Gunung Agung Masih Status Awas, Gempa 25 Ribu Kali

 

Apa pertanda dan data pendukung jika sebuah gunung berapi berpotensi meletus? Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) menyebut diantaranya adalah serangkaian aktivitas vulkanologi seperti kegempaan, asap dari gas dan gerakan magma di perut gunung, deformasi atau perubahan bentuk gunung, dan lainnya.

Karena baru satu faktor yang terlihat menurun beberapa hari ini yakni kegempaan, PVMBG masih belum bisa menurunkan status dari awas, level tertinggi aktivitas gunung api ini. “Status gunung Agung ditentukan oleh aktivitas gunungnya sendiri, bukan kami,” kata Kasbani, Kepala PVMBG dalam jumpa pers di Pos Pemantauan Gunung Agung di Rendang, Karangasem, Minggu (22/10/2017).

Tim PVMBG aktif memberikan laporan dari hasil pemantauan dan menganalisis selama hampir satu bulan sejak ditetapkan status awas (level IV) pada 22 September lalu. Selain Kasbani, ada Gede Suantika dan Devi Kamil Syahbana.

Para peneliti ini mengaku mendapat pelajaran baru dari aktivitas Gunung Agung. Karena jumlah kegempaaannya paling banyak di antara gunung api yang aktif di Indonesia. Sampai kini selama lebih sebulan ini sudah sekitar 25 ribu kali.

Jarak magma juga semakin naik, saat ini diperkirakan sekitar 4 km dari puncak. Manifestasi thermal meningkat dan penggembungan gunung masih terjadi. Namun walau gempa berkurang, terakhir kurang dari 400 kali sehari (20 dan 21 Oktober) ini, indikator lain masih tinggi.

Sejak 22 September, Kasbani menerangkan ada peningkatan signifikan, misalnya hembusan asap mengandung uap air, emisi gas makin signifikan, dan dalam kawah ada perkembangan lubang makin banyak.

Sejumlah instrumen yang memasok data adalah stasiun seismic 9 unit yang dihubungkan ke pos pemantauan Rendang, GPS 4 stasiun, Tiltmeter 2 unit di Utara dan Selatan, CCTV, thermal camera, dan peralatan mobile. Ditambah data citra satelit dan rekaman pesawat nirawak drone. “Kalau status turun harus semua data harus konsisten sama. Kalau salah satu turun data lain tak mendukung, tak bisa,” ujarnya.

 

Petugas berusaha menerbangkan drone khusus yang bisa terbang mencapai ketinggian gunung Agung untuk memantau kawah. Foto: BNPB

 

Gunung Agung ditetapkan Siaga sejak 18 September. Dari jumlah gempa satuan jadi puluhan. Sejak 22 peningkatan luar biasa, gempa vulkanik dangkal dan dalam 720 kali sehari. Sejak itu berfluktuasi dan hingga kini, kisarannya 500 sampai lebih 1000 per hari.

Fraktur atau perekahan kawah terus terjadi, ini disebutnya jalur gerakan fluida terbentuk dan jumlahnya banyak. Berdasar kekuatan gempa, bisa diperkirakan volume magma yang berpotensi dilepaskan, yakni sekitar 18 juta meter kubik. Belum termasuk batuan, ini dinilai cukup besar.

“Jumlah gempa sangat besar dibanding gunung api lain di Indonesia dan dunia. Biasanya gunung lain sudah meletus,” urainya.

Kasbani menyebut data pendukung yang dianalisis sudah cukup lengkap, terlebih data GPS yang didapatkan sangat bagus. Misalnya data GPS dan citra satelit selaras misalnya memantau ada penggembungan sekitar 6 cm di atas gunung.

Kasbani menyebut ada tanda gas gunung ini masih tersimpan di bawah walau sudah ada celah terbuka. “Gunung ibaratnya sedang penuh isinya, tiap saat ada peningkatan,” katanya.

Berkaca dari letusan 1963, peristiwa yang terjadi adalah pada hari pertama erupsi muncul uap air, disusul magma, lalu esoknya keluar awan panas. Sekitar 7-8 km jangkauannya. “Semua kesiapsiagaan diterapkan. Ini yang harus dilatih bersama,”pintanya.

Gunung setinggi lebih dari 3100 mdpl ini menurutnya udah cukup lama tak meletus, dan kini semua terisi kembali. Untuk mengeluarkan sumbat, perlu energi besar.

 

Poster kesiapsiagaan oleh BPNB ini diterjemahkan dalam bahasa Bali untuk menjangkau warga Karangasem yang sebagian sudah sering bolak balik rumah-pos pengungsi tiap hari.

 

Pelajaran lain, Gunung Sinabung pada 2013 meletus pada level III. Jumlah kegempaannya jauh lebih sedikit dibanding Gunung Agung, dan tiap gunung punya karakteristik berbeda.

Sementara Sutopo Purwo Nugroho, Kepala Pusat Data, Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dalam siaran pers menyatakan Peringatan Bulan Pengurangan Risiko Bencana (PRB) 2017, akan berlangsung di Papua Barat pada 22-25 Oktober 2017.

PRB sebagai Investasi Pembangunan merupakan tema penyelenggaraan terkait sinergi terhadap semangat Nawacita Presiden Joko Widodo. Program pembangunan yang tertuang dalam Nawacita dan terintegrasi dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 menekankan pada penanggulangan bencana, khususnya PRB, ke dalam perencanaan pembangunan nasional hingga lokal.

Kepala BNPB Willem Rampangilei menyebut sasaran RPJMN untuk melindungi pusat-pusat pertumbuhan ekonomi dari ancaman bencana sehingga menjamin keberlanjutan pembangunan. Dalam RPJMN tersebut, Pemerintah telah menetapkan prioritas 136 kabupaten/kota sebagai pusat pertumbuhan ekonomi yang berisiko tinggi. “Upaya pengurangan risiko bencana bukan semata-mata sebagai pengeluaran tetapi telah diperhitungkan sebagai investasi pembangunan.”

Salah satu upaya dalam implementasi PRB tersebut dengan menurunkan indeks risiko bencana pada pusat-pusat pertumbuhan ekonomi tadi. Pada 2016 lalu, BNPB bersama semua stakeholders menyebut mampu menurunkan indeks risiko bencana sebesar 15,98%, dan pada 2019 nanti diharapkan turun hingga 30% sesuai yang ditetapkan pada RPJMN.

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,