Pekerjaan Rumah Menanti Dibalik Pengakuan Internasional untuk Pulau-Pulau Indonesia

Indonesia mendapatkan kado indah pada ulang tahunnya yang ketujuh puluh dua lalu. Pada pertemuan United Nations Conferences of the Standardization of Geographical Names (UCSGN) dan United Nations Group of Experts on Geographical Names (UNGEGN), yang merupakan salah satu agenda rutin dalam forum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Indonesia berhasil mendaftarkan 2.590 pulau baru untuk masuk dalam daftar nama geografi dunia yang dimiliki oleh PBB.

Dengan adanya tambahan pulau tersebut, Indonesia tercatat dan diakui secara internasional memiliki 16.056 pulau yang telah bernama dan berkoordinat di wilayahnya. Pada tahun 2012 sebagai perbandingan, jumlah pulau yang didaftarkan oleh Indonesia pada forum yang sama adalah sebanyak 13.466 pulau.

Penambahan jumlah pulau yang telah bernama dan berkoordinat ini merupakan hasil kerja keras dari Tim Nasional Pembakuan Nama Rupabumi yang beranggotakan Menteri Dalam Negeri sebagai ketua tim beserta Menteri Pertahanan, Menteri Luar Negeri, Menteri Kelautan dan Perikanan, Menteri Pendidikan, dan Kepala Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (yang telah diganti oleh Badan Informasi Geospasial). Tim Nasional ini sendiri dibentuk berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 112/2006 tentang Tim Nasional Pembakuan Nama Rupabumi.

 

Baca juga: Dikukuhkan di New York, Jumlah Pulau Indonesia Kini Sebanyak …

 

Sudah sepatutnya kita berbangga dan bersyukur tinggal di negara dengan karakteristik bentang alam kepulauan yang sangat unik seperti Indonesia. Sebuah negara kepulauan dengan kondisi alam yang luar biasa dan sumber daya alam yang melimpah ruah.

Namun kebanggaan seperti ini jangan sampai membuat kita lupa daratan. Euforia sesaat. Bereaksi berlebihan, ketika ada kasus lalu lupa mencari solusi agar kejadian serupa tidak terjadi lagi. Kasus lepasnya Pulau Sipadan dan Ligitan, akibat ketidakmampuan kita termasuk pemerintah dalam mengelola pulau-pulaunya, cukuplah menjadi pengalaman buruk yang tidak lagi berulang.

Jumlah pulau Indonesia yang mencapai angka enam belas ribu seharusnya juga menjadi alarm pengingat sekaligus pemacu bagi pemerintah untuk segera mencari solusi cerdas dalam mengelola pulau-pulaunya dengan baik sehingga pengalaman lepasnya Sipadan dan Ligitan tidak terulang lagi.

 

Tantangan Pengelolaan Pulau

Dengan jumlah 16.056 pulau, —dan ada kemungkinan untuk bertambah di kemudian hari, tantangan yang dihadapi oleh Indonesia pun menjadi semakin besar. Secara khusus tantangan bagi pengelolaan pulau-pulau ini.

Tidak dapat dipungkiri bahwa Indonesia masih belum mempunyai sistem manajemen pengelolaan pulau yang sempurna. Salah satunya irisan substansi yang berbenturan dalam peraturan perundang-undangan terkait pengelolaan pulau seperti tertera dalam UU Nomor 26/2007 tentang Penataan Ruang dengan UU Nomor 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang telah diubah dengan UU Nomor 1/2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.

Potensi disharmoni terletak pada potensi pelaksanaan dalam tataran implementasi, yaitu pada Rencana Tata Ruang Wilayah (yang didalamnya termasuk laut) dengan Rencana Strategis Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.

