Wajah Adam Miller sumringah. “Ada temuan menggembirakan,” ujar Direktur Eksekutif Yayasan Planet Indonesia itu, ketika bertemu pertengahan Oktober lalu. Dia mengisahkan, lelahnya survei yang dilakukan timnya beserta tim dari Balai Konservasi Sumber Daya Alam Kalimantan Barat, ‘terbayarkan’, oleh fakta yang menggembirakan. Sebuah harapan, tepatnya.
“Tim survei beberapa kali melihat burung enggang gading. Menurut ahli rangkong ini tinggi sekali,” tukasnya, seraya menyebutkan nama lokasi pertemuan tersebut. Untuk keamanan habitatnya dari ancaman perburuan, detil lokasi pertemuan tidak bisa disebutkan. Laporan survei biodiversitas terbaru di sebuah kawasan konservasi di Kalimantan Barat ini, memberikan ‘gairah’ sekaligus harapan pada keberlangsungan populasi spesies dilindungi tersebut.
Baca: Enggang Gading yang Mendadak Kritis
Dari hasil survei, didapat data beberapa spesies hewan liar yang hidup di kawasan tersebut. Seperti orangutan (Pongo pygmaeus), beruang madu (Helarctos malayanus), owa kelempiau (Hylobates muelleri), trenggiling (manis javanica), landak (Hystrix brachyura), kuau raja (Argusianus argus), rangkong badak (Buceros rhinoceros) dan enggang gading (Rhinoplax vigil).
“Dalam satu minggu, hampir terdeteksi 20 enggang gading di kawasan itu. Bahkan, selama enam bulan survei, ada 37 kali pertemuan. Sebenarnya, ini bukan temuan pertama. Survei awal sudah dilakukan akhir 2016 dan tahap kedua terhitung Juni hingga Februari tahun depan,” tambah Adam.
Terlepas dari temuan yang menggembirakan tersebut, tim survei juga mendapatkan fakta-fakta adanya ancaman bagi populasi panglima burung tersebut di habitat aslinya. Tim survei mendapati banyak kegiatan ilegal di kawasan tersebut. Sebut saja lahan perkebunan rakyat, serta pembalakan liar.
Tujuh jenis
Adam menambahkan, dari hasil survei itu terdapat tujuh spesies rangkong. Jenis tersebut adalah: kangkareng perut putih (Anthracoceros albirostris), enggang klihingan (Anorrhinus galeritus), julang emas (Rhyticeros undulatus), kangkareng hitam (Anthracoceros malayanus), enggang jambul (Berenicornis comatus), rangkong badak, dan julang jambul-hitam (Rhabdotorrhinus corrugatus).
“Tempat ini seperti surga bagi rangkong,” katanya. Adam mengatakan, menghitung populasi burung ini di alam lebih mengedepankan pendeteksian visual. Enggang gading juga termasuk spesies yang sangat sensitif. Metodologi survei populasi menggunakan transek yang umumnya dimulai pukul 05.30 WIB hingga pukul 10.00 WIB.
Jalur pengamatan di sepanjang transek sekitar satu kilometer per hari. Sedangkan, buku identifikasi yang digunakan yaitu, Birds of Borneo (Phillipps et al. 2011), Birds of Borneo (Myers S. 2009), Burung-burung di Sumatera, Jawa, Bali dan Kalimantan (MacKinnon et al. 2010). Setiap jenis burung pemangsa dan burung rangkong yang diamati dicatat jumlahnya dan didokumentasi.
Identifikasi spesies juga menggunakan perekam suara untuk mengkonfirmasi identifikasi jenis burung tersebut. Perekaman suara dilakukan pada setiap titik berjarak 100 meter di sepanjang jalur transek. Perekaman suara burung dilakukan selama 10 menit menggunakan perekam suara Zoom H4n dan akan dideposit ke situs bank data suara xeno-canto.
Baca juga: Nasib Kelam Rangkong, Antara Perburuan dan Jasa yang Terlupakan
Survei populasi di kawasan tersebut juga menggunakan metode wawancara. Masyarakat yang akan dijadikan informan adalah masyarakat lokal yang sering memasuki kawasan hutan konservasi tersebut. “Tak hanya enggang, hasil survei juga sering menunjukkan spesies burung kicau yang terancam punah seperti murai batu, dan cucak hijau,” imbuh Adam.
Menurut Adam, enggang gading sebenarnya mudah dikenali. Ia adalah enggang yang berukuran sangat besar, sekitar 120 cm, ditambah 50 cm pita pada ekor tengah, berwarna coklat dan putih. Dibagian ekornya, terdapai surai panjang. Ciri khasnya: ekor putih dengan garis hitam melintang dan garis putih lebar pada sayap. Tanduk kuning merah-padam, tinggi, berbentuk agak kotak. Ciri khas enggang jantan adalah pada bagian leher terdapat kulit merah tanpa bulu, sedangkan warna biru pucat pada betina.
