Upaya Konservasi Hanya Memperlambat Kepunahan

 

Sisi lain dari perburuan dan perdagangan satwa terancam punah adalah sengkarutnya proses konservasi. Lugasnya upaya penyitaan dan penindakan terhadap kasus kejahatan satwa langka dilindungi, acapkali mengabaikan ruang konservasi.

Dalam persoalan ini, konservasi memang menempati posisi strategis sebagai penunjang pelestarian serta memperlambat kepunahan. Namun, konservasi bukanlah perkaran mudah.

Pasalnya, sederet tahapan mesti dilakoni mulai merehabilitasi satwa ke sifat terliarnya hingga pemilihan kawasan sebagai penunjang populasi. Namun, pada prosesnya konservasi sering dihadapkan pada permasalah kompleks.

Problematika ekploitasi satwa, misalnya, beberapa laporan menunjukan kian mengkhawatirkan. Degradasi hutan sebagai habitat alami satwa adalah contoh mutakhir tentang potret keberlangsungan keanekargaman hayati (Kehati) yang belum terprioritaskan. Belum lagi, siklus perdagangan satwa langka kian termodernisasi.

(baca : Perdagangan Satwa Lewat Sosial Media Makin Menggila, Berikut Datanya)

Hasil pengamatan Protection of Forest & Fauna (PROFAUNA) Indonesia menunjukan bahwa modus perdagangan satwa sering berubah – ubah. Di Jawa Barat, misalnya, terungkap modus baru yaitu kurir satwa.

Kurir ini bertugas mengantarkan tergantung permintaan, satwa biasa hingga satwa dengan kategori appendix I (terancam punah). Pola distribusinya pun dilakukan secara terstruktur.

Alurnya, tidak lagi didisplay di pasaran. Melainkan berhubungan langsung antara penyuplai dan pembeli melaui media daring. Dan pada tahapan deal, jasa kurir ini bertindak sebagai penyelesai akhir. Celakanya, kurir ini memberi jaminan dari segi keamanan maupun jaminan hukum.

 

Seekor owa jawa yang diserahkan sukarela dari dari Tempat Wisata Kampung Gajah, Lembang Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Jawa Barat di Gedebage, Kota Bandung, Jawa Barat. BBKSDA kembali mendapatkan penyerahan satwa sebanyak 16 ekor satwa terancam punah yang rencananya akan segera direhabilitasi sampai akhirnya dilepasliarkan. Foto : Donny Iqbal

 

Merujuk laporan statistik KLHK perihal kasus kejahatan satwa dilindungi periode 2005-2009, rata-rata 100 kasus terjadi per tahun. Tahun berikutnya diklaim menurun yaitu hanya 37 kasus di tahun 2010 hingga 2012 dan 5 kasus pada 2013. Namun, informasi tersebut bisa saja keliru.

Pasalnya, Wildlife Conservation Society (WCS) Indonesia mencatat kasus serupa di 2015 – 2017 masing – masing 34 kasus, 49 kasus dan 32. Data dari Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) Pengadilan Negeri ditemukan 212 kasus dalam kurun waktu yang sama.

(baca : Perdagangan Satwa Liar Dilindungi Tetap Marak, Bagaimana Mengatasinya?)

Dari data yang dihimpun Mongabay, diketahui sejumlah kebijakan pemerintah dalam menyelamatkan kehati sudah dimulai sejak 1993. Mulanya tercetus Rencana Aksi Keanekaragaman Hayati Indonesia.

Program tersebut kemudian diperbaharui menjadi Strategi dan Rencana Aksi Keanekaragaman Hayati Indonesia atau Indonesian Biodiversity Strategy and Action Plan (IBSAP) pada 2003.

Namun, setelah 10 tahun berjalan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) kembali memuktahirkan program itu untuk periode 2015-2020. Dengan tambahan data informasi dan tantangan hari ini.

Fokus program ini menjadi rujukan menyoal strategi pelestarian dan pemanfaatan kehati. Salah satunya membentuk perlindungan bagi kawasan pelesatarian alam dan kawasan suaka alam sebagai penyangga kehidupan.

Selain itu, KLHK juga membuat strategi pelestarian dan rencana aksi untuk beberapa spesies prioritas. Ada sekitar 10 satwa endemik yang diprioritaskan diantaranya, badak jawa, badak sumatera, harimau sumatera, gajah sumatera, banteng jawa, anoa, babirusa, tapir dan elang jawa. Tujuannya adalah menambah populasi di habitat alaminya sekitar 10 – 20 persen dari upaya konservasi.

(baca : Mencari Formulasi Konservasi Satwa Dilindungi)

 

Salah satu jenis satwa yang disita di Pos kontrol bus, Desa Mareleng, Kecamatan Ciranjang, Kabupaten Cianjur, Rabu (14/6/2016). Foto : BBKSDA Jabar.

 

Menjaga Dari Kepunahan

Salah satunya adalah Pusat Konservasi Elang Kamojang (PKEK) di Garut, Jawa Barat. Sejak didirikan tahun 2012, PKEK berhasil melepasliarkan sekitar 20 ekor elang. Sedikitnya 10 spesies elang menjalani proses karantina dan rehabilitasi.

“Dikandang karantina masih terdapat 83 ekor elang, termasuk elang jawa yang rentan punah. Hampir keseluruhan adalah hasil penyitaan dan penyerahan. Rata – rata umur elang yang diserahkan ke sini (rehabilitasi) berumur 1 – 2 tahun,” kata Zaini Rahman kepada Mongabay.