 

Nelayan kecil di Pulau Daga, Kepulauan Widi, Malut. Pengelolaan pulau harus ditujukan untuk memajukan masyarakat lokal. Foto: Faris Barero/ Mongabay Indonesia

 

Hal kedua adalah pada irisan substansi pengelolaan pulau, yang sering kali terhambat dikarenakan sumirnya batas wilayah administrasi. Ketidakjelasan batas wilayah di dalam undang-undang pembentukan sebuah daerah administrasi baru dikombinasikan dengan tiadanya lampiran peta wilayah yang sesuai kaidah perpetaan yang benar. Situasi ini bakal menimbulkan permasalahan dalam hal penegasan batas dan kejelasan siapa yang berwenang mengelolanya.

Sebagai contoh adalah sengketa yang terjadi untuk kasus Pulau Galang antara Pemkab Gresik dan Pemkot Surabaya, rebutan sebuah pulau antara Pemprov DKI Jakarta dengan Pemrov Banten, rebutan Pulau Berhala antara Pemprov Jambi dengan Pemprov Kepulauan Riau, dan sengketa Pulau Lari-Larian antara Pemprov Sulawesi Barat dengan Pemkot Banjarmasin.

Di lain sisi, Gubernur dan Menteri Dalam Negeri dalam kasus-kasus tersebut cenderung menjadi mediator, alih-alih hakim pemutus yang menjadikan proses penegasan batas wilayah menjadi berlarut-larut. Akibatnya kebijakan yang dikeluarkan oleh kepala daerah terutama di wilayah yang berbatasan dengan daerah lain cenderung gamang dan berpotensi menimbulkan masalah di kemudian hari.

Keberanian kepala daerah atau Menteri Dalam Negeri untuk menjadi “hakim” tentu sangat ditunggu untuk mengentaskan permasalahan batas yang berlarut-larut. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 76/2012 tentang Pedoman Penegasan Batas Daerah sudah bisa menjadi dasar kuat bagi seluruh pemangku kepentingan khususnya kepala daerah dan Menteri Dalam Negeri untuk mempercepat penyelesaian permasalahan batas daerah yang tak kunjung usai.

Tantangan lain dalam pengelolaan pulau adalah belum harmonisnya berbagai lembaga pemerintah yang berususan dengan pengelolaan pulau.

Hasil penelitian tahun 2015 oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, tercatat ada 14 sektor pembangunan yang berkaitan dengan pengelolaan pulau baik, secara langsung maupun tidak langsung.

Keempat belas sektor tersebut antara lain pertanahan, pertambangan, perindustrian, perhubungan, perikanan, pariwisata, pertanian, kehutanan, konservasi, tata ruang, pekerjaan umum, pertahanan, keuangan, bahkan pemerintahan daerah.

Dari sini saja dapat dilihat bahwa cukup banyak kementerian, lembaga pemerintah nonkementerian, dan pemerintah daerah yang terlibat dalam pengelolaan pulau. Dan untuk menambah rumit lagi, terdapat 21 undang-undang yang mengatur terkait pengelolaan pulau baik langsung maupun tidak langsung. Beberapa diantaranya telah disebutkan di atas. Belum lagi ditambah peraturan perundang-undangan pelaksana dari 21 undang-undang tersebut.

Banyaknya sektor yang terkait tentu berpotensi munculnya konflik kepentingan dan kewenangan antar-pemangku kepentingan. Disinilah peran reharmonisasi dan deregulasi peraturan perundang-undangan sebagaimana dicanangkan oleh Presiden Joko Widodo mengambil peran penting untuk menyelesaikan hal ini. Tingginya ego sektoral menjadi salah satu kendala utama yang harus dihadapi agar permasalahan ini bisa dituntaskan.

Dengan berbagai daftar pekerjaan rumah tersebut, seyogyanya menjadi perhatian perhatian pemerintah untuk mendorong kekayaan alam tersebut agar dapat dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kemakmuran bangsa dan rakyat Indonesia.

 

* Akbar Hiznu Mawanda, S.H., M.H. Penulis adalah alumnus Program Magister Hukum Universitas Airlangga, sekaligus Pengamat Informasi Geospasial. Artikel ini merupakan opini penulis.

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
,