Suara burung ini sangat khas, memecah kesunyian rimba raya. Diawali dengan suara rendah, kemudian meninggi, bak gelak terbahak dengan tempo yang meningkat pula. Warga yang tinggal di dekat hutan hujan tropis Kalimantan, tentu tidak asing dengan suara ini. “Para penjelajah hutan dan alam pun terkadang sengaja ingin mendengar langsung suara burung ini. Sekadar menjadi saksi, magisnya suara burung yang mendapat tempat kehormatan di suku Dayak.”
Bagi suku Dayak, enggang merupakan burung yang bisa menjembatani dunia dan ruh. Keanggunan enggang juga diabadikan dalam tarian-tarian di banyak sub suku Dayak. Torehannya diabadikan dalam tato, dan lukisan. Enggang juga dilambangkan sebagai pemimpin, tak heran bulu enggang menjadi penanda kedudukan di dalam suku.
Yokyok Hadiprakasa, Direktur Rangkong Indonesia, dalam emailnya kepada Mongabay Indonesia menyebutkan, keberadaan enggang gading di suatu kawasan hutan tergantung pula dengan pohon pakannya, serta tempat hidup sumber pangannya. Yoki, sapaan akrabnya, adalah ahli biologi yang sudah berkecimpung dalam konservasi enggang sejak tahun 2000. Yoki sejak enam tahun yang lalu telah memulai berbagai upaya mengatasi perburuan enggang gading yang terjadi besar-besaran di Indonesia.
“Pakannya adalah buah dan serangga kecil,” katanya. Enggang menghuni pohon besar yang tinggi. Dia membuat lubang untuk sarang di sana. Model sarangnya unik, tidak ditemukan di jenis-jenis enggang lainnya. Enggang mempunyai peranan penting dalam ekosistem hutan. “Dia penebar biji-bijian ke seluruh penjuru hutan. Jelajah terbangnya bisa mencapai 100 kilometer persegi.”
Selain diburu, habitatnya kini tergusur oleh alih fungsi lahan; untuk pemukiman, perkebunan, hutan tanaman industri, atau pertanian. Minimnya pohon-pohon besar yang tinggi, menyebabkan enggang sulit membuat sarang. Status konservasi enggang gading saat ini masuk dalam daftar merah IUCN; Kritis (Critically Endangered/CR). Satwa ini dilindungi dengan payung hukum UU No. 5/1990 dan PP No. 7/1999, serta terdaftar dalam Appendiks 1 CITES.
Temuan populasi enggang gading ini merupakan kabar gembira sekaligus mencemaskan. Betapa tidak, kawasan ini sudah beberapa kali dilakukan penegakan hukum oleh aparat di lingkup Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. “Perlu komitmen pula dari pemerintah daerah setempat,” tambah Adam.
Yayasan Planet Indonesia dan Seksi III Wilayah Singkawang, yang membawahi wilayah konservasi tersebut, tengah merumuskan beberapa program. Diantaranya, patroli bersama. “Patroli bersama ini kami gagas bersama dengan warga. Tujuannya adalah ikut mengamankan kawasan,” ujar Dani Arief, Kepala Seksi 3 Wilayah Singkawang, di Pontianak, 24 Oktober 2017.
Terkait pengamanan, sebagaimana dilansir dari laman BKSDA Kalbar, dituliskan bahwa pada 2013, Seksi Konservasi Wilayah III telah meminta bantuan Bupati Landak melalui Surat Nomor S. 63 /IV-K.21/Kons/SKW-III/2013 tanggal 25 Juni 2013 perihal temuan pembangunan jalan di wilayah konservasi. Serta laporan kepada Kepala Balai KSDA Kalimantan Barat melalui surat Nomor: S. 56/IV-K.21/KONS/SKW-III/2013 tanggal 20 Juni 2013 perihal telaan permasalahan dan saran tindak lanjut.
Masih di laman yang sama, disebutkan kondisi terakhir, pada Februari 2014, terdapat tindak pidana pembalakan liar dengan jumlah kayu sekitar 1.000 batang berbagai ukuran. Penyelamatan telah diupayakan melalui operasi fungsional bekerja sama dengan pihak Polsek Kec. Air Besar/ Serimbu, Polres Landak. Namun, pada kenyataannya, kayu tersebut dijarah masyarakat dan sulit dikendalikan mengingat keterbatasan personil.