Pemerintah Tetapkan Lagi Sembilan Hutan Adat

 

Memasuki tiga tahun Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla, Presiden kembali akan menyerahkan surat keputusan penetapan sembilan hutan adat, Rabu(25/10/17) di Istana Negara. Adapun hutan-hutan adat ini tersebar di Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Sulawesi Tengah, dan Jambi dengan luas 3.992 hektar. Akhir tahun lalu, pemerintah juga menetapkan delapan hutan adat dan mengeluarkan satu hutan adat dari konsesi perusahaan.

“Sekarang, kali kedua Presiden akan memberikan SK hutan masyarakat adat (setelah Desember 2016). Kali ini, untuk sembilah hutan adat,” kata Apik Karyana, Sekretaris Direktorat Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan saat jumpa pers Tenurial 2017, Selasa (24/10/17), di Jakarta.

Penyerahan ini saat pembukaan Konferensi Tenurial 2017 di Istana Negara yang mengangkat tema “Mewujudkam Hak-hak Rakyat: Reformasi Penguasaan Tanah dan Pengelolaan Hutan di Indonesia.”  Konferensi berlangsung 25-27 Oktober 2017.

Hutan adat-hutan adat itu ada di Desa Marena (Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah) seluas 1.161 hektar, Desa Tapang Semadak, (Sekadau, Kalimantan Barat) seluas 41 hektar, dua komunitas di Desa Batu Kerbau (Bungo, Jambi) masing-masing 323 dann 326 hektar.

Lalu,  Desa Senamat Ulu (Bungo, Jambi)  223 hektar, Desa Baru Pelepat, (Bungo, Jambi) seluas  1.066 hektar, Desa Juaq Asa, (Kutai Barat, Kalimantan Timur) seluas 49 hektar, Desa Ngaol, Merangin, (Jambi)  278 hektar, dan Desa Merangin, Merangin, (Jambi) luas  525 hektar.

Menurut Apik, KLHK juga akan melaporkan perkembangan pengakuan dan perlindungan hutan adat yang sudah diverifikasi dan diusulkan ditetapkan.

Saat ini,  sudah ada 110.000 hektar huta adat terverifikasi dan masuk penetapan selanjutnya. Angka ini, katanya, merupakan luasan yang sudah memiliki peraturan daerah.

Adapun dari penetapan sembilan hutan adat ini, ada yang mendapatkan surat keputusan (SK) pencantuman dan SK penetapan. Yang mendapatkan SK penetapan adalah Desa Marena, Sulteng (756 hektar) dan Desa Baru Pelepat, Jambi (245 hektar), sisanya SK pencantuman. SK penetapan itu kala hutan adat berada di kawasan hutan. Kalau, SK pencantumkan berarti hutann adat ada di luar kawasan hutan.

“Ketika perda sudah keluar, baru jadi hutan adat. Kecuali di luar kawasan hutan negara dengan SK Bupati selesai, kalau takada perda tak bisa,” katanya.

Siti Maimunah, peneliti Sajogyo Institute menyambut baik penetapan ini. “Itu nyambung dengan agenda koalisi selama ini yang diperjuangkan masyarakat adat. Ada pengakuan dan perluasan wilayah kelola rakyat,” katanya.

Meski demikian, perlu ada catatan dalam reforma agraria ini agar pemerintah dapat menyelesaikan konflik dan ada kepastian tata kelola.

 

Revisi peta jalan reformasi tenurial

Pada 25-27 Oktober 2017, KLHK, Kantor Staf Kepresidenan dan Koalisi Masyarakat Sipil untuk Keadilan Tenurial menyelenggarakan Konferensi Tenurial guna meninjau ulang (merevisi) peta jalan tenurial yang dikembangkan pemerintah pada 2011.

Apik Karyana dari KSP mengatakan, peta jalan sangat penting untuk kelanjutan program reforma agraria dan perhutanan sosial (RAPS).

Penguasaan hutan, tanah dan tata kelola pemerintahan merupakan komponen utama dalam pemberian akses kepada masyarakat.

Akses kelola masyarakat ini, katanya, secara paralel, juga untuk pemerataan ekonomi. “Untuk mengurangi ketimpangan sosial, kerusakan sumber daya alam, penyelesaian konflik dan perbaikan tata kelola hutan,” katanya.

Dewi Kartika, Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaharuan Agraria menyebutkan,  isu bahasan dalam Konferensi Tenure 2017, tak hanya sektor kehutanan, juga perkebunan. Juga lahan yang ada irisan dengan proyek infrastruktur, pertambangan, pesisir kelautan yang berdampak bagi masyarakat.

“Kegiatan ini diharapkan meluruskam kebijakan dan pelaksanaan reforma agraria yang sekarang ada. Kita juga menghendaki, area kehutanan di Jawa dan perkebunan BUMN (PTPN) menjadi bagian dari reforma agraria,” ucap Dewi.

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,