas seluruh komponen institusi, lembaga, dan masyarakat,” ucap dia.

Lebih lanjut Nilanto mengatakan, hingga saat ini Indonesia masih menghadapi permasalahan gizi pada Balita yang tersebar di seluruh daerah. Berdasarkan Global Nutrition Report yang dirilis pada 2014, sebanyak 37,2 persen Balita mengalami pertumbuhan kerdil (stunting), 12,1 persen pertumbuhan kurang dari standar usianya (wasting) dan 11,9 persen mengalami kelebihan berat badan (overweight).

(baca : Indonesia Kaya Ikan, Tapi Warganya Rendah Konsumsi Ikan. Kenapa?)

 

Aktivitas pengolahan ikan di Pelabuhan Perikanan Sadeng, Gunung Kidul, Yogyakarta pada awal Desember 2015. Foto : Jay Fajar

 

Tingkatkan Gizi Anak

Sementara itu, Kepala Staf Presiden Teten Masduki mengatakan, seharusnya semua pihak ikut terlibat dalam mendorong masyarakat untuk mengonsumsi ikan. Hal itu, karena dengan ikan, gizi anak-anak akan semakin baik dan itu akan memperbaiki pertumbuhan fisik anak-anak di masa mendatang.

“Tingginya angka (anak yang mengalami) stunting harus segera diselesaikan karena akan menjadi beban negara. Kalau kami ke daerah, selalu bertemu anak-anak kurus-kurus, pendek-pendek. Sudah kelas 6, tapi (badannya) kecil,” ungkap dia

Menurut Teten, jika permasalahan kekurangan gizi bisa diselesaikan melalui gerakan makan ikan secara nasional, maka angka angka anak dengan stunting juga akan selesai. Jika itu terjadi, maka pada 2030 mendatang Indonesia akan memiliki generasi muda yang sangat produktif.

“Keadaannya sekarang terbalik, angka stunting tinggi yang akan menjadi beban negara. Karena itu, gerakan kesehatan masyarakat dalam hal ini memperbaiki konsumsi gizi lewat makan ikan saya kira menjadi hal yang sangat penting,” terang dia.

Teten menyebut, bentuk perhatian Negara terhadap gerakan makan ikan, saat ini sangatlah tinggi. Salah satu buktinya, Presiden RI Jokow Widodo selalu menyelipkan pertanyaan tentang nama-nama ikan saat mengisi suatu acara.

“Itu cara beliau (Presiden) untuk mulai mengingatkan masyarakat Indonesia terutama anak-anak bahwa 70 persen Indonesia ini adalah laut, dan di situ sebenarnya gudang protein kita yang paling besar,” tutur dia.

Karena masih rendahnya minat masyarakat untuk mengonsumsi ikan, Teten meminta semua pihak untuk ikut terlibat dalam mempopulerkan gerakan makan ikan. Jangan sampai, gara-gara ikan belum memasyarakat, konsumsi gizi banyak tergantung pada daging merah.

“Kita ini sekarang mengimpor 1,73 juta ekor sapi per tahun. Pada 2019 kita butuh 4 juta ekor sapi untuk memenuhi kebutuhn konsumsi protein kita. Untuk bisa memenuhi 4 juta ekor sapi per tahun, kita harus mempunyai indukan sebesar 20 juta indukan,” ungkap dia.

Lebih jauh Teten Masduki menjelaskan, melihat masih kurangnya minat masyarakat dalam mengonsumsi ikan, Indonesia menargetkan pada 2019 konsumsi ikan di masyarakat sudah mencapai 54 kg per kapita. Target itu, terutama dibebankan kepada masyarakat di Pulau Jawa yang masih sangat rendah konsumsi ikan.

“Di Jawa konsumsi ikan masih 32 kg per kapita, kalau di Sumatera dan Kalimantan jauh lebih baik, antara 32 sampai 43 kg per kapita per tahun. Di (Indonesia bagian) Timur 40 kg per tahun. Jadi kita sudah tahu di mana kampanye gerakan makan ikan ini harus ditingkatkan,” papar dia.

 

Seorang anak tampak memperbaiki jaring yang digunakan untuk menangkap ikan. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Pembudidaya Ikan Sejahtera

Selain konsumsi ikan masyarakat yang diklaim meningkat, Susi Pudjiastuti juga mengklaim, selama tiga tahun memimpin KKP, dirinya berhasil menaikkan kesejahteraan pembudidaya ikan. Klaim tersebut, didasarkan pada kenaikan nilai tukar perikanan dari 2014 yang mencapai 102,7 menjadi 103,8 pada September 2017.

Data tersebut, meski tidak melalui rincian nilai tukar pembudidaya ikan, menurut Susi, menunjukkan bahwa kesejahteraan pembudidaya ikan secara perlahan terus memperlihatkan peningkatan. Indikator itu, diperkuat dengan angka kenaikan nilai tukar usaha perikanan yang dipatok pada angka 106,5 pada 2014 menjadi 115,3 pada 2016.

Selain indikator dari nilai tukar, Susi menambahkan, kenaikan kesejahteraan pembudidaya ikan juga karena pemerintah terus mendorong perbaikan produksi melalui pembagian paket bantuan pakan mandiri yang dibagikan kepada para pembudidaya ikan. Dengan bantuan tersebut, biaya produksi bisa menjadi lebih murah, namun jumlah produksi bisa ditingkatkan.

“Nilai tukar pembudidaya naik signifikan selama 10 tahun terakhir. Dulu uangnya habis untuk beli pakan. Begitu besar kontrol pabrik pakan terhadap pembudidaya. Itu yang menyebabkan margin pembudidaya limited,” pungkas dia.

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,