Zaini berujar, dalam optimalisasi rehabilitasi diperlukan konsistensi waktu dan dana yang tidak sedikit. Untuk melepasliarkan satu ekor elang sangat sulit, apalagi ditengah tren hobi memelihara satwa dilindungi dengan mengatasnamakan animal lover.

Untuk itu, kata dia, selain menjadi pusat rehabilitasi bagi elang, PKEK juga membangun sarana edukasi bagi masyarakat. “Keberhasilan rehabilitasi adalah pelepasliaran. Tetapi yang terpenting adalah dukungan masyarakat. Jangan sampai deretan panjang proses rehabilitasi berakhir dengan perburuan dan perdanganan kembali,” paparnya.

Dia menegaskan, untuk menumbuhkan populasi tidak cukup hanya membuat regulasi atau proteksi terhadap kawasan hutan. Tetapi aspek penunjang lainnya, adalah menekan angka perburuan satwa.

 

Anakan elang brontok (Nisaetus cirrhatus) hasil penyitaan perdagangan ilegal menjalani proses rehabilitasi di Pusat Konsevasi Elang Kamojang (PKEK), Garut Jawa Barat, belum lama ini. Rata – rata kasus jual beli satwa ilegal tersebut masih berupa anakan dan mempercepat penurunan populasi di habitatnya. Foto : Donny Iqbal/Mongabay

 

Begitu juga dengan Pusat Rehabilitasi Primata Aspinall Foundation di Kabupaten Bandung. Kurang dari satu dekade terakhir ini, Aspinall konsisten melakukan konservasi terhadap primata endemik Jawa Barat.

Owa jawa, lutung jawa dan surili merupakan primata yang hampir ke hilangan habitat. Belasan pasang primata tersebut berhasil dilepasliarkan di Kawasan Cagar Alam Gunung Tilu. Berdasarkan kajian Aspinall, kawasan tersebut secara alami memang menjadi habitat bagi primata dan satwa lainnya.

Kepala Aspinall Indonesia Sigit Ibrahim menuturkan, ketersedian kawasan hutan penting sebagai faktor penunjang dalam upaya rehabilitasi. Namun, saat ini sulit menemukan kawasan yang dinilai ideal. Sebab ancaman perambahan hutan masih terus terjadi.

“Tentu kami terus mengupayakan proses konservasi. Proses lain yang perlahan juga kami upayakan adalah sosialisasi terhadap masyarakat. Primata ini hanya bagian kecil dari ekosistem hutan. Yang kami tekankan adalah tumbuhnya kembali nilai – nilai kearifan lokal di masyarakat. Setidaknya mereka dapat merasakan manfaat dari apa yang mereka jaga,” Kata Sigit.

Dosen Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati ITB Bandung, Adi Pancoro menilai, konservasi adalah bagian memperpanjang kehidupan. Sebab pada dasarnya, manusia merupakan makhluk sosial yang tidak hidup sendiri.

“Sederhana sebetulnya, manusia berinteraksi dengan alam. Alam punya sistem yang terdiri dari flora dan fauna. Dan alam memiliki siklus – siklus alami, misalnya, biogeokimia (daur ulang air dengan melibatkan komponen makhluk hidup). Kita dituntut di lingkungan yang harus berinteraksi, sehingga jika tahu manfaatnya, maka harus dijaga demi kemaslahatan bersama,” ujar Ahli Ekologi Molekuler saat ditemui beberapa waktu lalu.

 

Seekor indukan owa jawa (Hylobates Moloch) menggendung anaknya yang berumur 2 bulan di kandang rehabilitasi milik Aspinalls Foundation di Ranca Bali, Ciwidey, Kabupaten Bandung. Sifat owa jawa yang monogami,menjadikan primata tersebut terbatas reproduksinya. Foto : Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Penegakan Hukum

Saat ini, penegakan hukum kejahatan terhadap satwa liar di Indonesia sangat bergantung pada polisi hutan (Polhut) serta penyidik sebagaimana mandat peraturan pelaksana No.41 tahun 1999 tentang kehutanan.

Kewenangan polhut ditetapkan dengan Keputusan Menteri Kehutanan No.75 tahun 2014. Keputusan Menteri tersebut juga memungkinkan, komunitas atau masyarakat dapat direkrut dan dilatih untuk diperbantukan dalam patrol dan sosialisasi.

Berdasarkan informasi yang dihimpun, terdapat total 7,908 personil Polhut di seluruh Indonesia. Termasuk dibentuknya Satuan Polhut Reaksi Cepat (SPORC) untuk membantu operasi penegakan hukum khusus.

Apabila melihat keseluruhan, tingkat sumber daya ini masih jauh dari cukup jika dibandingkan dengan luasan hutan konservasi mencapai 16 persen dari total luas hutan Indonesia yang mencapai 130,68 juta hektare.

Lebih jauh lagi, walaupun polhut telah diberi kewenangan untuk melakukan penegakan hukum yang berkaitan dengan kejahatan terhadap satwa liar. Namun, kewenangannya terbatas, dan tidak mempunyai kapasitas yang sama dengan kepolisian nasional, seperti kemampuan untuk menahan tersangka. Sehingga diperlukan sinergitas penegak hukum pada kasus perdagangan satwa.

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,